Rabu, 13 Januari 2016

Siapa yang Bertarung di Selatan Filipina


Siapa yang Bertarung di Selatan Filipina  
MILF saat berhasil merebut kembali salah satu markas mereka pada 2000. (Getty Images/David Greedy)
 
Jakarta, CB -- "Moro not Filipino."

Slogan tersebut menggaung di berbagai pelosok Filipina akhir medio 1960-an.

Kala itu, hampir dua dekade setelah merdeka dari Amerika Serikat, populasi Kristen semakin mendesak warga Islam ke belahan selatan Filipina, tepatnya ke Kepulauan Mindanao.

Menurut Thomas McKenna dalam bukunya "Muslim Rebels and Rulers", kekerasan orang Kristen terhadap Muslim di berbagai pelosok selatan Filipina terus terjadi. Program beasiswa dari pemerintah bagi para pelajar Muslim agar dapat berintegrasi justru menumbuhkan bibit-bibit intelektual separatis yang bertekad melepaskan diri.

Mereka pun memproklamirkan diri sebagai Moro, sebutan kuno Spanyol bagi komunitas awal Filipina yang mayoritas Muslim.

Situasi tersebut mengobarkan semangat salah satu pelajar Muslim, Nur Misuari, yang akhirnya mendirikan kelompok separatis Moro National Liberation Front (MNLF) pada 1969.


MNLF

Menjamurnya gerakan separatis Muslim Filipina selatan lantas membuat gusar pemerintah. Pada 21 September 1972, Presiden Filipina, Ferdinand Marcos, mendeklarasikan darurat militer dan menginstruksikan warga sipil untuk menyerahkan senjatanya kepada pemerintah.

Darurat militer ini membuat beberapa organisasi Muslim seperti MIM dan Nurul Islam ketir. Para pemberontak Muslim akhirnya bersatu di bawah bendera MNLF pada akhir 1972.

Menurut McKenna, strategi penyatuan ini memiliki akar kuat. MNLF merupakan satu-satunya organisasi dengan ideologi kuat dan dapat memasok senjata. Disinyalir, mereka mendapatkan amunisi dari negara-negara Muslim yang dikirimkan dengan kapal menuju Sabah, kemudian diantarkan ke Mindanao.

Namun yang paling penting adalah fakta bahwa akar kepemimpinan ditanam di luar negara, jauh dari para komandan lokal. Setelah darurat militer dideklarasikan, Misuari kabur dan mengontrol MNLF dari Manila ke Mindanao, kemudian Sabah, lantas Libya.

Secara formal, MNLF dioperasikan dalam dua struktur paralel, yaitu politik dan militer. Sayap politik ditunggangi oleh komite pusat, beberapa badan, dan sistem komite provinsi dan desa.

Sementara itu, sayap militer atau biasa disebut Bangsa Moro Army diperkuat oleh marsekal lapangan, marsekal provinsi, dan komandan wilayah di tingkat kotamadya.

Sebagai ketua komite pusat, Misuari memegang kendali MNLF dari Tripoli. Jabatan wakil ketua dipegang oleh Hashim Salamat, salah satu penggagas Nurul Islam.

MNLF mulai beraksi di Cotabato. Pergerakan para militan mulai meresahkan militer. Mereka dapat menguasai sebuah wilayah selama beberapa hari, meskipun pada akhirnya direbut kembali oleh pasukan pemerintah.

Di akhir tahun 1973, pemberontak Muslim bahkan sudah dapat menguasai akses ke bandar udara.

 
Pendiri MNLF, Nur Misuari. (Dok. Wikimedia/Keith Bacongco)
Militer Filipina tak tinggal diam. Setelah mempelajari strategi MNLF, mereka dapat merebut kembali daerah yang dikuasai kelompok pemberontak.

Karena kekurangan dalam proses latihan dan strategi, korban sipil Muslim dan MNLF berjatuhan. Pada 1974, MNLF menggempur balik dengan satu strategi baru yang mengejutkan, yaitu gerilya, mengandalkan kepahaman mereka terhadap peta rawa dan hutan lokal.

"Presiden Marcos akhirnya sadar bahwa respons represif eksklusif terhadap pemberontak di Selatan terlalu memakan biaya, baik itu secara finansial maupun politik. Marcos dengan cepat mengulurkan tangan persahabatan dengan Muslim sayap kanan," tulis McKenna.

Marcos lantas menggalakkan dua kampanye besar untuk meyakinkan umat Muslim Filipina. Kampanye pertama lebih menekankan pada pembangunan perekonomian Muslim Filipina pasca baku hantam yang melumpuhkan beberapa sektor.

Kampanye kedua adalah pendekatan kepada umat Muslim, seperti pembangunan masjid di Manila dan kota-kota lain, hingga diakuinya libur hari raya Islam.

Upaya pendekatan tersebut berhasil dan pada akhir 1976, pemerintah Filipina akhirnya bertemu dengan MNLF di Tripoli, bernegosiasi untuk mengakhiri perang di selatan. Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan gencatan senjata dan perjanjian damai.

Dikenal dengan nama Perjanjian Tripoli, kesepakatan tersebut, "Menjamin prinsip dasar otonomi Islam di Filipina Selatan."

Setelah gencatan senjata berjalan lancar selama sembilan bulan sejak Februari 1977, perjanjian terancam batal lantaran ada perbedaan persepsi mengenai konten kunci pembicaraan.

Marcos mulai mengimplementasikan Perjanjian Tripoli sesuai dengan maksudnya, yaitu membentuk "daerah otonom" di Mindanao Tengah dan Sulu, yang dianggap tidak sesuai dengan perjanjian.

Maksud dari Marcos tersebut tertuang dalam perencanaan pembentukan Autonomous Region in Muslim Mindanao (ARMM).

"Badan pemerintahan daerah otonom tersebut adalah kreasi kosmetik yang tak memiliki otoritas legislasi dan tidak memiliki dana operasi independen," kata McKenna.

Dua kali gagal mengimplementasikan Perjanjian Tripoli, Misuari akhirnya jengah dan mendeklarasikan jihad terhadap pemerintah. Saat itulah, MNLF terbelah.

Salamat yang tak sepaham dengan sikap berlawanan terhadap pemerintah, akhirnya menarik diri dan mendirikan kantor tandingan di Lahore, Pakistan. Ia berhasil menjaring dukungan organisasi internasional untuk meneruskan upaya damai dengan pemerintah dan mengimplementasikan Perjanjian Tripoli.

Tetapi pada akhirnya, pada 6 November 1990, ARMM diresmikan dengan landasan hukum Republic Act No. 6734, mencakup provinsi Lanao del Sur, Maguindanao, Sulu and Tawi-Tawi di Mindanao.

Abu Sayyaf

Setahun setelah ARMM berdiri, beberapa oknum dalam MNLF yang tak setuju perdamaian dengan pemerintah memisahkan diri dan membentuk Abu Sayyaf.

Namun di kemudian hari, Abu Sayyaf tumbuh menjadi salah satu kelompok teror paling mematikan dengan basis di Jolo dan Basilan. Mereka kerap melakukan pemerkosaan, penculikan, pengeboman, dan pembunuhan demi mendapat uang tebusan.

Pada 2014, Abu Sayyaf berbaiat kepada ISIS. Kini, mereka selalu beraksi atas nama ISIS. Beberapa oknum dalam Abu Sayyaf juga terlibat dalam Ansar Khalifah Filipina (AKP) yang mendeklarasikan diri akan membangun kekhalifahan ISIS di Asia Tenggara.

MILF

Enam tahun setelah memisahkan diri, tepatnya pada 1984, Salamat akhirnya berhasil membangun jaringan kubunya sendiri dan mengubah nama organisasinya menjadi Moro Islamic Liberation Front (MILF).

Dalam secarik surat kepada sekretaris jenderal Organisasi Konferensi Islam (OIC), Salamat mengelaborasi mengenai MILF.

"Semua Mujahidin di bawah Moro Islamic Liberation Front (MILF) mengadopsi Islam sebagai jalan hidup. Objektif mereka dalam Jihad adalah untuk meninggikan firman Allah dan mendirikan Islam di tanah air Bangsamoro," tulisnya.

Tak diketahui jelas apakah tujuan MILF sama dengan Nurul Islam. Namun yang jelas, menurut McKenna, saat itu Salamat memiliki dorongan kuat untuk mendirikan badan baru, melihat Misuari mulai kehilangan kendali.

"Satu-satunya pilihan Salamat adalah untuk melepaskan kepemimpinannya dari front pertamanya dan mendirikan organisasi lain. Sangat politis memilih nama yang menekankan perbedaan antara front barunya dan yang awal, Moro "National" Liberation Front," kata McKenna.

Setelah bertahun-tahun angkat senjata, pada 1997 MILF akhirnya menyepakati perjanjian gencatan perang dengan pemerintah di bawah pimpinan Presiden Fidel V. Ramos.

Hanya tiga tahun menghirup angin segar, amarah MILF kembali berkobar pada 2000. Presiden kala itu, Joseph Estrada, membatalkan perjanjian gencatan senjata.

"Para pejuang akhirnya mendeklarasikan jihad terhadap pemerintahan pada 2000," demikian bunyi laporan bertajuk In The Spotlight: Moro Islamic Liberation Front yang dilansir Center of Defense Information.

Angin segar kembali berembus ketika kursi presiden ditempati oleh Gloria Arroyo. Pemerintah dan MILF kembali menyepakati gencatan senjata dan pembicaraan damai.

Kendati demikian, situasi kian panas setelah insiden pengeboman di Davao Airport pada 2003. Pasukan MILF juga menyerang tentara pemerintah di Maguindanao dan menewaskan setidaknya 23 orang pada 2005.

Serangan-serangan ini mulai memunculkan spekulasi bahwa MILF memiliki kaitan dengan al-Qaidah, termasuk menampung aliran dana dari Osama Bin Laden. Namun, MILF menampik tudingan ini.

The Inquirer kemudian memberitakan bahwa rentetan serangan ini merupakan indikator bahwa negosiasi damai tidak efektif untuk menciptakan perdamaian di Mindanao jika pada akhirnya MILF tak diberikan kekuasaan mengatur operasinya.

Hingga akhirnya pemerintah dan MILF kembali berdamai dengan disepakatinya Memorandum of Agreement on Ancestral Domain (MOA-AD).

Dalam perjanjian ini, wilayah kekuasaan ARMM diperluas. Orang Moro juga diberikan lebih banyak kontrol wilayah dan sumber daya di bawah konsep hak asasi manusia dengan kewenangan membentuk pasukan kepolisian.

Beberapa pembuat kebijakan menggalang petisi ke Mahkamah Agung untuk menghentikan MOA-AD karena banyaknya ketidakterbukaan dalam prosesnya. MILF juga dianggap gagal membuktikan bahwa tidak ada hubungan antara mereka dan Jemaah Islamiyah, jaringan teror yang berafiliasi dengan al-Qaidah.

 
MILF saat berhasil merebut kembali salah satu markas mereka pada 2000. (Getty Images/David Greedy)
Hingga akhirnya, Malaysia sebagai penengah melontarkan ancaman serius yang membuat MILF putar haluan.

"Malaysia meminta kami untuk meninggalkan permintaan tersebut (merdeka dari Filipina), mengancam akan meninggalkan pembicaraan damai ini. Jelas, kami tidak menginginkan negara independen, tapi sesuatu di mana Moro dapat memerintah diri sendiri secara efektif dengan interfensi sedikit dari pemerintah pusat," tutur ketua panel perdamaian MILF, Mohagher Iqbal, seperti dikutip Reuters pada 2010 silam.

Iqbal pun akhirnya menyodorkan formula baru perjanjian, yaitu pendirian semacam negara bagian seperti di Amerika Serikat, tak sepenuhnya lepas dari pemerintah pusat.

"Tak ada apapaun di dalam draft kami yang menunjukkan bahwa kami meminta kemerdekaan," katanya.

Ia lantas menjabarkan bahwa negara bagian ini tidak akan memiliki kewenangan atas pertahanan nasional, kebijakan luar negeri, mata uang, dan kantor pos yang sudah dikontrol pemerintah pusat. Namun, negara bagian ini akan memiliki pasukan bersenjata untuk keamanan internal.

Berbekal draf tersebut, perundingan damai antara pemerintah dan MILF akhirnya membuahkan perjanjian damai pada 2012, disebut Framework Agreement of the Bangsamoro (FAB).

Kedua perjanjian tersebut merupakan embrio lahirnya sebuah entitas baru bernama Bangsamoro dengan wilayah utama ARMM dan kemungkinan perluasan jika 10 persen warga di sekitar daerah tersebut ingin bergabung.

Lahirnya entitas baru tersebut nantinya akan disahkan dalam landasan akta hukum Bangsamoro Basic Law (BBL) yang harus disetujui terlebih dahulu oleh Kongres Filipina.

Namun hingga kini, di ujung tanduk pergantian pemerintahan dari Presiden Benigno Aquino, BBL tak kunjung disahkan karena masih ada beberapa elemen yang menurut Kongres harus direvisi.

Hingga kini, pemerintah dan MILF masih terus mendesak agar Kongres segera meloloskan BBL.

BIFF

’Menyerahnya’ Iqbal dalam memperjuangkan kemerdekaan penuh, justru membuat MILF terbelah.

Tepat setelah MILF dan pemerintah menandatangani MOA-AD pada 2008, Umbra Kato memimpin kontingen MILF dari kubunya untuk menyerang warga-warga sipil.

Desember 2010, Kato akhirnya memisahkan diri dari MILF dan bersama dengan para pendukungnya melanjutkan perjuangan mendapatkan kemerdekaan penuh di bawah bendera Bangsamoro Islamic Freedom Fighters (BIFF).

The Inquirer melansir, Kato mengaku bahwa BIFF memiliki lima ribu personel. Namun, pemerintah mengatakan bahwa BIFF hanya memiliki kekuatan 300 orang.

MILF baru mengetahui mengenai keberadaan BIFF pada Agustus 2011 dan mengatakan bahwa kelompok pecahan tersebut hilang komando.

Pada 2012, BIFF pun menolak penandatanganan perjanjian kerja sama dan bertekad untuk terus melanjutkan perjuangan. Ketika pada Januari 2014 FAB benar-benar disahkan, Pasukan Bersenjata Filipina melancarakan Operasi Kuda Hitam melawan BIFF.

Tentara berhasil mengepung markas besar BIFF di Barangay Ganta, Maguindanao, yang diperkirakan menampung 500 militan.

Sebulan kemudian, salah satu komandan MNLF, Habib Mujahab Hashim, mengonfirmasi bahwa BIFF beraliansi dengan kelompoknya. Kato sendiri tewas pada April 2015, karena sakit.

Raga boleh mati, tapi semangat Kato terus hidup dalam BIFF.

"Kami tidak ingin BBL karena tidak berguna dan tak ada artinya bagi kami. Kami akan terus melakukan perlawanan bersenjata sampai kami mendapatkan negara independen," ujar Juru Bicara BIFF, Abu Misri, kepada CNN Indonesia.

 
Penduduk mengungsi karena merasa tak aman setelah daerah tempat tinggal mereka diserang BIFF pada Maret 2015. (Jeoffrey Maitem/Getty Images)
BIFF merupakan salah satu kelompok yang masih aktif menebar teror di selatan Filipina.

Pada 24 Desember lalu, BIFF kembali beraksi, menewaskan sebelas orang di beberapa desa di Maguindanao dalam satu rangkaian serangan.

Hingga kini, ribuan warga setempat masih mengungsi dan tak mau kembali lantaran takut akan teror lanjutan.

Justice for Islamic Movement

Pada November 2013, terjadi gonjang-ganjing kepemimpinan di tubuh BIFF. Seorang komandan BIFF, Mohammad Ali Tambako, akhirnya membentuk kelompok sempalan di bawah bendera Justice for Islamic Movement.

Merujuk pada laporan Terrorism Research and Analysis Consortium, Tambako merupakan penyedia tempat berlindung bagi beberapa teroris terkemuka di Filipina, termasuk Basit Usman.

Ansar Khalifah Filipina (AKP)

Sementara separatis sibuk mencari cara memisahkan diri dari pemerintahan Filipina, kelompok Ansar Khalifah Filipina (AKP) muncul dan mendeklarasikan sebagai perpanjangan tangan ISIS untuk membangun khilafah di Asia Tenggara.

Dengan kaitan dengan beberapa kelompok militan lawas, seperti Mujahidin Indonesia Timur (MIT), AKP yang juga disokong oleh Justice for Islamic Movement, Khalifah Islamiyah Mindanao, dan Abu Sayyaf terus membangun kekuatan dengan perekrutan pemuda di Mindanao.


Credit  CNN Indonesia



Siapa Bertempur di Filipina


Siapa Bertempur di Filipina



 Credit  CNN Indonesia