Tampilkan postingan dengan label CRIMEA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label CRIMEA. Tampilkan semua postingan

Selasa, 26 Februari 2019

Ukraina Minta Indonesia Bantu Akhiri Aneksasi Rusia atas Crimea


Ukraina Minta Indonesia Bantu Akhiri Aneksasi Rusia atas Crimea
Pemerintah Ukraina mendesak dunia internasional, termasuk di dalamnya Indonesia, untuk membantu mengakhiri aneksasi Rusia terhadap Crimea. Foto/Istimewa

JAKARTA - Pemerintah Ukraina mendesak dunia internasional, termasuk di dalamnya Indonesia, untuk membantu mengakhiri aneksasi Rusia terhadap Crimea, yang saat ini telah memasuki tahun kelima.

"Ukraina mendesak masyarakat internasional dan khususnya Republik Indonesia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB saat ini untuk terus melanjutakan upaya untuk menghentikan agresi hibrida Rusia terhadap Ukraina, termasuk pendudukan temporal Crimea, dengan tujuan akhir pemulihan integritas wilayah Ukraina di dalam perbatasannya yang diakui secara internasional," kata Duta Besar Ukraina untuk Indonesia, Volodymyr Pakhil dalam keterangan tertulis yang diterima Sindonews pada Selasa (26/2).

Pakhil, dalam keterangan menuturkan bahwa lima tahun lalu pasukan Rusia atau yang disebut "orang hijau kecil" memasuki Crimea tanpa lencana militer. Pada awalnya, papar Pakhil, Presiden Rusia, Vladimir Putin membantah keterlibatan negaranya, kemudian mengakui bahwa ia telah berbohong kepada seluruh dunia.

Dengan keberadaan “lelaki hijau kecil” bersenjata, Moskow berhasil melakukan referendum palsu tentang transisi Crimea ke Rusia, yang tidak diakui oleh dunia yang beradab secara demokratis.

"Yaitu, Resolusi Majelis Umum PBB “Integritas Teritorial Ukraina” menegaskan komitmen terhadap integritas teritorial Ukraina dalam batas-batasnya yang diakui secara internasional dan menggarisbawahi ketidakabsahan referendum palsu yang disebutkan. Dokumen itu didukung oleh 100 negara anggota PBB. Oleh karena itu, sejak awal Rusia mendapati dirinya berada dalam isolasi internasional, yang didukung hanya oleh 10 negara yang memiliki catatan demokrasi serupa dengan Moskow," ucapnya.

Dia kemudian menambahkan, pendudukan sementara Crimea berarti bahwa, untuk pertama kalinya sejak 1940-an, sebuah negara Eropa merebut sebagian wilayah dari tetangga dengan paksa, sehingga secara besar-besaran melanggar hukum dan ketertiban internasional.

"Selain itu, pendudukan Crimea menjadi awal perang hibrida Rusia melawan Ukraina, termasuk agresi militer yang sedang berlangsung di timur Ukraina serta perang informasi yang sangat besar. Untuk beberapa alasan, kampanye disinformasi besar-besaran dan intervensi agresif ke dalam urusan internal Ukraina serta banyak negara lain menjadi praktik umum bagi Kremlin," tukasnya. 





Credit  sindonews.com





Kiev Tuding Moskow Jadikan Crimea Pangkalan Militer Rusia


Kiev Tuding Moskow Jadikan Crimea Pangkalan Militer Rusia
Ukraina menyatakan Rusia saat ini telah menjadikan Crimea sebagai pangkalan militer mereka di Semenanjung Laut Hitam. Foto/Istimewa

JAKARTA - Ukraina menyatakan Rusia saat ini telah menjadikan Crimea sebagai pangkalan militer mereka di Semenanjung Laut Hitam. Crimea, di mata Ukraina, adalah wilayah yang dianeksasi Rusia lima tahun lalu.

Duta Besar Ukraina untuk Indonesia, Volodymyr Pakhil dalam keterangan tertulis yang diterima Sindonews pada Selasa (26/2), menuturkan pelanggaran HAM terus menerus dilakukan oleh Rusia di Crimea.

Namun, selain pelanggaran HAM, papar Pakhil, Moskow juga mengubah Krimea menjadi pangkalan militer besar, mengubah keseimbangan keamanan regional.

"Orang tidak dapat mengesampingkan bahwa militerisasi Krimea dapat digunakan untuk memperluas agresi Rusia terhadap Ukraina ke wilayah Ukraina baru dengan kemungkinan upaya pendudukan Laut Azov dan bagian selatan Ukraina," tulisnya.

"November lalu, Rusia melakukan satu lagi tindakan agresi terbuka terhadap Ukraina dengan cara serangan bersenjata dan penangkapan kapal-kapal angkatan laut Ukraina di perairan internasional Selat Kerch dan Laut Azov, serta melukai dan menangkap anggota kru mereka," sambung Pakhil.

Dia lalu menuturkan, Ukraina sangat menyambut keputusan Majelis Umum PBB pada akhir tahun lalu untuk mengadopsi Resolusi "Masalah militerisasi Republik Otonomi Crimea dan kota Sevastopol (Ukraina), serta bagian dari Laut Hitam dan Laut Azov", mendesak Rusia menarik pasukan bersenjatanya dari Krimea.

"Pada saat yang sama, sanksi terhadap Rusia terbukti menjadi salah satu langkah terkuat yang diterapkan oleh komunitas internasional untuk mendukung Ukraina, 41 negara saat ini telah menjatuhkan sanksi terhadap Rusia untuk agresi terhadap Ukraina. Sanksi-sanksi ini harus tetap berlaku sampai de-pendudukan wilayah Ukraina terjadi," tukasnya.




Credit  sindonews.com




Dubes Ukraina: Muslim Tatar Crimea Jadi Korban Utama Aneksasi Rusia


Dubes Ukraina: Muslim Tatar Crimea Jadi Korban Utama Aneksasi Rusia
Duta Besar Ukraina untuk Indonesia, Volodymyr Pakhil menuturkan, pihak yang paling rentan akibat aneksasi Rusia atas Crimea adalah kelompok Muslim Tatar. Foto/Istimewa

JAKARTA - Duta Besar Ukraina untuk Indonesia, Volodymyr Pakhil menuturkan, pihak yang paling rentan akibat aneksasi Rusia atas Crimea, yang saat ini telah memasuki tahun kelima adalah kelompok Muslim Tatar.

Dalam keterangan tertulis yang diterima Sindonews pada Selasa (26/2), Pakhil menuturkan pendudukan sementara Crimea berarti bahwa, untuk pertama kalinya sejak 1940-an, sebuah negara Eropa merebut sebagian wilayah dari tetangga dengan paksa, sehingga secara besar-besaran melanggar hukum dan ketertiban internasional.

Selain itu, pendudukan Crimea menjadi awal perang hibrida Rusia melawan Ukraina, termasuk agresi militer yang sedang berlangsung di timur Ukraina serta perang informasi yang sangat besar.

"Untuk beberapa alasan, kampanye disinformasi besar-besaran dan intervensi agresif ke dalam urusan internal Ukraina serta banyak negara lain menjadi praktik umum bagi Kremlin," tulis Pakhil.

Dia lalu menuturkan, Crimea sekarang menjadi zona ilegalitas dan pelanggaran hukum bagi semua orang yang menolak bekerja sama dengan Rusia. Kelompok yang paling rentan adalah Tatar Crimea, di mana mayoritas dari mereka, dipenjara secara ilegal di bawah motif politik. Kremlin, lanjut Pakhil juga melarang Parlemen Nasional Tatar Crimea, serta media, pendidikan, budaya, dan agama Tatar telah dilecehkan secara sistematis.

"Lebih dari 70 Tatar Muslim dan etnis Ukraina lainnya tetap ditahan secara ilegal di bawah dakwaan yang bermotivasi politik dan tidak memiliki hukum di Rusia dan Crimea yang diduduki Rusia. Daftar ini diperbarui berdasarkan bergulir ketika penangkapan baru, penahanan dan keputusan pengadilan berlangsung. Aktivis hak asasi manusia, pengacara, dan semua orang yang memberikan dukungan kepada warga Ukraina, termasuk Tatar Crimea, berada di bawah tekanan konstan," ucapnya.

Diplomat Kiev itu menyebut larangan Moskow bagi pengawas internasional dan lembaga bantuan untuk masuk ke Crimea membuat hampir tidak mungkin untuk memberikan bantuan yang diperlukan bagi mereka yang sangat membutuhkan di wilayah di Semenanjung Laut Hitam itu.

"Karena tidak ada lembaga penegakan hukum independen dan pengadilan yang adil di Rusia, satu-satunya alat adalah untuk melanjutkan dan memperkuat tekanan politik dan sanksi internasional. Pelanggaran hak asasi manusia dan nasional di Krimea oleh Rusia telah berulang kali dikutuk oleh PBB dan organisasi internasional lainnya," tukasnya. 




Credit  sindonews.com







Selasa, 19 Februari 2019

UE Ancam Jatuhkan Sanksi Baru pada Rusia Terkait Crimea


UE Ancam Jatuhkan Sanksi Baru pada Rusia Terkait Crimea
Menteri Luar Negeri Uni Eropa (UE), Federica Mogherini menyatakan, UE dapat menjatuhkan sanksi baru terhadap Rusia atas Crimea. Foto/Istimewa

BRUSSELS - Menteri Luar Negeri Uni Eropa (UE), Federica Mogherini menyatakan, UE dapat menjatuhkan sanksi baru terhadap Rusia atas Crimea. Pernyataan ini datang beberapa hari jelang peringatan apa yang disebut aneksasi Crimea oleh Rusia.

"Mungkin ada keputusan dengan suara bulat tentang sanksi baru yang akan datang dalam beberapa minggu ke depan terkait dengan perkembangan terakhir," kata Mogherini dalam menanggapi pertanyaan tentang kemungkinan sanksi baru terhadap Moskow.

Dia menuturkan UE telah menjatuhkan sanksi terhadap Rusia selama lima tahun terakhir. Mogherini mengatakan bahwa blok itu juga terus-menerus memperbarui sanksi-sanksi tersebut.

"Ini mengingat kenyataan bahwa kami belum melihat implementasi perjanjian Minsk dan kami belum melihat perkembangan berjalan dengan baik," ungkapnya, seperti dilansir Anadolu Agency pada Selasa (18/2).

"Tujuan dari sanksi adalah bahwa suatu hari itu akan dicabut, tetapi kami tidak melihat langkah-langkah positif dan inilah mengapa negara anggota UE sejauh ini selalu menegaskan kembali keinginan mereka untuk mempertahankannya," tambahnya.

Ukraina bagian timur telah dilanda konflik sejak Maret 2014 setelah aneksasi Crimea oleh Rusia.

Pihak-pihak yang bertikai kemudian menandatangani perjanjian gencatan senjata di Minsk pada Februari 2015 dengan mediasi Prancis dan Jerman, tetapi pertempuran berlanjut, merenggut lebih dari 10 ribu jiwa. 




Credit  sindonews.com




Sabtu, 29 Desember 2018

Rusia Selesaikan Pembangunan 'Tembok' di Perbatasan Crimea-Ukraina



Rusia selesaikan pembangunan pagar perbatasan Ukraina-Crimea. Foto/Istimewa

MOSKOW - Rusia mengumumkan telah menyelesaikan penghalang perbatasan antara Ukraina dan Crimea. Konstruksi yang membutuhkan waktu lebih dari setahun pembangunannya itu membutuhkan dana kurang dari Rp43,7 miliar.

Penawaran untuk membangun pagar setinggi dua meter, panjang 60 kilometer yang memisahkan semenanjung Ukraina dibuka pada September 2017. Dinas Keamanan Federal (FSB) mengumumkan penyelesaian proyek pada hari Kamis. Kontrak tersebut diperkirakan sekitar USD2,87 juta atau Rp41,8 miliar.

Seperti dilansir dari RT, Sabtu (29/12/2018), pagar pembatas ini dilaporkan dilengkapi dengan perangkat pengawasan teknologi tinggi, mulai dari sensor getaran hingga kamera night vision.

Kemampuan Rusia untuk membangun pagar dengan begitu cepat dan dengan biaya yang cukup rendah telah mendorong beberapa komentar tajam tentang Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan ketidakmampuannya untuk bahkan memulai pembangunan temboknya di perbatasan dengan Meksiko.

Di antara komentar yang lebih konstruktif adalah pernyataan dari seorang Amerika Russophile yang menggambarkan dirinya sendiri bahwa Rusia harus diberi kontrak untuk membangun tembok Trump. Jika harga pagar Crimea diekstrapolasi untuk panjang perbatasan AS selatan, itu bisa dilakukan untuk sekitar Rp2,1 triliun, katanya.


Dewan Perwakilan Rakyat AS mengeluarkan undang-undang alokasi dana Rp77,2 triliun untuk tembok dan langkah-langkah keamanan perbatasan lainnya awal bulan ini. Tetapi Demokrat menolak menyetujui pendanaan untuk pembangunan tembok, sama sekali, selamanya. Trump telah mengancam akan menutup seluruh perbatasan jika halangan berlanjut. 

Kebuntuan ini telah menyebabkan penutupan sebagian pemerintah AS yang telah berlangsung seminggu dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan segera berakhir.

Credit Sindonews.com


https://international.sindonews.com/read/1366535/41/rusia-selesaikan-pembangunan-tembok-di-perbatasan-crimea-ukraina-1546047850


Senin, 24 Desember 2018

Bersitegang dengan Ukraina, Rusia Kerahkan Jet Tempur ke Crimea

Rusia mengerahkan lebih dari selusin jet tempur Su-27 dan Su-30 ke Crimea di tengah ketegangan dengan Ukraina. Foto/Istimewa
BELBEK - Lebih dari selusin jet tempur Su-27 dan Su-30 dikerahkan Rusia untuk meningkatkan kekuatan udaranya tiba di Crimea. Pengerahan sejumlah jet tempur ini dilakukan di tengah meningkatnya ketegangan dengan Ukraina.
Seperti disitir dari Reuters, Minggu (23/12/2018), seorang saksi melihat jet-jet itu mendarat di pangkalan udara Belbek di Crimea yang dianeksasi oleg Rusia pada 2014. Crimea dianeksasi Rusia setelah Presiden Ukraina yang condong ke Moskow, Viktor Yanukovich, melarikan diri dari Kiev menyusul bentrokan di jalan-jalan dan aksi protes keras.
Ketegangan antara Moskow dan Kiev telah meningkat dalam beberapa pekan terakhir setelah Rusia menangkap tiga kapal angkatan laut Ukraina dan awaknya pada 25 November silam dalam sebuah insiden yang diwarnai saling tuding antara Moskow dan Kiev.

Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov menuduh Ukraina sedang mempersiapkan "provokasi" di dekat Crimea sebelum akhir tahun.
Credit Sindonews.com



https://international.sindonews.com/read/1365131/41/bersitegang-dengan-ukraina-rusia-kerahkan-jet-tempur-ke-crimea-1545518813


Senin, 10 Desember 2018

Usai Sistem Rudal S-400, Rusia Kirim 3 Pesawat Ilyushin-76 ke Crimea


Usai Sistem Rudal S-400, Rusia Kirim 3 Pesawat Ilyushin-76 ke Crimea
Gambar satelit dari Imagesat International menunjukkan tiga pesawat Ilyushin-76 Rusia berada di pangkalan udara Dzhankoi, Crimea. Foto/Imagesat International

MOSKOW - Dua pekan usai pasukan Rusia menangkap tiga kapal militer Ukraina dan para awaknya, Moskow semakin gencar menumpuk pasukan di Crimea. Setelah mengerahkan tambahan sistem pertahanan rudal canggih S-400 ke sekitar wilayah Crimea, Moskow kini menerbangkan tiga pesawat Ilyushin-76 ke lokasi yang sama.

Citra satelit Imagesat International yang diambil pada hari Sabtu menunjukkan tiga pesawat itu terlihat di pangkalan udara Dzhankoi di Crimea. Gambar satelit itu ikut dirilis Fox News, Senin (10/12/2018).

Sekadar diketahui, pesawat kargo Ilyushin-76 biasa digunakan oleh Angkatan Darat Rusia untuk mengirimkan kargo besar atau berat yang tidak bisa dibawa melalui jalur darat. Pesawat kargo juga digunakan untuk memobilisasi sejumlah besar pasukan.

Penumpukan pasukan oleh Moskow ini kian gencar sejak Crimea bergabung dengan Rusia tahun 2014. Wilayah itu sebelumnya bagian dari Ukraina, namun memisahkan diri melalui referendum. Namun, Kiev dan negara-negara Barat tak mengakui referendum itu dan menganggap Rusia menganeksasi Crimea secara ilegal.

Meski dari citra satelit ada tiga pesawat Ilyushin yang berada di Crimea, laporan media sosial di Rusia menyebutkan ada empat pesawat seperti itu yang terbang pada 6 Desember dari bandara Anapa di Novorossiysk dan mendarat di Dzhankoi.

Pangkalan unit elite pasukan Angkatan Udara Rusia juga terletak di Novorossiysk, tidak jauh dari Anapa. Pasukan elite itu dilaporkan berpartisipasi dalam putaran terakhir kekerasan antara Ukraina dan Rusia pada Agustus 2014 dan terlibat dalam pertempuran di Suriah.

Penumpukan pasukan Moskow ini terjadi ketika Kementerian Pertahanan Ukraina memperingatkan bahwa pihaknya akan segera mengirimkan kapal-kapal angkatan laut melalui Selat Kerch.
Parlemen Ukraina telah menyetujui pemberlakukan undang-undang darurat militer setelah Rusia menangkap tiga kapal angkatan laut Kiev di pantai Crimea, Selat Kerch, dua pekan lalu.

"Ukraina akan mengirim kapal-kapal (angkatan) laut melalui Selat Kerch segera, jika tidak, Rusia akan sepenuhnya menduduki Laut Azov," kata Menteri Pertahanan Ukraina Stepan Poltorak, pekan lalu. 



Credit sindonews.com



Senin, 03 Desember 2018

Citra Satelit: Rusia Sebar Sistem Rudal S-400 Terbaru di Crimea


Citra Satelit: Rusia Sebar Sistem Rudal S-400 Terbaru di Crimea
Citra satelit menunjukkan penyebaran tambahan sistem rudal S-400 Rusia di Crimea. Foto/ImageSat International

WASHINGTON - Citra satelit yang diambil pada hari Minggu menunjukkan sejumlah baterai sistem rudal S-400 Moskow yang baru dikerahkan di pangkalan udara Dzhankoy, Crimea. Pengerahan senjata pertahanan canggih ini terjadi sepekan setelah kapal militer Rusia dan Ukraina bentrok di Selat Kerch.

Gambar satelit yang merupakan data intelijen Amerika Serikat (AS) itu diperoleh Fox News dan dipublikasikan hari Senin (3/12/2018).

Gambar yang dihasilkan oleh ImageSat International itu menunjukkan bahwa infrastruktur untuk baterai S-400 disiapkan dalam beberapa bulan terakhir, atau jauh hari sebelum bentrok kapal militer Moskow dan Kiev pecah 25 November.

Citra satelit juga menampikan kondisi lapangan pada April 2018 yang masih berupa tanah kosong. Konstruksi untuk penempatan senjata pertahanan itu dimulai pada 10 November.

Ada delapan baterai S-400 yang dibagi menjadi empat. Semuanya terletak di wilayah barat daya pangkalan udara Dzhankoy. Selain itu juga ada dua sistem radar dan beberapa truk di dekatnya, yang salah satunya diduga membawa rudal untuk S-400.

Sistem rudal S-400 mobile memiliki jangkauan hingga hampir 250 mil dan dapat menjangkau pada ketinggian hampir 19 mil. Sistem ini dimaksudkan untuk menjatuhkan berbagai target udara, mulai dari pesawat terbang hingga rudal balistik.

Pada 28 November 2018, Kementerian Pertahanan Rusia mengeluarkan pernyataan bahwa dalam beberapa hari setelah bentrok kapal militer yang mengisyaratkan akan mengerahkan tambahan sistem rudal S-400 di Crimea. 

Crimea adalah wilayah yang melepaskan diri dari Ukraina melalui referendum tahun 2014. Sejak itu, Crimea bergabung dengan Rusia. Namun, Ukraina dan negara-negara Barat tidak mengakui referendum itu dan menganggapnya sebagai aneksasi ilegal oleh Moskow.

Moskow sebelumnya telah memperkuat pertahanan militer di semenanjung Laut Hitam dengan tiga sistem rudal S-400 sejak 2017. Pengerahan tambahan senjata pertahanan itu akan memperkuat yang sudah ada. 




Credit  sindonews.com




Jumat, 30 November 2018

Rusia Berencama Kirim S-400 ke Crimea, Ukraina Murka



Rusia Berencama Kirim S-400 ke Crimea, Ukraina Murka
Kementerian Luar Negeri Ukraina mengutuk rencana Rusia untuk menyebarkan sebuah batalion sistem pertaahanan udara S-400 ke semenanjung Crimea. Foto/Istimewa

KIEV - Kementerian Luar Negeri Ukraina mengutuk rencana Rusia untuk menyebarkan sebuah batalion sistem pertaahanan udara S-400 ke semenanjung Crimea. Kiev menyebut langkah ini hanya akan memperburuk situasi.

Direktur Politik Kemlu Ukraina, Olexiy Makeyev mengatakan bahwa pengiriman sistem pertahanan udara itu sangat berbahaya tidak hanya untuk Ukraina, tetapi seluruh wilayah Laut Hitam.

"Jangkauan operasional sistem itu mencapai 400km sehingga menempatkan semua negara di wilayah Laut Hitam, termasuk anggota NATO di bawah ancaman serangan. Kami tahu bahwa rudal itu dapat digunakan juga untuk target darat," ucap Makeyev.

Makeyev mengatakan bahwa Moskow telah militerisasi Crimea sejak 2014, dengan membawa sistem senjata baru termasuk pesawat dan rudal yang mampu membawa hulu ledak nuklir serta personil militer.

"Pendudukan dan militerisasi berikutnya di Crimea adalah perluasan area penggunaan kapal perang Rusia dan pesawat militer di Laut Hitam dan mungkin jauh melampauinya, bahkan di wilayah Mediterania," ungkapnya.

"Militerisasi semacam itu memiliki konsekuensi luas untuk keamanan tidak hanya di wilayah Laut Hitam tetapi di seluruh Eropa selatan, serta Afrika Utara dan Timur Tengah," tukasnya. 



Credit  sindonews.com



Kamis, 29 November 2018

Ukraina Terapkan Darurat Militer, Rusia Pasang Sistem S-400


Sistem rudal S-400. Sumber : Sputnik/RT.com
Sistem rudal S-400. Sumber : Sputnik/RT.com

CB, Jakarta - Rusia akan mengerahkan sistem rudal pertahanan udara terbarunya, S-400, di semenanjung Crimea, setelah insiden penyitaan kapal perang Ukraina di Selat Kerch, Crimea yang berujung pada darurat militer Ukraina.
Kantor berita Interfax, seperti dikutip dari Reuters, 28 November 2018, melaporkan pengerahan S-400 terjadi setelah Ukraina memberlakukan darurat militer selama 30 hari di beberapa bagian negara menyusul penyitaan tiga kapal perang Ukraina oleh RFusia di lepas pantai Crimea pada Minggu 25 November.

Kantor berita RIA mengatakan sistem S-400 akan beroperasi pada akhir tahun ini.

Sebuah kapal perang bersenjata artileri miliki Ukraina dan kapal tunda terlihat berlabuh di pelabuhan Kerch, Crimea, Rusia pada 26 November 2018. Reuters
Sementara media Rusia Sputniknews melaporkan aktivitas pesawat pengintai asing dan pesawat tanpa awak meningkat di dekat perbatasan Rusia, terutama di wilayah Crimea dan Krasnodar.
Boeing P-8 Poseidon, sebuah pesawat militer yang dikembangkan untuk Angkatan Laut Amerika Serikat melakukan penerbangan pengintaian di Selat Kerch dan Krimea pada 27 November, berdasarkan pemantauan situs PlaneRadar.

Pesawat dengan nomor ekor 168848 adalah bagian dari VP-26 Tridents dan merupakan skuadron pesawat Angkatan Laut Amerika Serikat. Pesawat mendekati garis pantai semenanjung pada jarak 31 kilometer.


Boeing P-8 Poseidon.[www.militaryaerospace.com]

Boeing P-8 Poseidon adalah pesawat patroli anti-kapal selam yang dirancang untuk mendeteksi dan menghancurkan kapal selam musuh di area patroli, pengintaian, partisipasi dalam operasi anti-kapal dan misi penyelamatan.

Insiden terjadi hanya beberapa hari setelah tiga kapal Ukraina melintasi perbatasan maritim Rusia. Dinas Keamanan Federal Rusia (FSB) melaporkan bahwa kapal-kapal perang Ukraina berlayar menuju Selat Kerch, sebuah pintu masuk ke Laut Azov, yang kemudian disita oleh Rusia.





Credit  tempo.co





Rabu, 28 November 2018

Pengadilan Perintahkan Penahanan Dua Bulan Pelaut Ukraina


Pengadilan Perintahkan Penahanan Dua Bulan Pelaut Ukraina
Ilustrasi Semenanjung Krimea (CNN)


Jakarta, CB -- Pengadilan di Simferopol, Krimea memerintahkan dua bulan penahanan pra-ajudikasi bagi sembilan awak kapal angkatan laut Ukraina yang ditangkap dalam konfrontasi laut dengan Rusia. Penahanan yang diputuskan pada Selasa (27/11) itu diprediksi bakal semakin meningkatkan intensitas ketegangan antara Moskow dan Kiev.

Melansir AFP, penahanan itu dipastikan bakal menyulut emosi Ukraina yang gencar menuntut pembebasan para awak kapal dan mendesak sekutu Barat untuk menjatuhkan sanksi terhadap Rusia.

Sebelumnya, sebanyak 24 pelaut ditahan oleh Moskow sejak Minggu (25/11). Mereka ditangkap setelah Rusia menahan dua kapal angkatan laut Ukraina yang mengawal sebuah kapal tunda di Laut Hitam, berdekatan dengan Semenanjung Krimea.




Insiden itu merupakan konfrontasi besar pertama sejak usainya konflik berkepanjangan di antara kedua negara pada 2014 lalu.

Presiden Rusia, Vladimir Putin mengingatkan Ukraina atas keputusannya memberlakukan status darurat militer sebagai tanggapan atas penangkapan tersebut. Putin menyebut langkah tersebut sebagai tindakan sembrono yang dilakukan Ukraina.

Dalam percakapannya dengan Kanselir Jerman, Angela Merkel, Putin menyatakan kekhawatirannya atas insiden tersebut. Dia berharap agar Jerman bisa turut membantu Rusia untuk menghalangi Ukraina melakukan tindakan yang lebih sembrono.


Dalam beberapa hari ke belakang, sejumlah pihak mengeluarkan seruan agar Rusia membebaskan kapal beserta awak kapal yang ada di dalamnya. Sejumlah negara Uni Eropa menyatakan dukungannya untuk Ukraina pada Senin (25/11).

Namun, seolah tak peduli, Rusia malah bersikeras bahwa kapal-kapal tersebut menyeberang secara ilegal ke perairan Rusia dan mengabaikan peringatan dari petugas di perbatasan. Rusia juga menuduh adanya campur tangan negara-negara Barat dalam tindakan provokasi yang dilakukan Ukraina ini.

Menteri Luar Negeri Austria, Karin Kneissl, mengatakan bahwa Uni Eropa bakal mempertimbangkan sanksi lebih lanjut terhadap Rusia akibat serangan yang dilakukannya.



Credit  cnnindonesia.com





Senin, 26 November 2018

Rusia Umbar Tembakan dan Tangkap 3 Kapal Militer Ukraina


Rusia Umbar Tembakan dan Tangkap 3 Kapal Militer Ukraina
Sejumlah jet tempur Rusia terbang di atas jembatan penghubung Rusia dan Semenanjung Crimea. Foto/Sky News

CRIMEA - Pasukan Rusia menembaki kapal-kapal Angkatan Laut Ukraina setelah dianggap menerobos wilayah Crimea yang dinyatakan sebagai wilayah kedaulatannya. Selama ketegangan berlangsung hari Minggu petang, tiga kapal militer Ukraina ditangkap.

Angkatan Laut Ukraina mengatakan tiga pelautnya terluka dan dua kapal artileri mereka terkena tembakan Rusia di pantai Crimea, Laut Hitam. Angkatan Laut Ukraina bersikeras Rusia telah diberitahu sebelumnya tentang perjalanan kapal-kapalnya yang direncanakan.

"Kapal penjaga pantai Rusia melakukan tindakan agresif secara terbuka terhadap kapal angkatan laut Ukraina," katanya.

Dinas Keamanan Federal (FSB) Rusia mengatakan, pihaknya menggunakan senjata setelah kapal-kapal Ukraina mengabaikan desakan untuk menghentikan operasinya. FSB membenarkan bahwa tiga kapal Kiev disita karena menerobos perbatasan secara ilegal.

Menurut FSB, tiga pelaut yang terluka menerima perawatan medis dan hidup mereka tidak dalam bahaya.

"Peristiwa berbahaya hari ini di Laut Azov menunjukkan bahwa sebuah front baru agresi Rusia secara terbuka," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Ukraina, Mariana Betsa, seperti dikutip Sky News, Senin (26/11/2018).

"Ukraina kini menyerukan pertemuan darurat Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)," ujar Betsa.

Sebaliknya, FSB mengklaim apa yang terjadi di pantai Crimea itu adalah hasil provokasi Kiev. "FSB memiliki bukti tak terbantahkan bahwa Kiev mempersiapkan dan mengatur provokasi di Laut Hitam," kata FSB dalam sebuah pernyataan.

"Bahan-bahan (bukti) ini akan segera dipublikasikan," imbuh FSB.

Uni Eropa menyerukan Rusia dan Ukraina untuk menahan diri untuk mengurangi ketegangan di Laut Hitam.

"Mendesak Rusia untuk mengembalikan kebebasan navigasi melalui Selat Kerch setelah Moskow memblokadenya," kata pihak Uni Eropa.

Sekedar diketahui, Crimea melalui referendum melepaskan diri dari Ukraina tahun 2014 saat negara itu dilanda krisis ekonomi dan politik. Setelah melepaskan diri, Crimea menyatakan bergabung dengan Rusia.

Namun, Ukraina dan negara-negara Barat tak mengakui referendum dan menuduh Moskow menganeksasi wilayah tersebut. Setelah Crimea bergabung dengan Rusia, Presiden Vladimir Putin menerbitkan peta yang menyatakan Crimea bagian dari wilayah Rusia. 






Credit  sindonews.com




Konflik di Laut Hitam, Rusia Tahan 3 Kapal Ukraina


Konflik di Laut Hitam, Rusia Tahan 3 Kapal Ukraina
Ilustrasi Angkatan Laut Rusia di Semenanjung Krimea. (CNN)



Jakarta, CB -- Angkatan bersenjata Rusia dikabarkan menahan 3 buah kapal milik Angkatan Laut Ukraina pada Minggu waktu setempat. Hal itu membuat hubungan kedua negara tetangga itu kembali tegang dan membuka peluang terjadinya konflik baru, selepas Negeri Beruang Merah mencaplok Semenanjung Krimea dari Ukraina empat tahun lalu.

Menurut Badan Intelijen Rusia (FSB), insiden itu terjadi ketika dua kapal AL Ukraina berukuran kecil dilengkapi meriam yang mengawal sebuah kapal tunda melintas di Laut Hitam dekat Semenanjung Krimea. AL Rusia lantas siaga dan memblokir perairan dengan menempatkan kapal tanker dan kapal penjaga pantai di perairan itu.


Hanya saja, Rusia beralasan kapal AL Ukraina tetap melintas dan mengabaikan peringatan. Mereka lantas terlibat duel dengan masing-masing melancarkan manuver. Alhasil, penjaga pantai Rusia melepaskan tembakan ke arah kapal AL Ukraina dan melukai sejumlah pelaut.

"Kami terpaksa menggunakan senjata untuk menghentikan kapal perang Ukraina. Hasilnya, kami menyita tiga kapal Ukraina yang disita," demikian pernyataan FSB, sebagaimana dilansir Reuters, Senin (26/11).


Angkatan Udara Rusia juga mengirim sebuah helikopter dan dua jet tempur untuk berpatroli di Laut Hitam. Mereka menyatakan kapal perang Ukraina dan helikopter tempur itu bahkan sudah dalam keadaan saling kunci dan siap melepaskan tembakan.

Menurut versi Ukraina, Rusia justru menyerang dan menyita kapal setelah menjauh dan hendak kembali Pelabuhan Laut Hitam di Odessa. Mereka mengaku Rusia bertindak agresif dengan menabrak dan menembaki kapal itu.

"Setelah kami pergi sejauh 12 mil laut, FSB menembaki armada kecil AL Ukraina," demikian pernyataan angkatan bersenjata Rusia.


Karena hal itu, Presiden Ukraina Petro Poroshenko menggelar rapat darurat dengan petinggi militer dan penasihat keamanannya. Dia juga mendesak parlemen supaya menetapkan status darurat militer atas sikap Rusia.

Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan akan menggelar rapat darurat pada pukul 11.00 waktu New York, Amerika Serikat untuk membahas masalah itu. Kabarnya permintaan itu disampaikan langsung oleh Ukraina dan Rusia.


Konflik antara Rusia dan Ukraina belum reda sejak pencaplokan Krimea pada 2014. Ukraina menuding Rusia menghasut penduduk di perbatasan sebelah timur dengan mengirim tentara bayaran dan mempersenjatai kelompok separatis.





Credit  cnnindonesia.com


Jumat, 09 November 2018

AS Tampar Rusia dengan Sanksi Baru Atas Aneksasi Crimea


AS Tampar Rusia dengan Sanksi Baru Atas Aneksasi Crimea
Foto/Ilustrasi/SINDOnews/Ian

WASHINGTON - Amerika Serikat (AS) menampar lebih dari selusian individu dan perusahaan Rusia dengan sanksi terkait Crimea. Para individu dan perusahaan Rusia itu dianggap mendapatkan keuntungan dari pencaplokan dan pendudukan ilegal wilayah Crimea di Ukraina.

Departemen Kantor Pengawasan Aset Luar Negeri Departemen Keuangan (OFAC) mengumumkan hukuman yang dimandatkan oleh kongres, beberapa di antaranya merupakan sanksi tambahan bagi individu dan entitas yang telah masuk dalam daftar hitam pemerintah AS.

Langkah ini dilakukan hanya beberapa hari sebelum Presiden Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin diharapkan bertemu sebentar, tetapi tidak untuk pertemuan skala penuh, akhir pekan ini di Paris selama peringatan 100 tahun berakhirnya Perang Dunia I.

"Departemen Keuangan tetap berkomitmen untuk menargetkan entitas yang didukung Rusia yang mencari keuntungan dari aneksasi ilegal Rusia dan pendudukan Crimea," Menteri Keuangan di Bawah Sekretaris Terorisme dan Intelijen Keuangan Sigal Mandelker mengatakan dalam sebuah pernyataan.

"Sanksi kami adalah pengingat yang jelas bahwa upaya untuk menormalkan investasi dan hubungan ekonomi dengan mereka yang beroperasi di Crimea tidak akan ditoleransi dan tunduk pada otoritas sanksi AS dan Uni Eropa," tambahnya seperti dikutip dari The Washington Times, Jumat (9/11/2018).

Menurut pejabat Departemen Keuangan, sanksi tersebut menggarisbawahi dukungan AS untuk Ukraina dan Uni Eropa (UE). Sanksi itu juga menyoroti sikap oposisi Washington terhadap aneksasi dan pendudukan Kremlin atas Crimea serta penggunaan kekuatan untuk mengontrol bagian-bagian Donetsk dan wilayah Luhansk di Ukraina timur.





Credit  sindonews.com


Kamis, 18 Oktober 2018

Pola Pembantaian Crimea Mirip dengan Tragedi Columbine di AS


Pola Pembantaian Crimea Mirip dengan Tragedi Columbine di AS
Tindakan Vladislav Roslyakov (kiri) di sekolah teknik Kerch, Crimea sangat mirip dengan pola pembantain di SMA Columbine pada 1999 lalu yang dilakukan oleh Eric Harris (kanan). Foto/Ilustrasi/SINDOnews/Ian

MOSKOW - Pembantaian massal terjadi di sekolah teknik di Kerch, Crimea, Rabu (17/10/2018). Pembantaian yang dimulai dengan rentetan ledakan dan berlanjut dengan "hujan" tembakan ini menewaskan 18 orang termasuk salah satu pelaku yang melakukan aksi bunuh diri.

Dari insiden ini ada sebuah kemiripan yang mengejutkan. Tindakan pelaku, Vladislav Roslyakov (18), sangat mirip dengan pola pembantain di SMA Columbine, Amerika Serikat (AS), pada 1999 lalu yang dilakukan oleh Eric Harris dan Dylan Klebold.

Seperti dikutip dari Russia Today, Kamis (18/10/2018), sama seperti duo Eric Harris dan Dylan Klebold, Roslyakov tercatat sebagai siswa senior di sekolah tersebut. Ia menyerang teman-temannya dengan senapan, menewaskan sedikitnya 18 orang dan melukai hampir 50 orang. Ia kemudian menghabisi dirinya sendiri.

Sementara duo maut Harris dan Klebold membunuh 12 siswa dan satu guru, melukai 21 orang lainya, dan juga bunuh diri setelah itu.

Kemiripan lain adalah Roslyakov meledakkan bom rakitan, serta memberondong tembakan, dengan ledakan yang tampaknya menghantam kantin kampus. Pelaku tragedi Columbine juga menyiapkan beberapa IED (bom rakitan), termasuk tangki propana yang diubah menjadi bom yang ditempatkan di kafetaria sekolah, tetapi bom mereka gagal meledak.

Pembantaian Columbine High School 1999 di Littleton, Colorado dianggap sebagai salah satu pembunuhan massal paling mematikan dalam sejarah AS. Terlebih lagi, tragedi itu telah melahirkan seluruh komunitas online "Columbiners" yang terobsesi dengan pembantaian dan pelakunya, Eric Harris (18) dan Dylan Klebold (17).

Media AS telah melaporkan bahwa orang-orang Columbin cenderung menjadi anak muda yang tertarik pada para pelaku pada tingkatan pribadi, sementara yang lain tertarik dengan kasus ini karena tertarik pada kriminologi dan psikologi. Penembak massal dan pembunuh berantai lainnya juga membuat penampilan di halaman-halaman fans tragedi Columbine.

Meskipun penembakan di sekolah jarang terjadi di Rusia, negara itu sejatinya sudah menghadapi serangan yang terinspirasi tragedi Columbine awal tahun ini. Seorang remaja menyerbu sekolahnya di Republik Bashkortostan, menyerang guru sekolah dan teman-teman sekelasnya, dan mencoba untuk membakar gedung itu. Empat orang terluka dalam insiden itu. Laporan media mengklaim penyerang, yang hanya dikenal sebagai Artem, mendapat inspirasi dari tragedi Columbine.

Dalam insiden lain Desember lalu, seorang siswa dengan kapak menyerbu sebuah sekolah di kota Ulan-Ude di Siberia dan menggunakan bom Molotov untuk membakar gedung itu. Tujuh orang terluka, dan tidak jelas apa yang benar-benar mengilhami penyerang tetapi hubungan dengan tragedi Columbine pasti ditarik.

Sementara terkait serangan terbaru ini, menjadi tugas penyidik untuk mengetahui apakah penyerang perguruan tinggi di Kerch terinspirasi oleh pembantaian Columbine di AS yang terkenal itu.

Moskow sendiri tampaknya menganggap serius masalah ini. Pada bulan Juli, komite Duma Negara Rusia untuk keluarga, wanita dan anak-anak menyusun undang-undang yang memerintahkan tindakan mendesak terhadap kelompok-kelompok internet yang mempromosikan serangan bunuh diri dan sekolah anak-anak. 






Credit  sindonews.com




Pembantaian Massal Crimea, Putin: Ini Jelas Kejahatan!



Pembantaian Massal Crimea, Putin: Ini Jelas Kejahatan!
Presiden Rusia Vladimir Vladimorvich Putin. Foto/REUTERS

MOSKOW - Presiden Rusia Vladimir Putin mengutuk pembantaian massal di sebuah sekolah teknik di Kerch, Crimea, pada hari Rabu. Sekitar 18 orang tewas setelah rentetan ledakan dan hujan tembakan terjadi di sekolah tersebut.

Putin sedang melakukan pertemuan dengan pemimpin Mesir di selatan resor Sochi saat serangan mengerikan yang melibatkan seorang siswa itu terjadi.



"Ini jelas merupakan kejahatan!," kata Putin. "Motifnya akan diselidiki secara hati-hati," ujarnya, seperti dikutip Reuters, Kamis (18/10/2018).

Dewan Eropa menyampaikan belasungkawa atas tragedi di Kerch, Crimea.

"Menghancurkan. Tragis. Tidak ada yang sepenting nyawa anak-anak kami. Kami menyampaikan belasungkawa kami kepada semua orang yang dekat dengan para korban," kata juru bicara Dewan Eropa Daniel Holgen kepada Sputnik atas nama Sekretaris Jenderal Thorbjorn Jagland.


Wakil Perdana Menteri Italia Matteo Salvini mengucapkan belasungkawa kepada keluarga korban dalam serangan di Kerch.

"Saya menyampaikan belasungkawa kepada keluarga orang-orang yang terbunuh hari ini selama serangan teroris ini di sekolah tinggi di Kerch. Ini sangat mengkhawatirkan saya," kata Salvini.

Kanselir Jerman Angela Merkel juga menyampaikan belasungkawa. "Laporan yang menghancurkan tentang serangan terhadap sebuah sekolah di Crimea; Kanselir Merkel berduka atas banyak nyawa muda yang hilang. Simpati kami tertuju ke keluarga para korban dan semua yang terluka," kata juru bicara pemerintah Jerman, Steffen Seibert, di Twitter.

Pembantaian di sekolah itu dimulai dengan rentetan ledakan dan berlanjut dengan "hujan" tembakan. Sebanyak 18 orang tewas termasuk salah satu pelaku yang melakukan aksi bunuh diri.

Direktur sekolah, Olga Grebennikova, meyakini pelaku lebih dari satu orang. Dia menggambarkan adegan mengerikan yang dia lihat ketika dia memasuki gedung kampus setelah serangan terjadi. 

"Ada mayat di mana-mana, tubuh anak-anak di mana-mana. Itu adalah tindakan terorisme yang nyata. Mereka meledakkan dalam lima atau 10 menit setelah saya pergi. Mereka meledakkan segala sesuatu di aula, kaca berterbangan," kata Grebennikova, yang dikutip Reuters.

"Mereka kemudian berlari melemparkan semacam peledak ke sekeliling, dan kemudian berlari mengelilingi lantai dua dengan senjata, membuka pintu kantor, dan membunuh siapa pun yang bisa mereka temukan," ujarnya.

Crimea saat ini merupakan wilayah Rusia setelah dianeksasi dari Ukraina pada tahun 2014. Aneksasi ini tak pernah diakui Ukraina dan negara-negara Barat. 

Pihak berwenang Rusia menyatakan pembantaian terjadi ketika seorang siswa 18 tahun bernama Vladislav Roslyakov masuk ke sebuah ruangan dan menembaki sesama murid. Roslyakov kemudian bunuh diri.

Sebelum Roslyakov beraksi, rentetan ledakan terdengar keras di sekolah tersebut. Investigator Rusia menemukan jasad Roslyakov di lokasi kejadian dengan tubuh luka tembak yang ditimbulkannya sendiri.

Sejauh ini belum ada petunjuk langsung tentang motif pembantaian massal ini. Serangan tersebut mengingatkan kembali pada penembakan serupa yang dilakukan oleh siswa di sekolah-sekolah Amerika Serikat.

Banyak korban dari serangan adalah siswa remaja. Tubuh mereka rata-rata terkena pecahan peluru dan luka tembak.



Credit  sindonews.com



Roslyakov, Mahasiswa Pembantai Massal di Kerch College Crimea


Roslyakov, Mahasiswa Pembantai Massal di Kerch College Crimea
Vladislav Roslyakov, 18, mahasiswa yang jadi salah satu pelaku pembantaian massal di Kerch College, Crimea, Rabu (17/10/2018). Sebanyak 18 orang tewas dan sekitar 50 orang luka dalam serangan di kampus tersebut. Foto/Meduza.io

KERCH - Sebanyak 18 orang tewas, termasuk salah satu pelaku, dalam penembakan massal dan rentetan ledakan di Kerch College, perguruan tinggi politeknik di Crimea, hari Rabu. Salah satu pelaku adalah Vladislav Roslyakov, 18, mahasiswa kampus setempat.

Selain belasan tewas, sekitar 50 orang lainnya terluka dalam serangan mengerikan tersebut.



Komite Anti-Terorisme Nasional Rusia mengatakan Roslyakov menembak dirinya sendiri setelah beraksi. Para pelaku lain sedang diburu.

Pemimpin Crimea Sergei Aksyonov membenarkan bahwa Roslyakov adalah mahasiswa Kerch College.

"Pembunuh potensial menembak dirinya sendiri, melakukan bunuh diri. Dia adalah seorang mahasiswa dari lembaga pendidikan yang sama di tahun keempatnya. Mayatnya ditemukan di perpustakaan di lantai dua," kata Aksyonov, seperti dikutip Sputnik, Kamis (18/10/2018).


Crimea saat ini bagian dari Rusia setelah memisahkan diri dari Ukraina tahun 2014 melalui referendum. Bergabungnya Crimea ke Rusia ini tak pernah diakui Ukraina dan negara-negara Barat.

Juru bicara Komite Investigasi, Svetlana Petrenko, mengatakan identitas pelaku diidentifikasi dengan cepat.

Dalam sebuah rekaman video dari lokasi kejadian, Roslyakov terlihat memasuki kampus dengan senjata di tangannya. Dia kemudian mulai menembaki orang-orang di dalam kampus sebelum akhirnya bunuh diri. Sesaat sebelum Roslyakov beraksi, rentetan ledakan mengguncang kampus.

"Berdasarkan data di lokasi kejadian, para penyidik ​​menganggap bahwa pemuda ini menembak orang-orang, yang berada di perguruan tinggi, kemudian melakukan bunuh diri. Sehubungan dengan ini, proses pidana yang sebelumnya dilembagakan berdasarkan pasal 205 KUHP Rusia telah direklasifikasi ke Bagian 2 dari Pasal 105 KUHP Rusia (membunuh dua orang atau lebih dengan metode berbahaya)," kata Petrenko. 






Credit  sindonews.com



Pembantaian Massal Crimea: Ledakan, Hujan Tembakan, Mayat di Mana-mana



Pembantaian Massal Crimea: Ledakan, Hujan Tembakan, Mayat di Mana-mana
Sejumlah mobil darurat berdatangan ke sekolah teknik di Kerch, Crimea, setelah pembantaian massal terjadi di sekolah tersebut, Rabu (17/10/2018). Foto/Sputnik/Mariya Kritskaya

KERCH - Pembantaian massal terjadi di sekolah teknik di Kerch, Crimea, Rabu (17/10/2018). Pembantaian yang dimulai dengan rentetan ledakan dan berlanjut dengan "hujan" tembakan ini menewaskan 18 orang termasuk salah satu pelaku yang melakukan aksi bunuh diri.

Direktur sekolah, Olga Grebennikova, meyakini pelaku lebih dari satu orang. Dia menggambarkan adegan mengerikan yang dia lihat ketika dia memasuki gedung kampus setelah serangan terjadi.



"Ada mayat di mana-mana, tubuh anak-anak di mana-mana. Itu adalah tindakan terorisme yang nyata. Mereka meledakkan dalam lima atau 10 menit setelah saya pergi. Mereka meledakkan segala sesuatu di aula, kaca berterbangan," kata Grebennikova, yang dikutip Reuters.

"Mereka kemudian berlari melemparkan semacam peledak ke sekeliling, dan kemudian berlari mengelilingi lantai dua dengan senjata, membuka pintu kantor, dan membunuh siapa pun yang bisa mereka temukan," ujarnya.

Crimea saat ini merupakan wilayah Rusia setelah dianeksasi dari Ukraina pada tahun 2014. Aneksasi ini tak pernah diakui Ukraina dan negara-negara Barat.

Pihak berwenang Rusia menyatakan pembantaian terjadi ketika seorang siswa 18 tahun bernama Vladislav Roslyakov masuk ke sebuah ruangan dan menembaki sesama murid. Roslyakov kemudian bunuh diri.

Sebelum Roslyakov beraksi, rentetan ledakan terdengar keras di sekolah tersebut. Investigator Rusia menemukan jasad Roslyakov di lokasi kejadian dengan tubuh luka tembak yang ditimbulkannya sendiri.

Sejauh ini belum ada petunjuk langsung tentang motif pembantaian massal ini. Serangan tersebut mengingatkan kembali pada penembakan serupa yang dilakukan oleh siswa di sekolah-sekolah Amerika Serikat.

Banyak korban dari serangan adalah siswa remaja. Tubuh mereka rata-rata terkena pecahan peluru dan luka tembak.

Presiden Rusia Vladimir Putin, pada pertemuan dengan pemimpin Mesir di selatan resor Sochi menyatakan keheningan sesaat bagi para korban.

"Ini jelas merupakan kejahatan," katanya. "Motifnya akan diselidiki secara hati-hati," ujar Putin.

Para pejabat Rusia mengatakan mereka sedang menyelidiki kemungkinan bahwa serangan di sekolah itu sebagai aksi terorisme. Pasukan Rusia dengan kendaraan lapis baja telah dikirim ke tempat kejadian. Orang tua setempat diberitahu untuk mengumpulkan anak-anak mereka dari semua sekolah demi keselamatan mereka.

Komite Investigasi, badan negara Rusia yang menyelidiki kejahatan besar, sudah mengklasifikasikan kasus tersebut dari aksi terorisme menjadi pembunuhan massal.

Beda dengan laporan media, data dari komite tersebut menyatakan jumlah korban tewas 17 orang. Seorang karyawan di rumah sakit Kerch mengatakan lusinan orang dirawat di ruang gawat darurat dan ruang operasi karena luka parah. 


Anastasia Yenshina, seorang siswa 15 tahun di sekolah setempat, mengatakan dia berada di toilet di lantai dasar gedung dengan beberapa teman ketika dia mendengar suara ledakan.

"Saya keluar dan ada debu dan asap, saya tidak mengerti, saya sudah tuli," katanya kepada Reuters. "Semua orang mulai berlari. Saya tidak tahu harus berbuat apa. Lalu mereka menyuruh kami meninggalkan gedung melalui gimnasium."

"Semua orang berlari ke sana...Saya melihat seorang gadis terbaring di sana. Ada seorang anak yang sedang ditolong berjalan karena dia tidak bisa bergerak sendiri. Dindingnya berlumuran darah. Kemudian semua orang mulai memanjat pagar, dan kami masih bisa mendengar ledakan. Semua orang ketakutan. Orang-orang menangis."

Foto-foto yang diambil dari tempat ledakan menunjukkan bahwa jendela lantai dasar gedung bertingkat dua telah diledakkan, dan puing-puing berserakan hingga ke luar gedung.




Credit  sindonews.com




Penembakan dan Bom di Krimea Tewaskan 18 Mahasiswa


Penembakan dan Bom di Krimea Tewaskan 18 Mahasiswa
Ilustrasi jenazah. (Istockphoto/Katarzyna Bialasiewicz)


Jakarta, CB -- Penembakan dan ledakan bom terjadi di sebuah kampus di Kota Kerch, Krimea, Rusia. Kejadian itu menyebabkan 18 orang meninggal dan 50 lainnya luka-luka.

Komite Antiterorisme Rusia menyatakan mereka masih menyelidiki jenis bom diledakkan di ruang makan Politeknik Kerch. Menurut mereka bom itu diletakkan dalam wadah logam.

Sebagaimana dilansir CNN.com, Rabu (17/10), kebanyakan korban adalah mahasiswa. Kepala pemerintahan Krimea, Sergei Aksyonov menyatakan pelaku serangan bunuh diri.


"Pelaku bunuh diri dengn cara menembak dirinya," kata Aksyonov.


Aksyonov mengatakan pelaku diduga adalah seorang mahasiswa di kampus itu. Jasadnya ditemukan di dalam perpustakaan.

Meski demikian, aparat setempat menyatakan mereka akan menggolongkan kejadian itu dalam kasus pembunuhan ketimbang aksi teror. Sebab menurut kesimpulan sementara forensik, jasad para korban diduga kuat bukan karena ledakan bom tetapi dibunuh dengan cara ditembak oleh pelaku. Mereka juga menemukan sisa bahan peledak buat diidentifikasi.

Presiden Rusia Vladimir Putin sudah memerintahkan supaya kejadian itu ditanggulangi dengan segera, dan seluruh korban dibantu secepat dan sebaik mungkin. Akibat peristiwa itu, militer Rusia menerjunkan 200 tentara ke lokasi.



Semenanjung Krim berada di selatan Ukraina dikelilingi oleh Laut Hitam dan Laut Azov. Rusia mencaplok kawasan itu dari Ukraina pada 2014.





Credit cnnindonesia.com




Rabu, 15 Agustus 2018

Tokoh Muslim Krimea: Rusia Coba Hapus Keberadaan Kami


Tokoh Muslim Krimea: Rusia Coba Hapus Keberadaan Kami
Tokoh Muslim Tatar Krimea, Mustafa Dzhemilev. FOTO/Victor Maulana/SINDONEWS

JAKARTA - Tokoh Muslim Tatar Krimea, Mustafa Dzhemilev menyatakan, Krimea pada awalnya adalah rumah bagi Muslim Tatar. Namun, pada abad ke-17, Rusia yang saat itu masih berbentuk kerajaan, melakukan aneksasi wilayah Krimea dan perlahan-lahan mengusir warga Tatar dari wilayah yang terletak di sisi di Laut Hitam itu.

Ditemui di kantor Kedutaan Besar Ukraina di Jakarta, Dzhemilev menyatakan, masa paling kelam bagi warga Tatar adalah pasca Perang Dunia II, di mana saat itu Uni Soviet menerapkan kebijakan yang sangat keras terhadap Muslim Tatar.

"Kami dahulu pernah memiliki negara, tapi pada 1978 diduduki oleh Rusia. Tatar dibersihkan hingga populasi kami hanya 19 persen dari warga Krimea. Pada masa Uni Soviet (Rusia) lebih keras, pada tahun 1944 banyak warga Krimea yang dideportasi keluarga negeri dan Rusia banyak membawa warganya ke Krimea," kata Dzhamilev pada Selasa (14/8).

"Kami kehilangan hampir 40 persen dari warga kami. Setelah diusir, warga kami berusaha untuk kembali ke Krimea. Kebijakan kami saat ini adalah kebijakan tanpa kekerasan untuk dapat kembali ke Krimea," sambungnya.

Namun, Dzhemilev menuturkan, walaupun berusaha kembali secara damai, Rusia tetap menanggapi keras kemauan warga Tatar Krimea. Menurutnya, tidak sedikit yang dipenjara hanya karena ingin kembali ke rumah, termasuk dirinya.

"Tatar sempat mendapatkan haknya kembali saat Ukraina menyatakan kemerdekaan. Tapi, tidak semua bisa kembali, masih banyak yang tinggal di Kazakstan, Uzbekistan dan negara lainnya. Sebelum pendudukan kedua oleh Rusia pada tahun 2014, warga Tatar berjumlah 13 persen dari total penduduk Ukraina," sambungnya.

Saat ini,  papar Dzhemilev, warga Tatar diawasi dengan ketat oleh dinas intelijen Rusia. Di Krimea, warga Tatar terus mendapat tekanan karena menolak pendudukan Rusia. "Kami tepaksa pergi lagi karena tekanan tersebut," tukasnya. 






Credit  sindonews.com