Jumat, 29 Januari 2016

Mesin Perang Futuristik Rusia vs Alutsista Rongsokan Jerman

Ilustrasi (Foto: Russiancouncil.ru)
Ilustrasi (Foto: Russiancouncil.ru)

MOSKVA – Di masa Perang Dunia I dan II, Jerman dikenal sebagai negara industri yang acap memunculkan mesin-mesin perang inovatif. Tapi sekarang, Rusia-lah yang bisa dibilang secara konstan memproyeksikan sejumlah mesin perang masa depan yang bisa merevolusi dunia kemiliteran.
Berpuluh-puluh tahun lalu, berbagai temuan kemiliteran Jerman paling ‘doyan’ ditiru Amerika Serikat (AS), Inggris dan tentunya Rusia (dahulu Uni Soviet). Mulai dari Vergeltung 1 dan 2 (V-1 dan V-2) sebagai cikal bakal misil, hingga Messerschmitt Me-262 “Schwalbe” yang merupakan jet tempur pertama dunia.

Tapi jika membandingkan mesin-mesin perang yang dimiliki Negeri Beruang Merah dan Jerman saat ini, bisa dibilang bagaikan langit dan bumi. Di saat Rusia terus sibuk dengan proyek futuristik, seperti pesawat pembom PAK-DA dan proyek drone laut, Jerman justru masih berkutat dengan sejumlah alutsista rongsokan.
Bicara soal bomber PAK-DA yang proyeknya diluncurkan pada 2009 lalu itu, bahkan dikatakan bakal rampung lebih cepat. Awalnya disebutkan, pesawa pembom generasi baru sebagai pengganti Tupolev Tu-160, Tu-95MS dan Tu-22M3 itu baru akan ‘kelar’ pada 2025 atau 2030.


Tapi Panglima Angkatan Udara (AU) Rusia, Mayjen Viktor Bondarev menyatakan, prototype pesawat pembom PAK-DA sudah bisa mengudara pada 2021, atau bahkan lebih cepat.
“Pekerjaan terkait PAK-DA terus berjalan dan kecepatan pengembangannya memuaskan kami. Tantangannya muncul pada penyelesaian prototype yang akan diterbangkan pada 2021. Tapi jika semuanya lancar, justru (PAK-DA) akan terbang lebih awal,” papar Bondarev, dilansir Defence Talk, Jumat (29/1/2016).

Mengenai spesifikasinya, bomber PAK-DA tidak didesain Manufaktur Tupolev dan Obyedinyonnaya Aviastroitelnaya Korporatsiya itu, sebagaimana desain pesawat konvensional. Desainnya berbentuk nyaris segitiga dengan sayap yang lebar.
Desain seperti ini disebutkan akan mengurangi kemampuan radar untuk melacak pesawat yang punya kecepatan subsonic tersebut.

“Pesawat ini pada dasarnya berdesain baru dengan sistem pengintaian dan navigasi terbaru. Pesawat ini dilengkapi sistem komunikasi tercanggih dan kelengkapan perang elektronik, hingga membuat daya lacak radar terhadapnya sangat minim,” timpal Komandan Long-Range Aviation, Letjen Anatoly Zhiharev.
Tidak hanya AU, Angkatan Laut (AL) Rusia juga ingin punya persenjataan terbaru, terlepas dari canggihnya sejumlah kapal selam, kapal perusak serta kapal penjelajah mereka yang ditakuti banyak negara.
Kali ini, AL Rusia ingin menginvestasikan dana pemerintah Federal Rusia terhadap proyek kendaraan tanpa awak (drone) laut, sebagaimana yang dikonfirmasi Wakil Panglima AL Rusia, Laksamana Madya Alexander Fedotenkov.

Fedotenkov menambahkan bahwa pihaknya ingin mengembangkan drone laut yang juga bisa beroperasi di darat (amfibi). Bisa jadi, ambisi AL Rusia yang satu ini terinspirasi dari drone Bluefin-21 milik AS.


Tapi kapabilitas Bluefin-21 baru sebatas untuk pengintaian, riset lingkungan dan pembersihan ranjau laut. Sementara Rusia, ingin membuat drone yang dilengkapi pula dengan persenjataan elektronik anti-kapal selam.
“Ketika (proyek drone Rusia) itu disempurnakan, maka persenjataan itu akan merevolusi peperangan laut. Tapi hanya waktu yang bisa menjawab itu semua,” sebut pengamat militer Dave Majumdar.
Lantas bagaimana dengan Jerman? Well, pesawat canggih dan tangguh saja mereka masih sangat minim ketersediannya. Pada Desember 2015 lalu sebelum menyatakan diri bakal ikut operasi anti-ISIS, Jerman disebutkan punya 66 jet tempur Panavia Tornado – tapi setengahnya dinyatakan tak layak terbang!

Belum lagi dengan laporan terbaru, di mana enam jet Panavia Tornado Jerman di Suriah, tak bisa terbang malam. Hal itu dikarenakan problem lampu di kokpit pesawat.


“Masalah pada peralatan, membuat militer Jerman berada di persimpangan jalan menuju batas kapasitas intervensi militer (di Suriah),” ungkap salah satu anggota Parlemen Jerman dari kubu Sosial-Demokrat, Hans-Peter Bartels.
Belum lagi mengingat jumlah pasukan darat mereka yang jauh lebih kecil, jika dibandingkan ketika Bundeswehr (Angkatan Perang Jerman) dibentuk 1955 lalu. Saat itu, kekuatan Bundeswehr mencapai 600 ribu personel.

Sekarang diperkirakan hanya 177 ribu personel, di mana ratusan bahkan ribuan di antara mereka dikirim ke negara-negara lain, seperti di Suriah (1.200), Afghanistan (890), serta Mali (500).
“Pasukan Jerman kelelahan. Terlalu banyak kekurangan dalam militer Jerman,” tambah Bartels yang mengeluhkan minimnya alokasi dana pemerintah terhadap militer.













Credit  Okezone