Bagaimana tidak heboh? Pria lulusan SMK yang berprofesi sebagai juru las tersebut menciptakan robot tangan yang diklaim menggunakan teknologi electroencephalography (EEG), inovasi yang bahkan tak setiap doktor bidang robotika mampu melakukannya.
Yang lebih mengejutkan, di depan awak media, pria berusia 31 tahun itu menunjukkan beragam macam gerakan dengan tangan robotnya. Dalam sebuah video yang beredar di Youtube, Tawan bahkan memeragakan tangan robotnya mengangkat dan menggenggam perlengkapan las dengan gerakan yang begitu halus.
Arjon Turnip, perekayasa kursi roda dengan teknologi EEG dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia tercengang sekaligus ragu dengan robot tangan Tawan. "Saya sampai speechless," katanya. "Saya meneliti bertahun-tahun dan belum bisa membuat seperti itu."
Arjon mengatakan bahwa dirinya tak mampu menilai kebenaran inovasi Tawan sebab tak melihat langsung. "Kalau ada di sana, saya bisa bertanya macam-macam. Tapi dengan teknologi yang ada sekarang, itu terlalu maju," jelasnya ketika dihubungi Kompas.com, Sabtu (23/1/2016).
Meragukan
Sebagai peneliti, Arjon sangat ingin menghargai inovasi. Namun melihat inovasi yang terlalu canggih dari Tawan, Arjon tak bisa memaksa diri untuk tidak meragukan. Dua hal yang dipertanyakan Arjon antara lain letak elektroda dan cara pengolahan sinyal dari otak.
"Kalau kita lihat elektrodanya ada sedikit di atas telinga. Itu letaknya terlalu ke bawah," kata doktor rekayasa mekanik lulusan Pusan University, Korea itu. "Lalu dia bilang untuk menggerakkan tangan kiri, elektrodanya dipasang di sebelah kanan. Tidak sesederhana itu aplikasinya."
Arjon menuturkan, untuk menggerakkan robot dengan pikiran, dibutuhkan konsentrasi. Bagian otak yang berperan untuk konsentrasi ada di bagian depan. Namun, gerakan robot EEG tak hanya melibatkan satu bagian otak. Untuk motorik ada di bagian kanan dan penglihatan di belakang.
Tentang pengolahan sinyal, Arjon mempertanyakan alogaritma yang digunakan. "Sinyal dari otak itu ibarat jarum di tumpukan jerami. Sulit ditangkap dan banyak sampahnya. Itu harus diolah dulu. Butuh akurasi tinggi dalam pengolahan agar bisa buat gerakan halus seperti ditunjukkan Tawan," jelasnya.
Sinyal dari otak sangat kecil, kurang dari 60 mikro volt. Secara teoretis, agar bisa digunakan untuk menggerakkan alat, sinyal harus diperbesar. Teknologi untuk perbesaran sinyal memang tersedia. Tapi, konsekuensi dari perbesaran adalah noise yang besar. Itu harus dibereskan.
Setelah diperbesar, sinyal perlu dipotong. Ada penyesuaian frekuensi dan amplitudonya. Selesai dipotong, sinyal perlu diekstrak. Terakhir, sinyal harus diklasifikasikan sesuai dengan gerakan yang ingin dibuat. Alogaritma khusus diperlukan untuk tiap tahapan.
Proses mengolah sinyal otak sendiri tak mudah. "Untuk kursi roda saya saja, itu mati-matian buatnya. Akurasinya belum tinggi. Padahal itu hanya untuk maju, belok kanan, belok kiri. Punya Tawan itu gerakannya bermacam-macam dan halus sekali. Itu yang membuat saya ragu," jelas Arjon.
Perlu Verifikasi
Inovasi Tawan menarik banyak pihak. Mulai gubernur Bali, bahkan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohammad Nasir. Namun demikian, Arjon mengungkapkan, robot tangan buatan Tawan yang luar biasa canggih beserta kondisi tangan Tawan perlu diverifikasi.
Arjon berkomentar, dengan kondisi Tawan yang tak lumpuh total, sebenarnya Tawan juga tak perlu robot dengan teknologi EEG. Teknologi robot elektromyography (EMG) saja sudah cukup. "Sinyal dari otot saja bisa. Lebih ekonomis. Sebab teknologi EEG itu mahal," kata Arjon.
Credit KOMPAS.com