Tampilkan postingan dengan label SURINAME. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SURINAME. Tampilkan semua postingan

Kamis, 06 September 2018

Rusia Sindir Amerika Mau Bantu Teroris Jabhat Al Nusra di Suriah



Kelompok Jabhat al-Nusra beroperasi di Idlib, Suriah, dan terafiliasi dengan kelompok al-Qaeda. Keduanya disebut sebagai teroris oleh Rusia dan Amerika Serikat. Syriahr.com
Kelompok Jabhat al-Nusra beroperasi di Idlib, Suriah, dan terafiliasi dengan kelompok al-Qaeda. Keduanya disebut sebagai teroris oleh Rusia dan Amerika Serikat. Syriahr.com

CB, Moskow – Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov, mengatakan Amerika Serikat terkesan ingin menyelamatkan kelompok teroris Jabhat al-Nusra dari serangan koalisi Suriah dan Rusia di Provinsi Idlib.
Lavrov mengatakan selama ini AS gagal melakukan kewajibannya memisahkan kelompok oposisi moderat Suriah dengan kelompok teroris. Koalisi Suriah dan Rusia telah melancarkan serangan udara pada Selasa, 4 September 2018 dengan menyasar sejumlah titik di Provinsi Idlib.
“Sekarang kita menyaksikan keinginan tersirat yang sama, jika saya memahami situasinya secara benar, bahwa AS ingin menyelamatkan al-Nusra saat ini,” kata Lavrov kepada stasiun berita Channel One seperti dikutip media Russia Today, Selasa, 4 September 2018 waktu setempat.

Sejumlah pemberontak dari kelompok Jabhat Fateh al-Sham berteriak diatas truk setelah berhasil menembak jatuh helikopter Rusia di Idlib, 1 Agustus 2016. REUTERS/Ammar Abdullah
Lavrov menjelaskan Provinsi Idlib, yang terletak di barat laut Suriah dan berbatasan dengan Turki dibanjiri puluhan ribu anggota kelompok ekstrimis. Mereka dikomandoi kelompok Jabhat al-Nusra.
Lavrov mengeluhkan skiap pemerintah AS sejak Presiden Barack Obama, yang telah berjanji untuk membedakan kelompok oposisi Suriah dengan kelompok teroris ini. Artinya, AS tidak akan membantu persenjataan kelompok teroris itu.
Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov dan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo bertemu di Helsinki, Finlandia, 16 Juli 2018.
Russia Today melansir pemerintah Rusia berulang kali meminta komunitas internasional soal bahaya yang ditimbulkan dengan banyak faksi teroris berkeliaran di sekitar Provinsi Idlib. “Kelompok-kelompok ini mendapat suplai senjata dari luar negeri,” begitu dilansir Russia Today.
Saat ini, seperti dilansir Reuters, Provinsi Idlib menjadi satu-satunya wilayah yang masih dikuasi kelompok oposisi anti pemerintah Presiden Bashar al-Assad dan sejumlah kelompok teroris.

Turki mendukung kelompok oposisi Sunni yaitu Free Syrian Army untuk menjatuhkan pemerintahan Bashar al-Assad. Militer Turki juga telah memasang sejumlah pos pengamatan di sekitar Idlib untuk memantau pergerakan kelompok militan dan pengungsi.
Media Anadolu dari Turki melansir, militer Tukri mengirimkan sejumlah kendaraan lapis baja termasuk tank ke perbatasan di selatan dengan Suriah menjelang gempuran koalisi militer Suriah dan Rusia.

“Presiden Suriah Bashar al-Assad jangan sembarangan menyerang Provinsi Idlib. Rusia dan Iran akan membuat kesalahan fatal kemanusiaan jika ikut ambil bagian dalam tragedi kemanusiaan yang potensial terjadi di sana,” kata Trump. “Ratusan ribu orang bisa tewas. Jangan biarkan itu terjadi.”


Foto file tak bertanggal ini dirilis oleh kelompok militan pada tahun 2016, menunjukkan Abu Mohammed al-Golani pemimpin afiliasi al-Qaida Suriah (kanan kedua), mendiskusikan rincian medan perang dengan komandan lapangan atas peta, di Aleppo, Syria. (Militant UGC via AP, File)
Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, mengatakan AS mengeluarkan peringatan tanpa mempertimbangkan potensi negatif yang sangat berbahasa terhadap seluruh situasi di Suriah. “Ada sarang teroris terbentuk di sana. Ini menimbulkan destabilisasi umum dan melemahkan upaya penyelesaian diplomatik dan politik di Suriah,” kata Peskov.

Presiden Iran Hassan Rouhani bakal menggelar pertemuan puncak dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin, dan Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, pada 7 September 2018 di Teheran untuk membahas solusi atas Provinsi Idlib, Suriah.








Credit tempo.co




Senin, 23 Juli 2018

Sebut Suriname Negara Gagal, Menlu Belanda Dikecam



Menteri Luar Negeri Belanda, Stef Blok. Reuters
Menteri Luar Negeri Belanda, Stef Blok. Reuters

CB, Paramaribo – Pemerintah Suriname mengajukan nota protes diplomatik terhadap Belanda terkait pernyataan Menteri Luar Negeri Belanda, Stef Blok, yang menyatakan Suriname sebagai ‘negara gagal’ terkait keberagaman etnisnya.

Blok, yang merupakan anggota partai konservatif VVD pendukung Perdana Menteri Mark Rutte, menghadapi badai kecaman atas pernyataannya, yang dibuat dalam sebuah pertemuan tertutup di Hague pada 10 Juli 2018.
Rekaman pernyataan ini, seperti dilansir Al Jazeera, diperoleh stasiun televisi Zembla, yang fokus pada kegiatan jurnalisme investigasi.
“Tuduhan kasar melawan perdamaian dan stabilitas di Republik Suriname diarahkan untuk menggambarkan Suriname dan populasinya secara negatif,” kata kementerian Luar Negeri Suriname dalam pernyataan pers, seperti dilansir Reuters.
Pemerintah Suriname telah memanggil pejabat perwakilan Belanda, Jaap Frederiks, untuk menyampaikan nota protes itu. “Belanda berupaya mengisolasi Suriname dengan kemungkinan agenda melakukan rekolonialisasi,” begitu pernyataan kementerian Luar Negeri Suriname.
 
Suriname, yang terletak di Amerika Selatan, merupakan bekas jajahan Beanda dan menjadi merdeka pada 1975. Negara ini memiliki beberapa etnis seperti warga asli, Jawa dari Indonesia, Afrika, dan Belanda.

Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte dari partai VVD melambaikan tangan setelah memberikan suara dalam pemilihan umum di Den Haag, Belanda, 15 Maret 2017. Hasil pemilu Belanda dipandang sebagai barometer bagi masa depan populisme di Eropa. REUTERS/Michael Kooren
Blok membuat pernyataan kontroversial itu saat menghadiri pertemuan karyawan asal Belanda yang bekerja di sejumlah organisasi internasional. “Suriname merupakan negara gagal karena terkait dengan komposisi etnisnya,” kata dia saat itu.
Sejumlah politikus dari beberapa partai di Belanda, termasuk dari partai pemerintah, menuntut Blok untuk menjelaskan pernyataannya itu.
Menurut Al Jazeera, Blok dan audiens sempat melakukan tanya jawab dalam acara tertutup itu.
“Beri saya contoh masyarakat multietnis atau multikultur, yang populasi aslinya masih hidup dengan baik. Dan ada hubungan damai antar-komunitas. Saya tidak tahu ada yang seperti itu,” kata Blok.
Salah satu audiens menyebut Suriname tapi Blok tidak setuju. “Suriname damai? Sebuah negara yang berdasarkan hukum dan demokrasi? Ini pernyataan yang berani. Jadi partai di Suriname tidak terbelah oleh etnisitasnya?” kata Blok.
Dia lalu melanjutkan,”Saya mengagumi optimisme Anda. Suriname merupakan negara gagal dan itu terutama karena disebabkan divisi etnisnya,” kata dia.
Salah satu audiens lalu menyebut nama Singapura. Blok menjawab,”Singapura merupakan negara yang kecil – mini, sangat selektif dalam memilih imigrannya. Sangat selektif,” kata Blok.
“Sangat sulit untuk bisa masuk. Mereka tidak mengizinkan imigran miskin masuk ke sana. Ya, mungkin untuk kegiatan bersih-bersih bisa,” kata dia.
Lewat akun Twitter, Blok mengaku bahasa yang digunakannya terlalu keras dan menyesal telah menyinggung perasaan.
Kepada televisi Zembla, Blok mengatakan tujuan pernyataannya adalah menstimulasi pertukaran ide dan mendengarkan partisipan menceritakan pengalamannya.
“Kontribusi saya selama sesi tanya dan jawab dalam pertemuan itu adalah memancing reaksi dari audiens. Selama pertemuan tertutup, saya menggunakan ilustrasi yang bisa terlihat tidak cocok jika dilakukan dalam debat publik," kata menlu Belanda ini.





Credit  tempo.co