Tampilkan postingan dengan label UNICEF. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label UNICEF. Tampilkan semua postingan

Jumat, 29 Maret 2019

UNICEF Sebut 40 Anak Tewas di Gaza Setahun Belakangan Ini



UNICEF Sebut 40 Anak Tewas di Gaza Setahun Belakangan Ini
Ilustrasi. (REUTERS/Mohammed Salem)



Jakarta, CB -- UNICEF menyatakan sekitar 40 anak telah tewas di Gaza. Tragedi terjadi dalam aksi protes di sepanjang perbatasan Gaza.

"Bukan hanya itu, hampir 3.000 anak lainnya juga dirawat di rumah sakit akibat cedera, banyak yang cacat seumur hidup," kata UNICEF seperti dikutip dari AFP, Kamis (28/3).Atas

Atas masalah itulah Direktur Timur Tengah UNICEF Geert Cappelaere meminta kepada baik Palestina dan Israel untuk segera menghentikan pertikaian mereka. Ia meminta Palestina dan Israel untuk memastikan bahwa anak-anak tidak menjadi sasaran konflik.


"Mengeksploitasi anak-anak yang kurang memiliki tujuan dan kerentanan atau memasukkan mereka ke dalam kekerasan adalah pelanggaran hak-hak anak," katanya.

Sebagai informasi, ribuan orang Pelestina memang setahun belakangan ini banyak berkumpul untuk melakukan aksi protes terhadap pendudukan Israel atas wilayah mereka. Mereka menuntut Israel mencabut blokade selama satu dekade di Gaza yang telah melumpuhkan kehidupan rakyat Palestina.

Mereka juga menuntut para pengungsi diizinkan untuk kembali ke rumah keluarga mereka. Aksi protes tersebut sering diwarnai oleh bentrokan antara pengunjuk rasa dengan pasukan Israel.

Data UNICEF, selain mengakibatkan 40 anak tewas, tragedi tersebut juga telah membunuh 258 warga Palestina dan dua tentara Israel.




Credit  cnnindonesia.com



Selasa, 26 Februari 2019

Unicef: 1,2 Anak Hidup di Daerah Konflik Yaman


Anak Yaman Kelaparan (ilustrasi)
Anak Yaman Kelaparan (ilustrasi)
Foto: Republika

Anak-anak tersebut hidup di 31 zona konflik aktif di Yaman.

CB, SANA'A -- Sebanyak 1,2 juta anak kini masih tinggal di daerah konflik di Yaman dan negara yang diguncang. Anak-anak "Anak-anak terus hidup di 31 zona konflik aktif termasuk Al-Hudaydah, Taiz, Hajjah dan Saada, di daerah yang menyaksikan kerusuhan besar yang berkaitan dengan perang," kata Geert Cappelaere, Direktur Regional Unicef untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, di dalam satu pernyataan, Senin (25/2).

Dia menjelasan, tidak cukup perubahan yang terjadi buat anak-anak di Yaman, sejak Kesepakatan Stockholm pada 13 Desember 2018," kata pejabat itu, sebagaimana dikutip Kantor Berita Turki, Anadolu yang dipantau Antara di Jakarta.

"Setiap hari sejak itu, delapan anak telah tewas atau cedera. Kebanyakan anak yang meninggal tersebut sedang bermain di luar rumah bersama teman mereka atau dalam perjalanan ke atau dari sekolah," kata Cappelaere.


Unicef menyeru semua pihak yang berperang agar mengakhiri kekerasan di tempat bergolak dan di seluruh wilayah Yaman, melindungi warga sipil, menjaga anak-anak dari bahaya dan mengizinkan pengiriman bantuan kemanusiaan buat anak-anak. Juga bantuan untuk keluarga mereka di mana pun mereka berada di negeri itu.


Yaman telah dirongrong oleh kerusuhan sejak 2014, ketika kelompok Syiah Al-Houthi menguasai sebagian besar wilayah negeri tersebut. Krisis itu meningkat pada 2015, ketika koalisi pimpinan Arab Saudi melancarkan serangan udara yang memporak-porandakan dengan tujuan membalikkan perolehan gerilyawan Al-Houthi.





Credit  republika.co.id




Selasa, 11 Desember 2018

Sejarah Hari Ini: Badan PBB UNICEF Didirikan


UNICEF
UNICEF
Foto: Twitter
UNICEF ikut membantu Indonesia pada 1948.



CB, WASHINGTON -- Hari ini pada 11 November 1946 silam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membentuk organisasi khusus untuk anak, United Nations International Children's Emergency Fund (UNICEF). Setelah Perang Dunia II,


Majelis Umum PBB memilih membentuk organisasi itu guna membantu memberikan bantuan dan dukungan bagi anak-anak yang tinggal di negara-negara yang hancur oleh perang.

History mencatat setelah krisis pangan dan medis pada akhir 1940-an berlalu, UNICEF melanjutkan perannya sebagai organisasi bantuan bagi anak-anak dari negara-negara bermasalah.


Selama era 1980-an, UNICEF membantu Komisi Hak Asasi Manusia PBB dalam penyusunan Konvensi Hak-hak Anak. Setelah diperkenalkan ke Majelis Umum PBB pada tahun 1989, Konvensi tentang Hak Anak menjadi perjanjian hak asasi manusia yang paling banyak diratifikasi dalam sejarah, dan UNICEF pun memainkan peran kunci dalam memastikan penegakannya.

Dari 184 negara anggota PBB, hanya dua negara yang gagal meratifikasi perjanjian, Somalia dan Amerika Serikat (AS). Somalia kini tidak memiliki pemerintah yang diakui secara internasional, sehingga ratifikasi tidak mungkin. Adapun AS, yang merupakan salah satu penandatangan konvensi itu, telah gagal meratifikasi perjanjian tersebut sebab kekhawatiran tentang dampak potensial terhadap kedaulatan nasional dan orang tua hubungan anak-anak.

Gerakan UNICEF dalam membantu Indonesia dimulai pada 1948. Lombok kala iru tengah mengalami kekeringan parah sehingga terjadi situasi darurat guna penanganan cepat. Kerja sama resmi antara UNICEF dan Pemerintah Indonesia terjalin pertama kali pada 1950.



Credit  republika.co.id




Selasa, 25 September 2018

UNICEF: Bentrokan di Tripoli Akibatkan Anak-Anak Terlantar


[ilustrasi] Akademi Kepolisian Tripoli yang menjadi sasaran bom.
[ilustrasi] Akademi Kepolisian Tripoli yang menjadi sasaran bom.
Foto: Reuters
Setidaknya setengah juta anak-anak di Libya berada dalam bahaya.



CB, TRIPOLI -- Lembaga Dana Bantuan untuk Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) menyebut bentrokan yang meningkat di Libya beberapa hari terakhir telah membuat setengah juta anak-anak berada dalam bahaya. Khususnya mereka yang berada di ibu kota Libya, Tripoli.


"Setengah juta anak-anak berada dalam bahaya langsung di ibu kota Libya Tripoli karena pertempuran," UNICEF melaporkan seperti dikutip dari laman Al Arabiya, Selasa (25/9).

Kementerian Kesehatan Libya mengatakan, bentrokan yang pecah antara milisi yang saling bersaing pada akhir Agustus telah menewaskan sedikitnya 115 jiwa dan melukai hampir 400 orang pada Sabtu (22/9) malam. Kemudian UNICEF pada Senin (24/9) waktu setempat menambahkan, lebih dari 1.200 keluarga telah terlantar hanya dalam 48 jam terakhir ketika bentrokan meningkat di Tripoli selatan.


UNICEF menambahkan, peristiwa itu membuat jumlah orang yang terlantar akibat pertempuran baru-baru ini menjadi lebih dari 25 ribu jiwa. Setengah dari mereka adalah anak-anak.


"Lebih banyak lagi anak yang dilaporkan direkrut untuk bertempur, dan menempatkan mereka dalam bahaya langsung. Akibatnya setidaknya satu anak tewas," ujar Direktur UNICEF untuk Timur Tengah dan Afrika Utara Geert Cappelaere.


UNICEF juga mengatakan, semakin banyak sekolah yang digunakan untuk melindungi keluarga yang terlantar tersebut. Ini memungkinkan tahun akademik ditunda. UNICEF juga melaporkan, penduduk kekurangan pangan, listrik, dan air. Bentrokan ini telah memperparah nasib para migran.


"Ratusan pengungsi dan migran yang ditahan termasuk anak-anak dipaksa pindah karena kekerasan. Yang lainnya terdampar dengan kondisi yang memprihatinkan," kata Cappelaere.


Tropoli menjadi pusat pertempuran untuk perebutan pengaruh antara kelompok bersenjata sejak presidennya Muammar Qaddafi digulingkan dalam pemberontakan 2011 lalu. Kemudian pemerintag persatuan negara berjuang menggunakan kontrolnya melawan banyak milisi dan pemerintahan yang bermarkas di Libya Timur. 




Credit  republika.co.id






Jumat, 18 Mei 2018

UNICEF Sebut Lebih dari 1.000 Anak Palestina Cedera di Gaza


UNICEF Sebut Lebih dari 1.000 Anak Palestina Cedera di Gaza
Badan PBB untuk anak, UNICEF menyatakan lebih dari 1.000 anak-anak luka-luka oleh tentara Israel di Jalur Gaza sejak aksi demonstrasi 30 Maret lalu. (REUTERS/Ibraheem Abu Mustafa)


Jakarta, CB -- Badan PBB yang mengurusi anak-anak, UNICEF menyatakan lebih dari 1.000 anak-anak luka-luka oleh tentara Israel di Jalur Gaza sejak aksi demonstrasi 30 Maret lalu.

Badan PBB itu menyatakan sejumlah luka-luka sangat parah dan mengubah kehidupan si anak, termasuk amputasi.

"Kekerasan baru-baru ini memperburuk sistem kesehatan yang sudah parah di Jalur Gaza, yang kolaps akibat pemadaman listrik dan kekurangan bahan bakar, obat-obatan dan peralatan medis," kata UNICEF dalam sebuah pernyataan yang dilansir kantor berita Turki, Anadolu Agency, Rabu (16/5).



Pada Rabu, UNICEF dan dua mitranya mengirim dua truk berisi pasokan medis ke Jalur Gaza bagi sekitar 70 ribu orang.




Dalam aksi demonstrasi di Hari Nakba atau Hari Bencana bagi warga Palestina, memperingati pendudukan Israel di wilayahnya, lebih dari 60 demonstran Palestina dan ribuan lagi luka-luka oleh tentara Israel yang dikerahkan di sepanjang sisi pagar perbatasan Gaza-Israel.

Kementerian Kesehatan Palestina menyatakan lebih dari 100 demonstrann Palestina tewas terkena tembakan tentara Israel sejak aksi protes di Gaza 30 Maret lalu. Sedikitnya tujuh anak di bawah umur dan seorang bayi berusia delapan bulan menjadi korban tewas.

Pada Rabu, Jaksa Mahkamah Kejahatan Perang Internasional menyatakan keprihatinan serius atas meningkatnya kekerasan di Gaza, dan menyatakan hal tersebut dapat menjadi bahan penyelidikan.



"Setiap dugaan kejahatan baru dalam konteks situasi di Palestina dapat menjadi pemeriksaan hukum kami," kata pernyataan jaksa tersebut seperti dilansir Reuters. "Ini berlaku pada kejadian 14 Mei 2018, juga insiden yang akan terjadi di masa mendatang."

Jaksa Mahkamah Kejahatan Internasional membuka penyelidikan awal atas tindakan kekerasan di wilayah Palestina yang dijajah, termasuk Yerusalem Timur pada Januari 2015. Hingga kini mereka belum menentukan apakah akan melakukan penyelidikan resmi.

Aksi demonstrasi yang digelar Senin (14/5) bertepatan dengan pembukaan kedutaan AS di Yerusalem. Hari Nakba atau Hari Bencana bagi warga Palestina dirayakan sebagai Hari Ulang Tahun ke-70 Israel. Lebih dari 700 ribu warga Palestina terusir dari rumah mereka saat Israel dibentuk.





Credit  cnnindonesia.com




Jumat, 04 Mei 2018

Kekeringan di Afrika Barat, 5 Juta Orang Terancam Kelaparan

Kekeringan di Afrika Barat, 5 Juta Orang Terancam Kelaparan
Ilustrasi. Kekeringan di Sudan. (AFP PHOTO / Stefanie GLINSKI)


Jakarta, CB -- Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menyatakan lebih dari lima juta orang di wilayah Sahel, Afrika Barat memerlukan bantuan makanan untuk mencegah kelaparan akibat kekeringan yang terus berlanjut.

Enam negara di Sahel, wilayah di bawah Gurun Sahara, terancam bahaya kelaparan terburuk akibat minimnya curah hujan.

Puncak krisis belum terjadi, tetapi pasokan makanan harus disiapkan mulai sekarang untuk menghindari kematian akibat malnutrisi pada Juni dan Juli, kata badan anak-anak PBB, UNICEF.


"Sekali saja, lembaga dan mitra kita menyerukan aksi sebelum tragedi," kata Direktur Regional UNICEF Marie-Pierre Poirier kepada wartawan di Ibu Kota Senegal, Dakar, seperti dilaporkan Reuters.

"Kita harus bertindak sekarang dan segera, mencegah anak-anak meninggal."

Lebih dari 1,6 juta anak-anak di kawasan terancam malnutrisi akut yang parah. Jumlah tersebut 50 persen lebih banyak dibandingkan krisis pangan yang melanda Sahel pada 2012.




Badan PBB tersebut memperkirakan sedikinya 1,3 juta paket makanan terapetik diperlukan untuk menyelamatkan warga yang paling rentan. Tapi baru mendapatkan 700 ribu paket.

Wilayah-wilayah yang paling berisiko antara lain Mali, Niger, Burkina Faso, Chad, Mauritania Selatan dan Senegal Utara.

Di kawasan Sahel hanya memiliki satu musim tanam, jika gagal akibat iklim atau konflik, orang harus bertahan hidup dengan apa yang mereka miliki hingga musim tanam berikutnya, kata Abdou Dieng, Direktur Kawasan Program Pangan Dunia (WFP).

Tahun ini, banyak keluarga kehabisan stok pangan hingga September. Para penggembala ternak bermigrasi empat bulan lebih awal untuk mencari rumput. "Kami mendengar bahwa orang-orang mengurangi jumlah makan tiap hari dan anak-anak putus sekolah," kata Dieng.

"Jika kita tidak melakukan sesuatu buat orang-orang ini, apa yang akan mereka lakukan? Mati atau bergabung dengan kelompok teroris, atau bermigrasi," kata dia.

Berbagai konflik di kawasan, dimana terdapat banyak kelompok militan, memperburuk situasi dan mempersulit penyaluran bantuan, kata Dieng. Secara bersama-sama WFP, UNICEF serta Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) menyatakan mereka perlu dana senitar US$676 juta untuk mencegah bahaya kelaparan di wilayah Sahel, Afrika Barat.






Credit  cnnindonesia.com





Rabu, 31 Januari 2018

UNICEF: Sanksi Sebabkan 60 Ribu Anak-anak di Korut Terancam Kelaparan


UNICEF: Sanksi Sebabkan 60 Ribu Anak-anak di Korut Terancam Kelaparan
UNICEF menyatakan, sanksi yang diterapkan terhadap Korea Utara (Korut) membuat anak-anak di negara tersebut terancam mengalami kelaparan. Foto/Istimewa


JENEWA - Badan PBB yang menangani kesejahteraan anak, UNICEF menyatakan, sanksi yang diterapkan terhadap Korea Utara (Korut) membuat anak-anak di negara tersebut terancam mengalami kelaparan. UNICEF memperkirakan ada 60 ribu anak yang akan terdampak sanksi ini.

Kekuatan dunia telah memberlakukan sanksi yang terus meningkat terhadap Korut, karena program rudal nuklir dan balistiknya. Pekan lalu, Amerika Serikat (AS) mengumumkan sanksi baru terhadap sembilan entitas, 16 orang dan enam kapal Korut yang dituduh membantu program senjata tersebut.

UNICEF menuturkan, meski sanksi tersebut mengecualikan pasokan atau bantuan kemanusiaan ke Korut, tapi tetap saja ada potensi besar kelaparan terhadap anak-anak di negara paling terisolsasi di dunia itu.

"Berdasarkan resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB, pasokan atau operasi kemanusiaan dikecualikan dari sanksi. Tapi apa yang terjadi adalah tentu saja bank, perusahaan yang menyediakan barang atau kapal sangat berhati-hati. Mereka tidak mau mengambil risiko nantinya terkait dan dianggap melanggar sanksi," kata Wakil Direktur Eksekutif UNICEF, Omar Abdi, seperti dilansir Reuters pada Selasa (30/1).

"Itulah yang membuat lebih sulit bagi kita untuk membawa barang, jadi dibutuhkan sedikit lebih lama, terutama untuk mendapatkan uang ke negara ini, tapi juga mengirim barang ke DPRK Tidak banyak jalur pelayaran yang beroperasi di daerah itu," sambungnya.

UNICEF sendiri adalah satu dari sedikit lembaga bantuan yang memiliki akses ke negara terpencil tersebut, yang menderita kelaparan serius pada pertengahan tahun 1990-an yang menewaskan hingga tiga juta orang. 




Credit  sindonews.com







Rabu, 18 Oktober 2017

15.000 pengungsi baru Rohingya terjebak, PBB minta Bangladesh bertindak


15.000 pengungsi baru Rohingya terjebak, PBB minta Bangladesh bertindak
Seorang perempuan tersenyum, melihat dari dalam gubuknya di sebuah kamp pengungsi Rohingya dekat Cox's Bazar, Bangladesh, Minggu (8/10/2017). (REUTERS/Damir Sagolj )



Jenewa (CB) - Badan urusan pengungsi PBB UNHCR mendesak Bangladesh mempercepat pemindahan sekitar 15.000 pengungsi Rohingya yang terjebak di dekat perbatasan setelah menyeberangi negara itu dari Myanmar, untuk dipindahkan ke tempat yang lebih aman dan lebih baik.

Sekitar 582.000 warga Rohingya kini telah meninggalkan kampung halamannya sejak kekerasan meletup di Myanmar pada 25 Agustus di bagian utara negara bagian Rakhine di mana akses mereka ke makanan dan kesehatan ditutup Myanmar, kata PBB.

"Kami prihatin sekali atas kondisi kemanusiaan di Bangladesh di mana ribuan pengungsi baru terjebak di dekat perbatasan," kata juru bicara UNHCR Andrej Mahecic dalam briefing pers di Jenewa.

Menurut dia, sekitar 10.000 sampai 15.000 pengungsi baru Rohingya memasuki Bangladesh melalui pos pemeriksaan perbatasan Anjuman Para sejak Minggu malam lalu yang banyak di antaranya terlebih dahulu harus berjalan selama seminggu untuk mencapai perbatasan.

Mahecic mengatakan terjadi penundanaan akibat pemeriksaan oleh pasukan perbatasan Bangladesh yang disebutnya sebagai hak pemerintah mana pun.

Lembaga-lembaga bantuan PBB tidak diberi akses ke penduduk Rohingya yang jumlahnya sudah menyusut di Rakhine sejak serangan pemberontak Rohingnya 25 Agustus ke berbagai pos polisi yang memicu pembalasan besar-besaran militer Myanmar yang disebut PBB sebagai "pembersihan etnis".

Jens Laerke, juru bicara Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), menyatakan Rohingya di Rakhine kini menghadapi "pilihan yang putus asa antara harus bertahan atau pergi", bukan hanya karena kekerasan tetapi juga kepentingan kemanusiaan.

"Kekurangan makanan, kekurangan layanan kesehatan dan sebangsanya. Jadi itu sudah pasti  faktor yang sangat berperan saat ini," kata dia.

Hampir 60 persen dari 582.000 pengungsi yang meninggalkan Myanmar sejak 25 Agustus itu adalah anak-anak dan ribuan pengungsi baru yang menyeberang ke Bagladesh setiap pekan, kata juru bicara UNICEF Marixie Mercado.

UNICEF, yang menyediakan air bersih setiap hari kepada 40.000 orang di Cox's Bazar, Bangladesh, dan telah membangun ribuan toilet, mungkin harus menghentikan operasinya akhir November kecuali bantuan diperbanyak, kata dia seperti dikutip Reuters.







Credit  antaranews.com