Selasa, 26 Januari 2016

Sanksi Iran Dicabut, Perusahaan Barat Merapat


Sanksi Iran Dicabut, Perusahaan Barat Merapat  
Produsen pesawat asal Perancis, Airbus, merupakan gelombang pertama perusahaan Barat yang mulai kembali memasuki pasar Iran. (Reuters/Regis Duvignau)
 
Jakarta, CB -- Pencabutan sanksi keuangan Iran sebagai bagian dari perundingan program nuklir dengan negara adidaya membuat negara itu kembali dilirik perusahaan-perusahaan Barat.

Salah satu perusahaan yang mulai merapat ke Iran adalah produsen pesawat asal Perancis Airbus yang awal pekan ini melakukan pembicaraan soal rencana penjualan puluhan pesawat komersil.

Dikutip dari New York Times, Senin (25/1), Airbus merupakan gelombang pertama perusahaan Barat yang mulai kembali memasuki pasar Iran. Sebelumnya selama hampir dua dekade, perusahaan Barat sulit berbisnis dengan Iran akibat sanksi ekonomi.

Kini dengan pencabutan sanksi, Iran punya daftar panjang kebutuhan yang harus dipenuhi, mulai dari pesawat, kendaraan hingga perangkat pengeboran minyak.

Menurut menteri transportasi Iran, Abbas Akhoondi, perundingan dengan Airbus telah berlangsung hampir setahun. Iran rencananya akan membeli pesawat Airbus mulai dari jenis turboprop hingga superjumbo untuk mengganti armada mereka yang sudah berusia lebih dari 25 tahun, seperti Airbus A300 dan Fokker 10 yang sudah tidak diproduksi lagi.

Akibat sanksi juga, Iran tidak bisa mengimpor suku cadang pesawat, membuat armada terbang mereka rentan kecelakaan. Sejak revolusi tahun 1979, ada 26 kecelakaan pesawat sipil di Iran, menewaskan lebih dari 900 orang.

Dengan pencabutan sanksi, Iran diperkirakan akan membeli sekitar 400 hingga 500 pesawat jet baru dalam lima tahun ke depan. Saat ini Iran hanya memiliki 150 pesawat.

Iran sebelumnya dilabeli oleh Kementerian Keuangan AS sebagai "negara pendukung terorisme". Dengan label ini, seluruh lembaga finansial AS dilarang memfasilitasi transaksi keuangan dengan Iran.

Selain produsen pesawat, perusahaan otomotif juga mulai mendekat ke Iran. Pekan lalu, perusahaan truk Jerman, Daimler, dan perusahaan otomotif Iran menandatangani perjanjian rencana kerja sama.

Daimler yang memproduksi mobil Mercedez Benz meninggalkan pasar Iran pada 2010 setelah sanksi dijatuhkan. Sejak memasuki Iran pada 1953, Daimler telah menjual lebih dari 10 ribu kendaraan di negara itu.

Banyak perusahaan Barat lainnya juga siap memasuki pasar Iran dengan 81 juta konsumen potensial yang kebanyakan kaum muda. Selama ini, para pemuda Iran mengonsumsi barang-barang selundupan akibat sanksi, mulai dari rokok hingga perangkat elektronik Apple. Waralaba tiruan Barat juga marak beredar di Iran, seperti "Pizza Hat" atau "Mash Donald's".

Untuk menarik investasi, Iran berjanji memangkas pajak bagi investor asing hingga 100 persen, memberi izin mengirim pemasukan perusahaan ke luar negeri dan jaminan perlindungan investasi jika ada perubahaan undang-undang.

Sepekan setelah pencabutan sanksi, Iran tidak pikir panjang menjaring bisnis asing. Presiden Iran Hassan Rouhani pekan ini berkunjung ke Italia bersama para delegasi bisnis. Iran mengincar kerja sama pembangunan pipa minyak senilai jutaan dolar dengan perusahaan Italia Saipem.

Akibat sanksi, pipa minyak Iran tidak terurus, membuat produksi minyak mereka menurun dalam beberapa tahun terakhir. Pejabat Iran mengatakan mereka akan meningkatkan produksi minyak hingga 500 ribu barel per hari, dan menambahnya hingga satu juta barrel pada akhir tahun ini.

Namun euforia pencabutan sanksi Iran diantisipasi dengan hati-hati oleh para pengamat. Menurut mereka, masih ada kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan lembaga lainnya, salah satunya dengan pemimpin tertinggi Syiah Iran Ayatullah Khamenei, yang mengancam investor asing.

Salah satu bank investasi Moskow, Renaissance Capital, memperingatkan kondisi saat ini di Iran mirip dengan banjirnya investasi di Rusia usai runtuhnya Uni Soviet di tahun 1990-an, dari antusiasme menjadi kekecewaan.

"Investor akan menyadari ruginya berinvestasi di negara yang penuh dengan pertentangan kepentingan, mulai dari ulama hingga Garda Revolusi, dan kaitan yang mengejutkan antara bank dan perusahaan yang membuat investasi berakhir buruk," ujar catatan Renaissance Capital.



Credit  CNN Indonesia