Namun, hal berbeda diungkap Satyanegara, dokter ahli bedah saraf yang juga anggota Tim Dokter Kepresidenan. Di mata Satya, Soeharto dikenal sebagai orang yang sangat disiplin.
Bahkan sewaktu merawat Soeharto setelah tidak lagi berkuasa, Satya mengaku kagum dengan kegigihan Soeharto yang ketika itu berjuang melawan stroke yang diidapnya. Soeharto tetap gigih menghadapi senja kalanya.
"Ketika Pak Harto terkena stroke, setiap hari saya menyaksikan Beliau berusaha mengatasinya dengan keuletan dan disiplin yang tinggi," tutur Satya, dilansir dari buku Pak Harto, The Untold Stories terbitan Gramedia Pustaka Utama (2011).
Salah satu cara penguasa Orde Baru itu mengatasi stroke yang diidapnya adalah berusaha sekuat tenaga untuk kembali menggerakkan tangannya secara normal.
"Pak Harto berusaha sekuatnya untuk segera bisa lagi menorehkan tanda tangannya, seutuh dan setegas saat ia belum stroke," tulis Satya.
Selama menjalani perawatan di usia senja, Soeharto dikenang Satya sebagai pasien yang istimewa. Soeharto dinilai mampu mengimbangi berbagai bentuk tindakan medis.
"Seberapa pun berat dan menyakitkan--dengan kontrol diri dan mental yang hebat," kenang Satya.
"Di usianya yang 80-an tahun, kekuatan fisik Pak Harto bagaikan mobil berkekuatan empat mesin turbo," tutur mantan Direktur Utama Rumah Sakit Pusat Pertamina pada 1979-1998.
Mungkin karena itu juga keluarga atau Tim Dokter Kepresidenan mengaku kesulitan untuk membujuk Soeharto untuk dirawat di rumah sakit. Soeharto dianggap tidak mau, kecuali sangat terpaksa.
"Pak Harto tidak ingin merepotkan, karena setiap kali semua kerabat yang datang menjenguk beliau akan disorot kamera media massa dan diberitakan. Pak Harto merasa jauh lebih tenang di rumah," ujar Satya.
Setetes air mata
Meski mengenang Soeharto sebagai sosok yang tegas dan tangguh, Satya ingat pernah melihat Soeharto dalam keadaan sangat sedih. Saat itu, Soeharto baru saja ditinggal istrinya, Siti Hartinah Soeharto atau Tien Soeharto.
"Ketika itu 28 April 1996, saya mendapat kabar bahwa Ibu Tien meninggal dunia," ucap Satya.
menerima sungkem dari Ibu Tien Soeharto pada hari Idul Fitri 1 Syawal 1415 Hijriah, 3 Maret 1995.
Satya
mengaku tiba di rumah duka di Jalan Cendana sekitar pukul 07.00 WIB.
Ketika itu jenazah Ibu Tien dibaringkan di ruang tamu. Satya masuk untuk
menyampaikan belasungkawa."Pak Harto memeluk saya, kemudian berkata sangat perlahan, 'Piye to, kok ora iso ditolong... (Bagaimana, kok tidak bisa ditolong)," tutur Satya.
Satya tidak mampu mengucapkan satu kata pun. Sosok yang dikenal sebagai "The Smiling General" itu beberapa kali mengusapkan setetes air matanya dengan sapu tangan.
"Saya hanya tertegun, turut merasakan dalamnya kepiluan di hati Pak Harto," tutur pria yang mendapat gelar doktor bidang neurologi dari Universitas Tokyo pada 1972 itu.
Credit KOMPAS.com