Tampilkan postingan dengan label UIGHUR. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label UIGHUR. Tampilkan semua postingan

Selasa, 14 Mei 2019

Muslim Uighur Bangun Kehidupan di Turki Usai Lari dari China



Muslim Uighur Bangun Kehidupan di Turki Usai Lari dari China
Imigran Muslim Uighur yang berhasil melarikan diri dari China ke Turki perlahan membangun hidup. Meski sulit, mereka merasa lebih bebas dan nyaman di Turki. (Reuters/Murad Sezer)



Jakarta, CB -- Setelah berjuang kabur dari persekusi di China, sejumlah imigran Muslim Uighur yang berhasil melarikan diri ke Turki kini perlahan membangun hidup. Meski sulit, mereka merasa lebih bebas dan nyaman di Turki.

Sejumlah Muslim Uighur terlihat berbondong-bondong beribadah di mesjid Emine Inanc. Tak tak sedikit dari mereka bahkan memenuhi jalanan untuk ikut beribadah.

"Kami merasa lebih nyaman dibandingkan ketika kami berada di negara asal kami," ujar Abudureyimu, salah satu warga Uighur yang melarikan diri ke Turki sejak 2014 lalu.

"Saya bisa melaksanakan kewajiban agama dan berbicara menggunakan bahasa asli saya dengan bebas."

Meskipun begitu, Abudureyimu masih dihantui trauma akan penganiayaan dan penumpasan yang menargetkan Uighur di China.

Diperkirakan sekitar satu juta Muslim Uighur ditahan di kamp-kamp di mana mereka dipaksa belajar paham komunisme. Hingga kini, ia sendiri tak mengetahui keberadaan keluarganya, masih hidup atau tidak.

Namun, Abudureyime meyakini bahwa pihak China masih menahan keluarganya di kamp Xinjiang. Abudureyime khawatir keadaan keluarganya akan lebih parah jika aparat mengetahui ia kabur.

Turki sendiri mengecam pendirian kamp-kamp konsentrasi untuk menampung Muslim Uighur tersebut. Turki menuding China melakukan operasi militer guna menumpas "identitas etnis, agama, dan budaya masyarakat Turki Uighur di daerahnya."

Pemerintah Turki meyakini ratusan ribu orang Uighur menjadi target "penyiksaan dan pencucian otak" saat berada di dalam kamp.


Guna menunjukkan solidaritas terhadap Muslim Uighur, Turki pun mengizinkan para imigran itu masuk ke negaranya. Di sana, pemerintah juga menjamin keamanan para Muslim Uighur.

Sejumlah warga Uighur yang tinggal di Turki juga menggagas kampanye #MeTooUyghur yang disebarkan melalui sosial media.

Ratusan warga turun ke jalanan dan mendesak pemerintah China untuk merilis bukti video bahwa kerabat mereka yang hilang tersebut masih hidup.

Masyarakat Uighur ingin agar pihak China bertanggung jawab atas hilangnya kontak mereka dengan sanak saudaranya.



Credit  cnnindonesia.com




Kamis, 09 Mei 2019

Utusan AS dan China Berseteru di PBB Terkait Isu Uighur


Utusan AS dan China Berseteru di PBB Terkait Isu Uighur
Ilustrasi warga etnis Uighur di Turki. (REUTERS/Murad Sezer)



Jakarta, CB -- Utusan Amerika Serikat dan China untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terlibat perseteruan dalam rapat. Pangkal persoalannya adalah tudingan pelanggaran hak asasi manusia terhadap etnis Uighur di Xinjiang yang dibantah Negeri Tirai Bambu.

Pertikaian itu terjadi pada Selasa (7/5) kemarin. China geram dengan tindakan AS yang mengajak negara anggota PBB untuk menarik posisi Beijing dari lembaga itu.

Ini merupakan kali keduanya China dan AS bersitegang di PBB terkait isu Uighur dan minoritas Muslim yang dipaksa masuk kamp-kamp khusus di Xinjiang, seperti dilansir AFP, Rabu (8/5).


Pekan lalu, perwakilan AS di PBB mengundang pimpinan lembaga Kongres Uighur Dunia (WUC), Dolkun Isa, untuk memaparkan persoalan yang dihadapi etnis minoritas itu dengan pemerintah China. Namun, tindakan AS ini justru membangkitkan amarah China.


Isa menyatakan aparat China menangkap etnis Uighur secara acak dan dijebloskan ke dalam kamp, di mana mereka kehilangan kebebasan dan haknya untuk beragama.

Dalam pertemuan tersebut, diplomat China menyebut Isa sebagai "teroris" dengan dukungan AS dan digunakan untuk menyerang dan memfitnah.

Menurut penuturan Duta Besar AS untuk PBB, Courtney Nemoff, perlakuan China terhadap masyarakat Uighur perlu dijadikan faktor untuk mempertimbangkan keanggotaan Negeri Tirai Bambu di PBB, menjelang pemilihan pada Selasa pekan depan.

"AS khawatir terhadap jutaan masyarakat Uighur, etnis Kazakh, Kirgistan, serta umat Muslim lainnya yang menderita akibat aksi penahanan semena-mena, kerja paksa, penyiksaan, dan kematian yang terjadi di kamp-kamp China di daerah Xinjiang," ujar Nemoff.


"Kekejaman ini harus segera dihentikan. Kami memperingatkan semua negara anggota pada forum yang amat penting ini," tambahnya.

Duta Besar China untuk PBB, Zhang Xiaoan, membantah tuduhan AS tersebut. Ia menyatakan China marah terkait hal itu karena dianggap fitnah.

China menegaskan kamp-kamp di daerah Xinjiang sebagai "pusat pelatihan keterampilan", yang dibangun dengan dalih untuk menjauhkan etnis Uighur dari pengaruh paham ekstrem.

AS juga mendesak Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, untuk memperhatikan nasib masyarakat Uighur.

Menurut laporan dari juru bicara PBB, Stephane Dujarric, Guterres telah berbicara dengan Menteri Luar Negeri China, Wang Yi, untuk menghargai HAM dalam melawan terorisme.


Akan tetapi, hal itu tidak membuat Zhang Xiaoan kalah. Dia justru terpilih secara aklamasi menjadi anggota forum PBB yang beranggotakan 16 negara bersamaan dengan perwakilan lainnya dari Burundi, Namibia, Denmark, dan Rusia. Meski demikian AS mengajukan banding atas keputusan itu.





Credit  cnnindonesia.com



Senin, 08 April 2019

Aksi Dukungan untuk Muslim Uighur Digelar di Washington


Muslim Uighur sedang bercengkerama.
Muslim Uighur sedang bercengkerama.
Foto: Uttiek M Panji Astuti

Cina dianggap telah melakukan pelanggaran HAM kepada muslim Uighur.



CB, WASHINGTON -- Ratusan warga Amerika, Kanada, Australia, termasuk diaspora Uighur, menggelar aksi demonstrasi di Washington pada Sabtu (6/4). Mereka menyerukan Pemerintah Amerika Serikat (AS) mengambil tindakan terhadap Cina atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukannya terhadap Muslim Uighur di Provinsi Xinjiang.

Ketua Komite Eksekutif Kongres Uighur Dunia Omar Kanat berpartipasi dalam aksi demonstrasi di Washington. Dia mengucapkan terima kasih kepada massa yang telah hadir dan menyuarakan dukungannya terhadap Muslim Uighur.

"Kita dipersatukan oleh tuntutan kita untuk mengakhiri genosida yang dilakukan oleh Pemerintah Cina terhadap orang-orang Uighur dan Muslim Turki lainnya di Turkestan Timur," kata Kanat mengacu pada wilayah Xinjiang, dikutip laman Anadolu Ageny.

Menurut dia, perlakuan Pemerintah Cina terhadap etnis Uighur telah menyebabkan rasa sakit, kehancuran, bahkan kematian. "Kita di sini untuk memobilisasi dukungan politik bagi tindakan Amerika. Sekarang saatnya untuk tindakan nyata," ujarnya.

Presiden Kongres Uighur Dunia Dolkun Isa mengungkapkan ketika semua orang Uighur berbicara serentak dengan satu suara, mereka tak bisa dibungkam. "Kami adalah putra-putri yang tidak lagi dapat menghubungi orang tua kami. Dalam kasus saya, ibu saya meninggal di kamp," ucapnya.

Hal itu juga berdampak pada anak-anak mereka. "Kami adalah orang tua yang anak-anaknya tidak bisa tumbuh di tanah air mereka dan tidak dapat sepenuhnya menikmati budaya serta tradisi Uighur," kata Isa.

Oleh sebab itu, dia mendesak AS untuk menindak pelanggaran HAM yang dilakukan Pemerintah Cina terhadap Muslim Uighur. Menurutnya AS perlu bekerja sama dengan Uni Eropa dalam melakukan hal tersebut. "Kita harus bergerak melampaui kata-kata menjadi tindakan nyata sebelum terlambat," ujar Isa.

Esedullah, seorang warga Uighur yang tinggal di AS dan berpartisipasi dalam aksi di Washington mengatakan bahwa dia telah kehilangan kontak dengan keluarganya. "Ayah saya terkurung di kamp konsentrasi, saya kehilangan kontak dengan keluarga saya," katanya.

"Saya ingin mendengar suara orang tua saya dan sarapan bersama mereka. Saya tidak bisa memberitahu Anda betapa saya merindukan mereka," ujar Esedullah.

Menurut dia, aksi seperti di Washington memang harus diselenggarakan. "Dunia tidak tahu tentang apa yang terjadi di kamp (konsentrasi). Dengan berada di sini kami memberitahu Pemerintah Amerika dan dunia bahwa mereka dapat menghentikan genosida di Turkistan Timur," kata Esedullah.

"Saya berharap demonstrasi ini akan membantu mengentikan kamp konsentrasi dan membebaskan jutaan orang yang dipenjara di kamp-kamp. Saya berharap swmua warga Uighur dapat bersatu dengan keluarga mereka segera," ucap Esedullah.

Pada Rabu (3/4) lalu kelompok bipartisan parlemen (AS) mendesak pemerintahan Donald Trump untuk segera menjatuhkan sanksi kepada Ketua Partai Komunis Xinjiang Chen Quanguo. Dia dianggap terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di wilayah yang dipimpinnya.

Sebanyak 40 anggota parlemen yang dipimpin Senator Marco Rubio dan Perwakilan AS Chris Smith dari Partai Republik serta Senator Bob Menendez dan Perwakilan James McGovern dari Partai Demkorat, telah mengirim surat kepada pensihat utama Trump. Dalam surat tersebut mereka menyalahkan pemerintah karena sejauh ini gagal menjatuhkan sanksi kepada Cina atas dugaan pelanggaran HAM terhadap minoritas Muslim di Xinjiang.

“Kami kecewa dengan kegagalan pemerintah sejauh ini untuk menjatuhkan sanksi yang terkait dengan pelanggaran HAM sistemis dan mengerikan yang sedang berlangsung di Xinjiang,” kata mereka dalam suratnya.


Pemerintah Cina telah menghadapi tekanan internasional karena dituding menahan lebih dari 1 juta Muslim Uighur di kamp-kamp konsentrasi di Xinjiang. Tak hanya menahan, Beijing disebut melakukan indoktrinasi terhadap mereka agar mengultuskan Presiden Cina Xi Jinping dan Partai Komunis Cina.

Pemerintah Cina telah membantah tuduhan tersebut. Menurutnya, apa yang dibangun di Xinjiang adalah pusat reedukasi dan pelatihan vokasi. Cina mengklaim kehadiran pusat tersebut penting untuk menghapus kemiskinan di Xinjiang. 





Credit  republika.co.id






Jumat, 05 April 2019

Kongres AS Desak Trump Sanksi China soal Persekusi Uighur


Kongres AS Desak Trump Sanksi China soal Persekusi Uighur
Ilustrasi pos pemeriksaan aparat China terhadap etnis Muslim Uighur di Provinsi Xinjiang. (REUTERS/Thomas Peter)



Jakarta, CB -- Puluhan anggota Kongres Amerika Serikat yang terdiri dari senator dan anggota Dewan Perwakilan menuntut Presiden Donald Trump menjatuhkan sanksi bagi sejumlah pejabat tinggi China di wilayah Xinjiang. Desakan itu terkait dugaan persekusi dan penahanan massal etnis minoritas Muslim Uighur.

Tuntutan itu tertuang dalam petisi yang ditandatangani oleh 24 senator dan 19 anggota Dewan Perwakilan lintas partai.

"Kami kecewa dengan kegagalan pemerintah sejauh ini yang tidak menjatuhkan sanksi apa pun terkait pelanggaran HAM yang sistematis dan mengerikan yang sedang terjadi di Xinjiang," bunyi surat tersebut yang ditujukan kepada Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo, dan sejumlah pejabat tinggi pemerintah lain, Rabu (3/4).


Salah satu pejabat China yang menjadi target sanksi adalah sekretaris Partai Komunis di Xinjiang, Chen Quanguo. Chen sebelumnya menduduki jabatan serupa di Tibet. Ia dikenal dengan kebijakan tangan besi dalam menghadapi etnis minoritas di China.

Para anggota Kongres itu meminta Trump menjatuhkan sanksi kepada Chen dan sejumlah pejabat China lainnya di bawah Undang-Undang Magnitsky.

UU Global Magnitsky disahkan Kongres pada 2012 lalu yang menargetkan individu atau entitas lainnya yang terlibat pelanggaran HAM. Individu dan entitas yang terkena sanksi itu seluruh asetnya, terutama yang berada di bawah yurisdiksi AS, akan dibekukan.

Sanksi itu juga mengisolasi akses individu dan entitas entitas tersebut dari sistem keuangan global dan melarang mereka masuk wilayah AS.

Selain pejabat pemerintah, petisi itu juga mendesak pemerintahan Trump berbuat lebih menindak perusahaan China yang dianggap terlibat dugaan pelanggaran hak asasi manusia tersebut.

Meski anggota Kongres menyatakan retorika Wakil Presiden AS, Mike Pence, dan pejabat lainnya dalam isu ini, tetapi mereka menganggap hal itu tidak cukup.
Kongres AS Desak Trump Sanksi China soal Persekusi Uighur
Etnis Muslim Uighur di Xinjiang, China. (REUTERS/Thomas Peter)
Dikutip AFP, puluhan anggota Kongres yang meneken petisi itu di antaranya ialah senator Partai Republik dari Florida, Marco Rubio, yang juga dekat dengan Trump.

Selain itu, anggota Partai Demokrat di Komite Hubungan Luar Negeri Senat, Bob Menendez, juga ikut menandatangani petisi tersebut.

Beberapa nama lainnya yang ikut mendukung petisi itu antara lain Senator Elizabeth Warren, kandidat presiden dari Partai Demokrat, Senator Mitt Romney yang pernah mencalonkan diri sebagai capres dari Partai Republik, serta James McGovern dan Chris Smith yang memimpin komisi Kongres untuk urusan HAM.

Selama ini, pemerintah China memang dilaporkan kerap melakukan pelanggaran HAM secara massal dan sistematis terhadap kaum minoritas Muslim di Xinjiang.

Berdasarkan kesaksian korban, otoritas China terus melakukan penahanan massal sewenang-wenang terhadap Uighur dan minoritas Muslim lain di Xinjiang sejak 2014 lalu.

China mengakui telah menahan hampir 13 ribu orang di Xinjiang sejak 2014 dengan dalih upaya deradikalisasi.






Credit  cnnindonesia.com



Jumat, 15 Maret 2019

AS: Penindasan Cina terhadap Muslim di Xinjiang Meluas



Para peserta didik kamp pendidikan vokasi etnis Uighur di Kota Kashgar, Daerah Otonomi Xinjiang, Cina, belajar menjahit pakaian, Jumat (3/1/2019).
Para peserta didik kamp pendidikan vokasi etnis Uighur di Kota Kashgar, Daerah Otonomi Xinjiang, Cina, belajar menjahit pakaian, Jumat (3/1/2019).
Foto: ANTARA FOTO/M. Irfan Ilmie

AS mendesak Cina mengubah kebijakannya di Xinjiang.




CB, JENEWA -- Wakil Amerika Serikat (AS) untuk Dewan Ekonomi dan Sosial PBB Kelley Eckels Currie mengatakan Pemerintah Cina masih melakukan tindakan represif terharap etnis minoritas di Provinsi Xinjiang. AS sedang mempertimbangkan langkah-langkah membidik para pejabat Xinjiang yang bertanggung jawab atas perbuatan tersebut.

"Apa yang baru adalah luasnya penindasan (di Xinjiang) dan bagaimana Pemerintah Cina menggunakan terobosan dalam teknologi untuk meningkatkan efektivitasnya," ujar Currie dalam pertemuan Dewan HAM PBB yang digelar di Jenewa, Swiss, pada Rabu (13/3), dikutip laman New York Times.

Dia mendesak Cina untuk mengubah kebijakannya di Xinjiang dan mengizinkan para ahli PBB mengunjungi wilayah tersebut. Hal itu dilakukan guna menyingkap kondisi sesungguhnya di Xinjiang.

Pertemuan yang digelar di Jenewa memang diinisiasi AS. Tujuannya adalah menarik perhatian global atas langkah-langkah ekstrem yang diambil Cina di Xinjiang, terutama terkait dugaan penahanan lebih dari 1 juta Muslim Uighur.

Pertemuan itu juga menyoroti adanya peningkatan upaya oleh Cina dalam melawan kritik internasional perihal isu Xinjiang. Cina dijadwalkan tampil di Dewan HAM PBB untuk putaran akhir tinjauan formal atas kinerja HAM-nya.

Adrien Zenz, seorang pakar Xinjiang dari Jerman yang turut hadir dalam pertemuan di Jenewa mengatakan, pusat-pusat penahanan telah berkembang pesat di Xinjiang dalam dua tahun terakhir. Dia menduga pusat penahanan tersebut menampung sekitar 1,5 juta Muslim Uighur dan minoritas Muslim lainnya. "Taktik Cina tidak kurang dari kampanye genosida budaya yang sistematis," ucapnya.

Keberadaan kamp penahanan dikonfirmasi oleh Omir Bekali (43 tahun), seorang Kazakh Uighur yang tinggal di Xinjiang. Dalam pertemuan di Jenewa Bekali menuturkan bahwa dia pernah ditangkap polisi Xinjiang pada 2017.

Setelah ditangkap, dia kemudian disiksa dan ditahan di sebuah ruangan kecil bersama 40 orang lainnya selama enam bulan. Selama ditahan, dia dan para tahanan lainnya harus menyanyikan lagu-lagu yang mengagungkan Presiden Cina Xi Jinping.

Selain itu, para tahanan pun dituntut untuk meyanjung dan memuji Partai Komunis Cina. "Kami tidak punya hak untuk bicara," ujar Bekali.

Seorang diplomat Cina yang mendengar kesaksian Bekali segera membantahnya. Dia menuding apa yang dikisahkan Bekali merupakan kebohongan. "Pusat-pusat ini tidak lain adalah sekolah asrama biasa," katanya menyangkal cerita Bekali.

Pemerintah Cina telah berulang kali membantah melakukan penahanan terhadap lebih dari 1 juta Muslim Uighur. Beijing pun menyangkal membangun kamp-kamp penahanan.

Menurutnya, apa yang dibangun di Xinjiang adalah pusat reedukasi dan pelatihan vokasi. Cina mengklaim kehadiran pusat tersebut penting untuk menghapus kemiskinan di Xinjiang.

Mereka pun mengklaim bahwa para peserta telah menandatangani perjanjian untuk menerima pelatihan vokasi tersebut. Namun banyak pihak meragukan klaim Cina. Hal itu terutama disebabkan keengganan Cina memberi kemudahan akses bagi dunia internasional untuk berkunjung ke Xinjiang. 




Credit  republika.co.id



Kamis, 14 Maret 2019

AS Kritik Negara Islam karena Gagal Angkat Isu Uighur di OKI


AS Kritik Negara Islam karena Gagal Angkat Isu Uighur di OKI
Ilustrasi Uighur di Xinjiang. (Reuters/Thomas Peter)




Jakarta, CB -- Amerika Serikat menyuarakan kekecewaan atas kegagalan negara Muslim anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) mengambil sikap tegas terkait dugaan persekusi China terhadap etnis Uighur dan minoritas Muslim lainnya di Xinjiang.

"Kami, saya dapat mengatakan, kecewa dengan tanggapan minim dari anggota Organisasi Kerja Sama Islam dan keprihatinan yang kurang," ucap Duta Besar AS untuk PBB, Kelley Currie, di Jenewa, Rabu (13/3).

Awal Maret lalu, 57 menteri luar negeri negara anggota OKI, termasuk Menlu RI Retno Marsudi, mengadakan pertemuan ke-46 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.


AS menilai, dalam konferensi itu OKI gagal menggambarkan keprihatinan organisasi tersebut terkait kondisi etnis Uighur di Xinjiang. Currie menganggap hasil rapat OKI tersebut "mengecewakan dan membuat frustrasi."


Komentar itu juga dilontarkan Currie setelah AS merilis laporan Hak Asasi Manusia tahunannya. Dalam laporan itu, Washington menyatakan bahwa Beijing telah "secara signifikan mengintensifkan kampanye penahanan massal terhadap kelompok minoritas Muslim di Xinjiang."

"Hari ini, lebih dari satu juta orang suku Uighur, etnis Kazakh, dan minoritas Muslim lainnya ditahan di kamp-kamp pendidikan yang dirancang untuk menghapus identitas agama dan etnis mereka," ujar Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo, dalam laporan tersebut.

Pernyataan itu juga diutarakan Currie menjelang sesi acara yang disponsori AS di markas PBB di Jenewa. Selain AS, acara dengan fokus isu dugaan penahanan paksa etnis Uighur di Xinjing itu juga didukung Inggris, Kanada, Jerman, dan Belanda.


Tak hanya Currie, sejumlah ahli dan seorang eks warga Xinjiang yang mengaku pernah ditahan di kamp penahanan juga ikut angkat bicara dalam sesi tersebut.

Tudingan pelanggaran HAM tersebut menimbulkan reaksi keras dari diplomat China di acara tersebut yang menganggap acara tersebut "jelas didorong agenda politik" AS.

"Kami sangat menentang ajang anti-China ini yang disponsori oleh perwakilan AS untuk PBB di Jenewa," ucap diplomat China itu seperti dikutip AFP.

"Tidak ada yang disebut kamp konsentrasi di Xinjiang."


Diplomat itu berdalih bahwa kamp-kamp penampungan itu merupakan upaya negaranya memerangi separatisme dan ekstremisme agama melalui pendidikan kejuruan.

Selama ini, pemerintah China memang dilaporkan kerap melakukan pelanggaran HAM secara massal dan sistematis terhadap kaum minoritas Muslim di Xinjiang, termasuk etnis Uighur.

Penindasan terhadap suku Uighur di Xinjiang kembali ramai diperbincangkan setelah laporan Amnesty International pada September lalu mengungkap bahwa otoritas China menahan sekitar 1 juta orang dari etnis minoritas tersebut di penampungan layaknya kamp konsentrasi.

Di sana, para tahanan dilaporkan didoktrin supaya mengamalkan ideologi komunis. Berdasarkan kesaksian sejumlah warga Xinjiang, otoritas China melakukan penahanan secara sewenang-wenang sejak 2014 silam.






Credit  cnnindonesia.com




Selasa, 26 Februari 2019

Turki Minta Hak Beragama Muslim Uighur Dihormati


Muslim Uighur
Muslim Uighur
Foto: ABC News

Turki pun mengimbau Bejing untuk melindungi kekebasan beragama dan identitas budaya.



CB, JAKARTA -- Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu menyuarakan kekhawatiran atas dugaan penganiayaan tergadap orang-orang Uighur dan pemeluk Islam lain di kawasan Xinjiang. Ia pun mengimbau Bejing untuk melindungi kekebasan beragama dan identitas budaya.

Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa membuka sidang utama tahunan selama empat pekan dan para diplomat serta pegiat mengatakan Cina telah melobi berbagai pihak terkait untuk menghindari pengawasan atas kebijakan-kebijakannya di Xinjiang dan isu-isu HAM lain.

Negara-negara Barat melihat kepada Turki dan para anggota lain dari Organisasi Kerjasama Islam (OIC) untuk mengangkat isu-isu yang Cina sebut fasilitas pendidikan kembali dan pelatihan di Xinjiang. Para pakar PBB dan pegiat mengatakan kamp-kamp itu menampung satu juta warga Uighur, yang berbicara bahasa Turki, dan para pemeluk Islam lain.


Cina telah membatah tuduhan-tuduhan melakukan penyiksaan dan menganggap kritik di dalam dewan PBB itu merupakan campur tangan dalam kedaulatannya.Menlu Cavuslogu tidak secara khusus menyebut kamp-kamp penahanan massal di kawasan terpencil di bagian barat Cina itu.


Tetapi dia mengatakan kepada forum Jenewa bahwa laporan-laporan pelanggaran HAM terhadap orang-orang Uighur dan pemeluk Islam lain di Xinjiang merupakan masalah serius dan mengkhawatirkan.Suatu perbedaan hendaknya dibuat antara "teroris dan orang-orang tak bersalah" tambah Cavusoglu.


Ia kemudian menyelipkan sebaris kalimat dalam keterangannya yang sudah dipersiapkan, dengan menambahkan, "Dan saya harus menggaris-bawahi bahwa kami mendukung kebijakan Satu Cina".


Ia merujuk kepada sikap Cina bahwa negara itu meliputi Taiwan dan kawasan-kawasan otonomi termasuk Xinjiang dan Tibet."Kami mendorong penguasa Cina dan mengharapkan HAM universal, termasuk kebebasan beragama, dihormati dan perlindungan penuh identitas budaya orang-orang Uighur dan pemeluk Islam lain dijamin," demikian Menlu Cavusoglu.


Cina, salah satu anggota Dewan HAM, tidak segera menanggapi keterangan menlu Turki itu, tetapi para delegasi akan bebas menjawab tuduhan-tuduhan kemudian dalam sesi tersebut





Credit  republika.co.id





Selasa, 19 Februari 2019

Pemerintah Cina Pantau Pergerakan 2,5 Juta Orang di Xinjiang


Perangkat lunak pengawasan SenseTime yang mengidentifikasi perincian orang dan kendaraan yang beroperasi ketika diuji coba di kantor perusahaan di Beijing, Cina, 11 Oktober 2017.[REUTERS / Thomas Peter]
Perangkat lunak pengawasan SenseTime yang mengidentifikasi perincian orang dan kendaraan yang beroperasi ketika diuji coba di kantor perusahaan di Beijing, Cina, 11 Oktober 2017.[REUTERS / Thomas Peter]



CB, Jakarta - Sebuah perusahaan pengawasan Cina sedang melacak pergerakan lebih dari 2,5 juta orang di wilayah Xinjiang, barat laut Cina.
Hal ini terungkap setelah kebocoran data yang diperoleh seorang pakar internet Belanda.
Dikutip dari Reuters, 18 Februari 2019, database online yang berisi nama, nomor kartu identitas, tanggal lahir dan data lokasi dibiarkan tidak terlindungi selama berbulan-bulan oleh perusahaan teknologi pengenalan wajah yang berbasis di SenseNets Technology Ltd, menurut Victor Gevers, salah satu pendiri organisasi nirlaba GDI.Foundation, yang pertama kali mencatat kerentanan dalam serangkaian unggahan media sosial minggu lalu.

Data yang bocor juga menunjukkan sekitar 6,7 juta titik data lokasi yang terhubung dengan orang-orang yang dikumpulkan dalam waktu 24 jam, ditandai dengan deskripsi seperti "masjid", "hotel", "kafe internet" dan tempat-tempat lain di mana kamera pengintai mungkin ditemukan.
"Itu sepenuhnya terbuka dan siapa pun tanpa otentikasi memiliki hak administratif penuh. Anda bisa masuk dalam database dan membuat, membaca, memperbarui, dan menghapus apa pun," kata Gevers.

Perangkat lunak pengawasan SenseTime yang mengidentifikasi perincian tentang orang dan kendaraan yang beroperasi ketika diuji coba di kantor perusahaan di Beijing, Cina, 11 Oktober 2017. [REUTERS / Thomas Peter]
Cina telah menghadapi protes dari para aktivis, ulama, tokoh agama, pemerintah asing dan pakar hak asasi manusia atas apa yang mereka sebut penahanan massal dan pengawasan ketat terhadap minoritas Muslim Uighur yang sebagian besar Muslim dan kelompok Muslim lainnya di Xinjiang.

Menurut situs webnya, SenseNets bekerja dengan polisi Cina di beberapa kota. Perusahaan induknya yang terdaftar di Shenzhen NetPosa Technologies Ltd memiliki kantor di sebagian besar provinsi dan wilayah Cina, termasuk Xinjiang.SenseNets dan NetPosa, serta pemerintah daerah Xinjiang, belum berkomentar terkait laporan ini.




Kamera keamanan dipasang di pintu masuk Masjid Id Kah selama perjalanan yang diorganisir pemerintah di Kashgar, Daerah Otonomi Xinjiang Uighur, Cina, 4 Januari 2019. [REUTERS / Ben Blanchard]
Gevers mengatakan bahwa lembaganya secara langsung memberi tahu SenseNets tentang kerentanan, sesuai dengan protokol GDI. Dia mengatakan SenseNets tidak merespons, tetapi sejak itu telah mengambil langkah-langkah untuk mengamankan basis data.

Pemerintah Cina telah meningkatkan pengawasan pribadi di Xinjiang selama beberapa tahun terakhir, terutama terhadap etnis minoritas atau Muslim Uighur, termasuk pembangunan sistem pengawasan video yang luas dan teknologi pemantauan smartphone.





Credit  tempo.co





Cina Perketat Pengawasan Individu di Xinjiang



Para peserta didik kamp pendidikan vokasi etnis Uighur di Kota Kashgar, Daerah Otonomi Xinjiang, Cina, berolahraga di lapangan voli pelataran asrama, Jumat (3/1/2019).
Para peserta didik kamp pendidikan vokasi etnis Uighur di Kota Kashgar, Daerah Otonomi Xinjiang, Cina, berolahraga di lapangan voli pelataran asrama, Jumat (3/1/2019).
Foto: ANTARA FOTO/M. Irfan Ilmie

Cina mengawasi lewat video hingga melalui ponsel cerdas.



CB, BEIJING -- Pemerintah Cina telah meningkatkan pengawasan secara individual di Xinjiang dalam beberapa tahun terakhir. Hal itu termasuk pembangunan sistem pengawasan video dan pemantauan melalui ponsel cerdas.

Seorang peneliti dan pendiri organisasi nirlaba GDI Foundation Victor Gevers mengatakan, perusahaan SenseNets Technology Ltd yang berbasis di Shenzhen memiliki teknologi pengenalan wajah. Perusahaan itu sedang melacak pergerakan lebih dari 2,5 juta orang di wilayah Xinjiang.

Data menunjukkan sekitar 6,7 juta titik data lokasi yang saling terkait dan terhubung dengan orang-orang dalam waktu 24 jam. Mereka ditandai dengan kata kunci seperti masjid, hotel, dan warung internet, atau warnet serta tempat-tempat lain dengan kamera pengawas. Adapun, SenseNets Technology telah membiarkan database online yang berisi nama, nomor kartu identitas, tanggal lahir, dan data lokasi secara terbuka selama berbulan-bulan.

"Ini sepenuhnya terbuka dan siapa pun mempunyai hak-hak administratif penuh. Anda bisa masuk ke database untuk membaca, memutakhirkan dan menghapus sesuatu," kata Gevers dilansir Reuters, Senin (18/2).

Cina telah menghadapi kecaman dari para pegiat, pakar, pemerintah asing dan pakar HAM PBB atas apa yang mereka sebut penahanan massal dan pengawasan ketat terhadap kaum minoritas Muslim Uighur dan kelompok-kelompok Muslim lain.

Menurut informasi di lamannya, SenseNets bekerja dengan kepolisian Cina di sejumlah kota. Perusahaan induk NetPosa Technoloies Ltd, yang sahamnya tercatat di bursa Shenzhen, memiliki kantor di sebagian besar provinsi Cina dan kawasan, termasuk Xinjiang.

Dilaporkan CNet, Gevers mengatakan, GDI Foundation telah memberikan teguran kepada SenseNets terkait database yang terbuka tersebut sejak Juli. Namun SenseNets tidak menanggapinya. Peneliti menemukan, ada 1.039 perangkat yang digunakan untuk melacak orang-orang di seluruh Cina.

Adapun Cina akan menggunakan teknologi pengenalan wajah untuk memantau seluruh warganya. Pada 2020, Cina berencana untuk memberikan skor kredit kepada setiap warganya yang dilacak melalui pengenalan wajah dan frekuensi belanja. Saat ini terdapat sekitar 200 juta kamera pengintai di Cina, yang jumlahnya akan ditingkatkan tiga kali lipat pada tahun depan.

Teknologi itu sering dikritik sebagai pelanggaran privasi karena lembaga pemerintahan dapat melacak warganya secara real time, tanpa melalui persetujuan terlebih dahulu. Sementara itu, di Amerika Serikat (AS), Kepolisian Orlando telah bereksperimen dengan teknologi pengenalan wajah tersebut.




Credit  republika.co.id



Senin, 11 Februari 2019

Turki imbau China tutup kamp pengasingan bagi orang Islam


Turki imbau China tutup kamp pengasingan bagi orang Islam
Profil anak-anak etnik minoritas Uyghur di Wilayah Otonomi Xinjiang Uyghur, China. Mereka muslimin dan muslimah di tengah dominasi suku Han, yang berawal dari okupansi pasukan Jenghis Khan dari Mongolia ke Turki dan China. (wikipedia.org)




Istanbul (CB) - Turki mengimbau China agar menutup kamp-kamp pengasingannya bagi orang-orang Islam, dengan mengatakan kamp-kamp tersebut yang dilaporkan menampung sejuta orang etnis Uighur merupakan sesuatu "yang mengecewakan bagi kemanusiaan".

Pekan lalu, para pegiat hak asasi manusia mendesak negara-negara Eropa dan Islam untuk memprakarsai pembentukan investigasi PBB atas penahanan dan "indoktrinasi paksa" China terhadap hingga satu juta orang Uighur, yang berbicara bahasa Turki, dan orang-orang Islam lain di Provinsi Xinjiang.

"Kebijakan asimilasi sistematis terhadap orang-orang Turki Uighur yang dilakukan penguasa China merupakan suatu yang mengecewakan bagi kemanusiaan," kata Hami Aksoy, juru bicara Kementerian Luar Negeri Turki, dalam satu pernyataaan pada Sabtu (9/2) malam, demikian Reuters melaporkan.

"Ini bukan rahasia lagi bahwa lebih satu juta orang Turki Uighur yang mengalami penangkapan serampangan menerima siksaan dan pencucian otak di kamp-kamp pengasingan dan penjara-penjara," kata Aksoy.


Tanggapan Turki tersebut disampaikan setelah kematian musisi dan penyair Uighur, Abdurehim Heyit, dalam tahanan.

Beijing menghadapi tekanan internasional yang meningkat atas program yang disebutnya "deradikalisasi" di provinsi di bagian barat jauh negara itu.

Ankara menyerukan masyarakat internasional dan sekretaris jenderal PBB untuk mengambil tindakan.

China mengatakan pihaknya melindungi agama dan budaya minoritas etnisnya dan langkah-langkah keamanan di Xinjiang diperlukan untuk menghadapi kelompok-kelompok yang memicu kekerasan di sana.




Credit  antaranews.com




Cina Diam-diam Pindahkan Tahanan Uighur dari Xinjiang, Kenapa?


Para peserta didik kamp pendidikan vokasi etnis Uighur di Kota Kashgar, Daerah Otonomi Xinjiang, Cina, mengikuti kelas ilmu hukum, Jumat 3 Januari 2019. Kamp pendidikan tersebut disoroti PBB dan dunia Barat karena dianggap sebagai pola deradikalisasi yang melanggar HAM, namun Cina menyangkal karena para peserta didik diajari berbagai keterampilan. ANTARA FOTO/M. Irfan Ilmie
Para peserta didik kamp pendidikan vokasi etnis Uighur di Kota Kashgar, Daerah Otonomi Xinjiang, Cina, mengikuti kelas ilmu hukum, Jumat 3 Januari 2019. Kamp pendidikan tersebut disoroti PBB dan dunia Barat karena dianggap sebagai pola deradikalisasi yang melanggar HAM, namun Cina menyangkal karena para peserta didik diajari berbagai keterampilan. ANTARA FOTO/M. Irfan Ilmie

CB, Jakarta - Cina secara diam-diam memindahkan tahanan etnis Uighur dari kamp pusat reedukasi di provinsi otonomi Xinjiang atau XUAR ke penjara di provinsi Shaanxi dan Gansu. Pemindahan ini merujuk pada perluasan sistem pemindahan rahasia tahanan keluar wilayah.
Dalam wawancara via telepon dengan Radio Free Asia, 8 Februari 2019, pejabat di Biro Kemanan Publik povinsi Shaanxi membenarkan tentang pemindahan etnis Uighur dari kamp pusat reedukasi di Xinjiang ke penjara di Shaanxi. Namun pejabat tersebut mengaku tidak mengetahui berapa banyak jumlah Uighur yang dipindahkan.

"Saya tidak memiliki informasi berapa banyak Uighur dipindahkan ke sini," kata pejabat itu.
Dia kemudian menyarankan agar menghubungi Biro Keamanan Publik XUAR dan Pasukan Produksi dan Konstruksi Xinjiang. Aparat penjara di Shaanxi juga membenarkan adanya tahanan Uighur di penjara Cuijiagou.
Otoritas penjara di provinsi Gansu juga membenarkan ada tahanan Uighur dipindahkan dari XUAR. Mereka dijebloskan ke penjara di kota Baiyin.
"Jumlah mereka yang dipindahkan dari XUAR sangat banyak. Mereka tidak hanya ditahan di penjara Baiyin, sebagian besar mereka ditahan di penjara-penjara di Gansu," kata petugas penjara.
Etnis Uighur itu ditahan tidak hanya karena tindakan kriminal, tapi lebih pada alasan khusus. "Mereka secara khusus di bawah pengamanan yang sangat ketat," ujarnya.

Televisi pemerintah Cina menunjukkan Muslim Uighur menghadiri kelas tentang bagaimana menjadi warga negara yang taat hukum. Ada bukti bahwa para tahanan juga dipaksa untuk bekerja di pabrik-pabrik baru. [New York Times]


Laporan Bitter Winter, situs yang diluncurkan oleh Pusat penelitian Italia yang fokus pada isu agama di Cina, CESNUR, lebih dulu membenarkan adanya pemindahan tahanan Uighur dari kamp pusat reedukasi di XUAR ke sejumlah penjara di Shaanxi dan Gansu.
Di penjara Cuijiagou diperkirakan ada sekitar 3 ribu Uighur yang dipindahkan secara diam-diam dari Xinjiang ke Shaanxi dengan menggunakan truk militer dan polisi bersenjata.

"Untuk menyembunyikan kebenaran, orang-orang ini selalu dikirim ke penjara pada malam hari," ujar seorang sumber.
Sumber Bitter Winter sebelumnya mengungkapkan sejumlah penjara di Inner Mongolia juga menerima tahanan dari Xinjiang yang diduga etnis Uighur. 



Credit  tempo.co








Misteri Musisi Muslim Uighur yang Disebut Tewas di Kamp Tahanan China


Misteri Musisi Muslim Uighur yang Disebut Tewas di Kamp Tahanan China
Abdurehim Heyit, musisi Muslim Uighur yang diklaim Turki tewas di kamp penahanan China. Foto/CRI

 

BEIJING - Media pemerintah China (Tiongkok) membantah klaim Turki bahwa seorang musisi Muslim Uighur tewas di kamp penahanan. Sebuah video yang menunjukkan musisi itu dirilis sebagai bukti.

Video bertanggal 10 Februari 2019 menampilkan seorang pria yang disebut bernama Abdurehim Heyit yang menyatakan bahwa kondisi kesehatannya baik.

Turki sebelumnya meminta China untuk menutup kamp-kamp penahanan Muslim Uighur setelah mengklaim ada laporan perihal kematian musisi tersebut. Menurut Ankara lebih dari satu juta warga Uighur ditahan.

Beberapa warga Uighur mempertanyakan keaslian video yang dirilis media pemerintah China. Nury Turkel, ketua Proyek Hak Asasi Manusia Uighur yang berpusat di Amerika Serikat, mengatakan kepada BBC bahwa beberapa aspek dari video itu mencurigakan.

Orang-orang Uighur adalah minoritas Muslim berbahasa Turki yang berbasis di wilayah Xinjiang barat laut China, yang telah diawasi ketat oleh otoritas China. Secara bahasa, mereka dekat dengan Turki dan sejumlah besar warga Uighur telah melarikan diri ke Turki dalam beberapa tahun terakhir.

Video bantahan itu dirilis oleh China Radio International (CRI) untuk layanan berbahasa Turki. Dalam laporannya, media itu mengatakan kritik Turki terhadap China tidak berdasar.

"Di dalamnya, Heyit terliha mengatakan dia dalam proses penyelidikan karena diduga melanggar hukum nasional," tulis media itu dalam keterangan video di akun Twitter-nya, @CRI_Turkish.

Kementerian Luar Negeri Turki mengatakan bahwa warga Uighur yang ditahan menjadi sasaran penyiksaan di kamp konsentrasi. "Laporan kematian Heyit semakin memperkuat reaksi publik Turki terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang serius di Xinjiang," kata juru bicara kementerian tersebut, Hami Aksoy.

"Diperkenalkannya kembali kamp-kamp konsentrasi di abad ke-21 dan kebijakan asimilasi sistematis pemerintah China terhadap Turki Uighur merupakan hal yang sangat memalukan bagi kemanusiaan," ujar Aksoy.

Dia meminta Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres untuk mengambil langkah-langkah efektif untuk mengakhiri tragedi kemanusiaan di sana.

Pemerintah China menggambarkan komentar diplomat Turki itu sebagai hal yang sama sekali tidak dapat diterima. 




Credit  sindonews.com



12 Warga Australia Dijebloskan ke Kamp Reedukasi Uighur di Cina


Upacara pembukaan kamp pusat reedukasi Uighur di kota Korla provinsi Xinjiang, Cina. {RFA]
Upacara pembukaan kamp pusat reedukasi Uighur di kota Korla provinsi Xinjiang, Cina. {RFA]

CB, Jakarta - Sebanyak 17 etnis Uighur penduduk tetap Australia ditangkap dan diduga kuat dijebloskan di kamp pusat reedukasi di provinsi Xinjiang, Cina.
Seperti dilansir South China Morning Post, Senin, 11 Februari 2019,
pengacara bagi etnis Uighur di Australia, Nurgul Sawut menjelaskan, 17 warga Australia itu terdiri dari 15 penduduk tetap Australia dan sepasang pemegang visa Australia. Informasi ini diperoleh berdasarkan wawancara dengan keluarga.

Mereka diduga ditahan saat berkunjung ke Cina untuk menemui keluarga mereka. Beberapa di antara mereka memiliki anak dan pasangan berkewarganegaraan Australia.

Sekalipun sulit untuk mendapat konfirmasi atas nasib 17 orang itu, namun Sawut menyakini satu orang saat ini dijebloskan ke penjara, empat orang dalam tahanan rumah, dan 12 orang lainnya dijebloskan ke kamp pusat reedukasi Uighur.
Sawut yang menjadi pengacara sekitar 3 ribu etnis Uighur meminta pemerintah Australia untuk segera membebaskan 17 warganya di Cina. Canberra juga diminta untuk melakukan penyelidikan.

Para peserta didik kamp pendidikan vokasi etnis Uighur di Kota Kashgar, Daerah Otonomi Xinjiang, Cina, berolahraga di lapangan voli pelataran asrama, Jumat 3 Januari 2019. Kamp pendidikan tersebut disoroti PBB dan dunia Barat karena dianggap sebagai pola deradikalisasi yang melanggar HAM, namun Cina menyangkal karena para peserta didik diajari berbagai keterampilan. ANTARA FOTO/M. Irfan Ilmie


Sebelumnya, menurut Sawut, pada tahun 2018 ada 9 warga Australia ditahan di Cina dan hanya satu orang yang dibebaskan dan kembali ke Australia.
"Anggota komunitas kami kecewa. Bahasa yang digunakan sangat mengerikan Pemerintah Australia pada dasarnya mengatakan kami tidak dapat melakukan apa-apa sekarang," kata Sawut.
"Mereka mengatakan 'Kami sedang berbicara dengan mitra kami Cina.' Apa arti sesungguhnya? Saat kami bertemu DFAT (Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Australia) Desember, saya mengatakan ' itu bukan jawaban yang cukup baik bagi kami. Sehubungan ada kedutaan Australia anda perlu melakukan lebih untuk menemukan orang-orang ini, menjelaskan kepada kami apakah mereka hidup atau mati," ujar Sawut.

Kementerian Luar Negeri Australia mengatakan pihaknya tidak mengetahui ada warga negara Australia ditahan di Cina dan menolak menanggapi kasus per kasus.
Pada Oktober lalu, Kementerian Luar Negeri Australia membenarkan 3 warganya telah ditahan di kamp pusat reedukasi di Xinjiang dan telah dibebaskan.
Cina saat ini menuai semakin banyak kritikan dari masyarakat internasional atas tindakan kerasnya terhadap hak asasi etnis Uighur. Sekitar satu juta Uighur diperkirakan berada dalam kamp pusat reedukasi di Xinjiang.
Menurut otoritas Beijing, pusat reedukasi itu sebagai kamp pendidikan vokasional Uighur dengan mengajarkan mereka  bahasa, budaya dan ketrampilan. Namun Uighur yang berhasil melarikan diri dari kamp mengungkapkan mereka di dipukuli dan dibelenggu selama di kamp.



Credit  tempo.co





Warga Uighur di AS Gelar Demonstrasi Atas Kebijakan Cina



Pemandangan kota tua Uighur.
Pemandangan kota tua Uighur.
Foto: Uttiek M Panji Astuti

Aksi protes itu menunjukkan solidaritas dengan orang-orang Uighur.




CB, NEW YORK -- Warga Turki dan Uighur yang tinggal di Amerika Serikat melakukan aksi protes di New York. Aksi ini diorganisasi oleh The Islamic Community National View (IGMG) pada Sabtu (9/2) waktu setempat.

Dilansir dari Anadolu Agency, Senin (11/2), aksi protes itu menunjukkan solidaritas dengan orang-orang Uighur. Berkumpul di depan gedung konsulat di Manhattan, kerumunan massa tersebut membawa bendera Turki dan Turkistan Timur lalu meneriakkan slogan-slogan seperti "Kebebasan untuk Turkestan Timur," "Berhenti membunuh orang Uighur".


Kepala IGMG di AS, Ayhan Ozmekik mengatakan kepada orang banyak bahwa mereka bertemu untuk mengutuk penindasan pemerintah Cina kepada umat Islam Uighur. Dia juga menyebutkan tentang kematian penyair dan musisi Uighur Abdurehim Heyit, yang ditangkap secara tidak adil dan mati syahid di penjara.


"Kami mengutuk insiden keji ini, yang merupakan refleksi pahit dari kebijakan asimilasi dan penganiayaan Cina di Turkistan Timur," kata Ozmekik.


Organisasi nirlaba itu juga meminta para pemimpin di seluruh dunia untuk tidak tinggal diam dalam masalah ini. Ketua Kongres Uighur Dunia Dolkun Isa, yang berada di New York untuk menghadiri konferensi HAM, mengatakan kepada Anadolu Agency bahwa pelanggaran HAM di Turkistan Timur telah berlanjut selama bertahun-tahun.


Isa menyerukan PBB, AS, Turki dan negara-negara lain untuk menekan otoritas Cina agar mengakhiri penganiayaannya terhadap minoritas Muslim Turki di daerah otonomi Uighur Xinjiang.




Credit  republika.co.id





Jumat, 08 Februari 2019

PBB Didesak Investigasi Penahanan Massal Muslim Uighur di Cina


Umat Islam yang tergabung dalam Solidaritas Ormas Islam kota Surabaya melakukan aksi bela muslim Uighur di depan Konsulat Jenderal Cina di Surabaya, Jawa Timur, Jumat 28 Desember 2018. Dalam kesempatan tersebut mereka menolak intimidasi kekerasan umat Islam yang ada di Uighur. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
Umat Islam yang tergabung dalam Solidaritas Ormas Islam kota Surabaya melakukan aksi bela muslim Uighur di depan Konsulat Jenderal Cina di Surabaya, Jawa Timur, Jumat 28 Desember 2018. Dalam kesempatan tersebut mereka menolak intimidasi kekerasan umat Islam yang ada di Uighur. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

CB, Jakarta - Sejumlah kelompok HAM menyerukan agar PBB melakukan investigasi ke sebuah kawasan penahanan massal penduduk Uighur di wilayah barat Xinjiang, Cina. Seruan itu untuk merespon derasnya dugaan adanya penyiksaan terhadap pemeluk Islam di wilayah itu.
"Derasnya tuduhan penyiksaan yang terjadi di Xinjiang tidak bisa dikompromikan. Tuntutan integritas Dewan HAM PBB bahwa negara-negara di dunia tidak mengizinkan Cina menyembunyikan keanggotaan atay ekonominya yang bisa membuat Beijing menghindar dari pertanggung jawabannya," kata Kenneth Roth, Direktur Eksekutif Human Rights Watch atau HRW.

Dikutip dari nytimes.com, Kamis, 7 Februari 2019, kelompok-kelompok HAM di dunia mendesak agar dibuat sebuah misi pencari fakta. Permintaan ini diharapkan bisa menjadi pembahasan dalam sebuah sesi pertemuan Dewan HAM PBB pada akhir Februari nanti.

Hasil investigasi yang dilakukan oleh akademisi dan wartawan dalam beberapa tahun terakhir menemukan adanya sebuah kampanye yang menghilangkan sekitar satu juta orang, yang sebagian besar penduduk Muslim Uighur. Mereka dimasukkan dalam kamp-kamp penahanan di penjuru Xinjiang dengan alasan untuk di 'edukasi' ulang.

Otoritas Cina juga dituding telah melakukan sebuah penumpasan terahadap pemeluk Islam yang melakukan praktik agama dan tradisi dalam Islam. Pemerintah daerah diduga telah melarang jenggot hingga pemberian nama berbau agama pada anak.

"Ini adalah sebuah upaya untuk mengubah agama dan identitas etnik dari sebuah kelompok minoritas yang penting. Ini membutuhkan sebuah respon internasional," kata Roth.
Kumi Naidoo, Sekjen Lembaga Amnesty Internasional mengatakan Xinjiang telah menjadi sebuah penjara terbuka, sebuah tempat dimana teknologi mata-mata dikerahkan, indoktrinasi politik, asimilasi budaya paksa, penangkapan dan penghilangan sewenang-wenang telah mengubah etnis minoritas menjadi orang asing di tanah kelahiran mereka sendiri.
Dikonfirmasi mengenai tuduhan penyiksaan terhadap Muslim Uighur ini, perwakilan Cina di PBB belum bisa dihubungi. Banyak kantor-kantor pemerintah Cina masih libur Imlek. 







Credit tempo.co








Sabtu, 12 Januari 2019

Perempuan Uighur Kaget Foto Kamp Beda Dengan Kenyataan



Mantan Penghuni Kamp Uighur Gulbachar Jalilova (kiri) memberikan paparan saat kunjungan di Kantor Republika, Jakarta, Jumat (11/1).

 

 

CB, JAKARTA - Mantan peserta kamp di Provinsi Xianjang, Cina Gulbachar Jalilova (54 tahun) mengaku terkejut melihat perbedaan foto yang diambil pekan lalu oleh jurnalis dari beberapa media internasional ke kamp yang diduga muslim Uighur disiksa di sana. Jalilova menggambarkan kondisi sebenarnya penuh dengan penyiksaan.

Ruangan dengan ukuran 7x3x6 yang tanpa jendela menjadi tempat sehari-harinya selama 16 bulan dia ditempatkan di kamp Uighur. "Kami ditahan di kamar pengap dan gelap.kadang-kadang mereka mengikat logam seberat 5 kilogram di kaki kami sebagai cara hukuman. dur tidur kami bergantian, hanya empat jam semalam," ujar Jalilova saat kunjungannya ke Republika pada Jumat (11/1).

Jelilova berasal dari Kazakhstan. Dia menghabiskan dua dekade terakhir berbisnis di perbatasan Cina-Kazahstan. Pada Mei 2017, dia tiba-tiba ditangkap di kota Urumqi, Cina dengan tuduhan mentransfer dana secara ilegal sebesar 17 ribu yuan (3500 dolar AS) dari Cina dan Turki.

"Ketika saya berada di kamp, saya memberi tahu mereka bahwa saya adalah orang asing dan bahwa saya tidak melakukan kesalahan," katanya. 

Setelah ditangkap dan ditempatkan di kamp, dia tersiksa dan terpisah dari anaknya. Setiap pekan anaknya hanya bisa mengirim surat kepadanya.
"Kami diberitahu bahwa kami tidak memiliki hak di sana. Kami tidak memiliki hak untuk melakukan panggilan telepon, kami seperti orang mati," ceritanya.

Kehidupan sehari-hari hanya dalam ruangan pengap. Dalam hal minum sebagai energi pertahanan tubuh pun dibatasi oleh Cina di kamp itu. Ketika mereka menggunakan air dalam tubuh mereka, mereka disangka berwudhu kemudian disiksa.

Pendidikan vokasi yang diakui Cina, menurut Jalilova berbentuk pengajaran ajaran-ajaran komunis, baik itu dari lagu-lagu komunis Cina dan undang-undang komunis. Semua wajib dihapal, wajib dipelajari bahkan dijadikan ujian.

"Dalam satu kamar pengap terdiri dari 40-50 orang. Jadi jika waktu tidur, kami bergantian sehingga waktu tidur kami hanya ada empat jam," ujarnya.

Pernyataan Gulbachar Jalilova ini bertentangan dengan klaim Pemerintah Cina, namun sesuai dengan kelompok advokasi masyarakat Uighur dan hak asasi manusia lainnya. 

Jalilova mengaku selama berada di dalam kamp dirinya kerap dipukuli dan ketika pertama kali masuk dia memiliki berat 76 kilogram tetapi dalam sebulan ia kehilangan berat badan lebih dari 20 kilogram. "Ini foto saya sekitar tahun 2017," Jelilova menunjukkan foto sebelum berada di Kamp.

"Tujuan akhir dari kamp-kamp konsentrasi itu adalah untuk menghilangkan orang-orang Uighur, kaum Muslim," katanya.

Jelilova mengatakan, dia dikeluarkan dari kamp setelah upaya lobi yang berkelanjutan oleh keluarganya dan pemerintah KAzhastan. "Saya dibebaskan dari kamp konsentrasi tiga bulan lalu, tetapi setiap hari situasi di kamp konsentrasi masih terbayang-bayang di pelupuk mata saya," ujarnya.

"Tangisan rakyat Uighur masih terngiang di telinga saya," ungkapnya.

Berdasarkan data yang dirilis perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) diperkirakan lebih dari 1 juta etnis minoritas Muslim Uighur telah ditahan tanpa persetujuan mereka di pusat penahanan tidak resmi di Xinjiang. Pemerintah Cina mengatakan kamp-kamp tersebut adalah pusat pelatihan kejuruan yang menyediakan pelatihan bahasa dan pendidikan ulang bagi para ekstremis.


 
Credit REPUBLIKA.CO.ID
 

 https://m.republika.co.id/amp_version/pl6356385

 

Cemas Persekusi Uighur, Perusahaan AS Setop Beli Bahan China

Ilustrasi etnis Uighur di Xinjiang, China. (REUTERS/Thomas Peter)

Jakarta, CB -- Sebuah perusahaan pakaian olahraga Amerika Serikat, Badger Sportswear, berhenti membeli bahan dari China. Mereka khawatir produknya dibuat oleh etnis Uighur yang mengalami kerja paksa di kamp-kamp tahanan di Wilayah Otonomi Xinjiang.

Badger Sportswear mengatakan tak akan membeli produk dari pemasok Hetian Taida yang berbasis di wilayah tempat penampungan etnis minoritas Uighur tersebut. Mereka juga menekankan tidak akan mengambil bahan-bahan produksi apapun dari wilayah Xinjiang.

Menanggapi hal tersebut juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Lu Kang, enggan berkomentar. Namun, ia mengaku menyayangkan keputusan perusahaan tersebut sama saja memutuskan hubungan dagang dengan China.

"China telah menghapus pendidikan ulang melalui sistem tenaga kerja. Keterampilan kejuruan dan pelatihan pendidikan Xinjiang benar-benar berbeda dengan kerja paksa yang dituding beberapa pihak," kata Lu Kang, seperti dikutip CNN pada Jumat (11/1).

Badger Sportswear yang bermarkas di North Carolina itu mulai curiga dengan pemasok bahan-bahan mereka, setelah Hetian Taidi muncul dalam laporan berita stasiun televisi China mengenai kerja paksa etnis Uighur di kamp Xinjiang.

Dalam liputan berita tersebut, sebuah rekaman kamera pengawas menunjukkan para pekerja yang merupakan etnis minoritas muslim Uighur, sedang mengoperasikan mesin jahit di dalam gudang.

Ketika diwawancara, sejumlah etnis Uighur itu mengutarakan rasa terima kasih atas kesempatan yang diberikan oleh kamp penampungan dan pemerintah rezim komunis China.

Meski demikian, mantan tahanan kamp Uighur lainnya mempunyai pendapat berbeda. Mereka mengeluh karena telah dipisahkan dengan keluarga, ditahan tanpa batas waktu dan dicuci otak dengan propaganda Partai Komunis.

Menurut laporan dari sejumlah kelompok hak asasi manusia dan mantan tahanan di Xinjiang, pemerintah China dituding melakukan pelanggaran hak asasi manusia terhadap etnis Uighur dengan memaksa mereka masuk ke kamp khusus.

Berdasarkan kesaksian sejumlah warga Xinjiang, otoritas China terus melakukan penahanan massal sewenang-wenang terhadap Uighur dan minoritas muslim lain di Xinjiang sejak 2014 lalu.

Laporan-laporan mengenai kamp penampungan Xinjiang awalnya disangkal oleh China. Namun, kini pemerintah menyatakan mereka melakukan itu dengan dalih keamanan nasional dan merawat kerukunan etnis.

Menanggapi hal ini sejumlah negara-negara dengan mayoritas warga beragama Islam di dunia, termasuk Indonesia mengecam dan turut prihatin.


Pada Desember lalu, setidaknya seribu orang yang mengaku tergabung dalam Dewan Pengurus Pusat Persaudaraan Alumni 212 menggelar aksi protes terkait perkara Uighur di depan Duta Besar China di Jakarta. 

Credit CNN Indonesia

https://m.cnnindonesia.com/internasional/20190111195222-113-360287/cemas-persekusi-uighur-perusahaan-as-setop-beli-bahan-china


Jumat, 11 Januari 2019

China Izinkan Lebih dari 2.000 Warga Etnis Kazakh Tinggalkan Xinjiang

Foto: Reuters.

ASTANA – Kementerian Luar Negeri Kazakhstan mengatakan bahwa China telah mengizinkan lebih dari 2.000 warga etnis Kazakh untuk meninggalkan melepaskan kewarganegaraan China mereka dan meninggalkan Negeri Tirai Bambu. Langkah itu diduga merupakan pertanda bahwa Beijing mulai merasakan dampak dari kecaman yang semakin keras terhadap tindakan keras mereka terhadap warga Muslim di Xinjiang.

Penahanan warga Uighur, Kazakh dan etnis minoritas lainnya di kamp-kamp interniran di Xinjiang yang dilakukan oleh Pemerintah China telah menjadi masalah di negara tetangganya, Kazakhstan. China merupakan mitra dagang penting bagi negara berpenduduk 18 juta jiwa itu, namun tekanan dari aktivis agar Astana mengambil tindakan mengenai masalah ini semakin menguat seiring dengan makin luasnya pemberitaan internasional.


Menurut keterangan Kementerian Luar Negeri Kazakhstan yang diwartakan Al Jazeera, Kamis (10/1/2019), para warga etnis Kazakh yang akan datang ke negara itu akan diizinkan mengajukan permohonan kewarganegaraan atau menjadi penduduk tetap saat mereka tiba.

Sampai berita ini diturunkan, belum ada respons dari kementerian luar negeri China mengenai laporan tersebut.


Penahanan yang dilakukan otoritas China di Xinjiang telah menimbulkan kekhawatiran mendalam di kalangan warga etnis Kazakh kelahiran China di Kazakhstan. Banyak di antara mereka yang meninggalkan China untuk mengejar peluang bisnis atau menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah Kazakh menyusul pengetatan aturan di Xinjiang.

Ratusan warga etnis Kazakh itu kehilangan kontak dengan kerabat mereka di Xinjiang, dan banyak yang mulai menulis surat dan menghadiri konferensi media, berharap publisitas yang lebih besar akan membantu membawa orang yang mereka cintai pulang.

Credit Okezone.com



https://news.okezone.com/read/2019/01/10/18/2002416/china-izinkan-lebih-dari-2-000-warga-etnis-kazakh-tinggalkan-xinjiang





Jumat, 04 Januari 2019

Pemerintah Xinjiang abadikan bukti serangan 1992-2015


Pemerintah Xinjiang abadikan bukti serangan 1992-2015
Pengunjung mengamati berbagai jenis senjata api dan senjata tajam yang disita petugas dari serangkaian pelaku aksi di Xinjiang selama periode 1996-2015 yang dipajang di Gedung Pameran Kasus-Kasus Utama Serangan Terorisme Dengan Kekerasan Xinjiang di Urumqi, China, Kamis (3/1). Ruang pameran tersebut baru beroperasi pada Desember 2018. (M. Irfan Ilmie)

"Kalau ada kelompok masyarakat atau komunitas tertentu, termasuk organisasi HAM di seluruh dunia, tentu dengan senang hati kami terima kunjungannya"


Urumqi, Xinjiang (CB) - Pemerintah Daerah Otonomi Xinjiang mengabadikan berbagai barang bukti serangkaian serangan dan bentrokan dengan kekerasan di wilayah barat China tersebut selama kurun waktu 1992-2015.

Barang-barang bukti berupa foto para korban, rekaman kamera pemantau (CCTV), senjata api, senjata tajam, senjata rakitan, dan bom rakitan disimpan dan dipajang di gedung Pameran Kasus Utama Serangan Terorisme Dengan Kekerasan Xinjiang di Urumqi.

"Ruang pameran itu kami bangun sejak 2014 dan baru beroperasi bulan Desember lalu," kata Deputi Direktur Jenderal Publikasi Partai Komunis China Komite Regional Xinjiang, Shi Lei, kepada Antara di Urumqi, Kamis (3/1).

Namun menurut dia, gedung tersebut tidak dibuka untuk umum untuk menghindari pengaruh negatif terhadap warga daerahnya, terutama yang masih berusia anak-anak dan usia produktif lainnya.

"Kalau ada kelompok masyarakat atau komunitas tertentu, termasuk organisasi HAM di seluruh dunia, tentu dengan senang hati kami terima kunjungannya," ujarnya.

Dengan beroperasinya ruang pamer di Ibu Kota Daerah Otonomi Xinjiang itu, dia berharap polemik mengenai isu mengenai Uighur yang menjadi konsumsi publik internasional bisa terjawab.

Di gedung tersebut tersimpan foto-foto dan cuplikan video serangan atau aksi dengan kekerasan yang tidak hanya terjadi di Xinjiang, melainkan di daerah lainnya di Tiongkok, seperti Kunming (Provinsi Yunnan) dan percobaan bom bunuh diri di Beijing.

Foto-foto korban dipasang di seputar dinding ruang pamer berukuran besar tersebut dengan beberapa bagian diburamkan.

Demikian halnya dengan cuplikan video serangan dengan kekerasan di berbagai tempat, seperti kantor polisi, kantor pemerintahan, jalanan umum, pasar, masjid, dan tempat konsentrasi masyarakat lainnya juga ditayangkan di beberapa sudut ruang pameran.

Menariknya lagi, ratusan pucuk senjata tajam dan senjata api serta ratusan jenis bom rakitan yang disita petugas dari para pelaku aksi juga dipajang di ruang pameran tersebut.

Berdasarkan foto dan video kasus serangan dan bentrokan di berbagai wilayah di Xinjiang, beberapa korban juga dari kalangan etnis Muslim Uighur yang mendiami sebagian besar daerah otonomi berbatasan dengan Mongolia, Rusia, Kazakhstan, Tajikistan, Kirgizstan, dan Pakistan itu.

"Tadi sudah Anda lihat sendiri ada imam masjid beserta keluarganya dan juga beberapa petugas kepolisian turut menjadi korban dalam serangkaian serangan terorisme di Xinjiang," kata Shi.

Oleh sebab itu, lanjut dia, kasus di Xinjiang yang sudah berlangsung selama 23 tahun tersebut tidak bisa dikaitkan dengan agama atau kelompok etnis tertentu.

Maka dari itu pula, penindakan yang dilakukan oleh pemerintah setempat juga tidak memandang suku, agama, dan ras tertentu, tambahnya.

"Semua bentuk tindakan terorisme adalah kejahatan karena memang terorisme dan radikalisme di Xinjiang tidak memilih sasaran dari etnis dan agama tertentu," ujarnya.

Sebelumnya Perserikatan Bangsa-Bangsa dan sejumlah negara Barat menyoroti pola penindakan pemerintah Xinjiang terhadap etnis Uighur karena dianggap melanggar Hak Asasi Manusia, terutama pascakabar keberadaan "kamp pendidikan kembali" di wilayah itu dan penolakan akses terhadap Komisioner Kebijakan HAM Jerman, Barbel Kofler pada awal Desember 2018.

Pemerintah China menyangkal seluruh laporan terjadinya pelanggaran HAM di wilayah itu .





Credit  antaranews.com





Sabtu, 29 Desember 2018

Dubes China Klaim Xinjiang Terbuka Bagi Turis


Dubes China, Xiao Qian mengklaim Wilayah Otonomi Uighur Xinjiang terbuka bagi pelancong. Namun, seorang juru foto kawakan, Lu Guang, ditangkap tanpa alasan jelas saat berkunjung ke sana. (CNN Indonesia/Riva Dessthania Suastha)

Jakarta, CB -- Duta Besar China untuk Indonesia Xiao Qian mengklaim Wilayah Otonomi Uighur Xinjiang selama ini terbuka bagi para wisatawan. Di daerah itu dikabarkan rezim komunis menindas etnis minoritas Uighurdengan memasukkan mereka ke kamp khusus, guna dijejali propaganda ideologi komunis.

Xiao mengklaim sekitar 100 juta wisatawan mengunjungi Provinsi Xinjiang tahun lalu. Dia membantah kabar yang menyebut pemerintah Negeri Tirai Bambu membatasi akses warga asing ke wilayah otonomi khusus itu.

"Pada tahun lalu, ada 100 juta turis mengunjungi provinsi Xinjiang. Mereka termasuk wisatawan domestik dan mancanegara. Jadi siapa saja bisa ke sana, tidak ada persoalan soal pembatasan akses," kata Xiao dalam jumpa pers bersama pemimpin Pengurus Pusat Muhammadiyah di Jakarta, pada Jumat (28/12).

Kabar pembatasan akses menuju Xinjiang muncul seiring dengan isu dugaan persekusi oleh otoritas China terhadap etnis minoritas Uighur, kembali mencuat dalam beberapa bulan terakhir.

Bahkan juru foto kawakan China, Lu Guang ditangkap oleh aparat ketika berkunjung ke kota Kashgar, Xinjiang. Belum jelas alasan penahanan lelaki yang bermukim di New York, Amerika Serikat itu.

Pada September lalu, laporan kelompok pemerhati hak asasi manusia, Amnesty International mengungkapkan otoritas China telah menahan sekitar 1 juta etnis minoritas tersebut dalam penampungan layaknya kamp konsentrasi.

Di sana, para tahanan dilaporkan didoktrin supaya mengamalkan ideologi komunis. Berdasarkan kesaksian sejumlah warga Xinjiang, otoritas China telah melakukan penahanan secara sewenang-wenang tersebut sejak 2014 silam.

Tak hanya itu, otoritas China juga disebut membatasi hak-hak masyarakat Xinjiang termasuk etnis Uighur untuk beribadah. Pemerintah disebut memberlakukan kebijakan khusus yang cukup ketat bagi masyarakat Xinjiang.

Otoritas lokal bahkan disebut melarang masyarakat Xinjiang untuk melakukan aktivitas keagamaan bersama di ruang publik termasuk sekolah.

Pada 2014, China dilaporkan melarang murid sekolah dan mahasiswa di Xinjiang untuk berpuasa. Para pengajar dan guru sekolah-sekolah di wilayah itu juga dilarang berpartisipasi dan mewartakan pemikiran agama ketika mengajar.

Karena aturan khusus ini, pemerintah China disebut mengontrol ketat orang-orang, terutama turis, yang ingin mengunjungi Xinjiang.

Xiao mengklaim kebebasan beragama dan hak melakukan ibadah dilindungi hukum dan undang-undang dasar China.

"Saya ingin masyarakat Indonesia tahu bahwa kebebasan beragama dan menjalankan kegiatan agama itu dilindungi dalam konstitusi dan hukum China. Jadi, tidak ada yang namanya membatasi kebebasan beragama," kata Xiao. 

Credit CNN Indonesia


https://m.cnnindonesia.com/internasional/20181228183019-106-357133/dubes-china-klaim-xinjiang-terbuka-bagi-turis