Tampilkan postingan dengan label SWISS. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SWISS. Tampilkan semua postingan

Selasa, 23 April 2019

Konsulat Turki di Swiss diserang dengan menggunakan bom molotov


Konsulat Turki di Swiss diserang dengan menggunakan bom molotov
Konsulat Turki di Kota Zurich di Swiss diserang dengan menggunakan bom Molotov pada Senin dini hari, kata konsul Turki di sana. ANTARA FOTO/REUTERS/Adnan Abidi
/pras.




Jenewa, Swiss (CB) - Konsulat Turki di Kota Zurich di Swiss diserang dengan menggunakan bom Molotov pada Senin dini hari, kata konsul Turki di sana.

Asiye Nurcan Ipekci mengatakan kepada wartawan Kantor Berita Turki, Anadolu --yang dipantau Antara di Jakarta, Selasa pagi, serangan itu terjadi pada pukul 02.51 waktu setempat (07.52 WIB), tapi tak seorang pun cedera dan gedung tersebut tidak mengalami kerusakan.

Wanita pejabat itu menambahkan sebelumnya ada serangan terhadap Konsulat tersebut, tapi serangan yang paling akhir tidak diklaim oleh kelompok manapun.

Polisi menangkap tiga pemuda sehubungan dengan serangan itu, katanya. Tapi ia tidak memberi perincian lebih lanjut.

Selama dua-setengah tahun belakangan ini, Konsulat Turki telah mengalami enam serangan.

Pada Mei 2017, orang yang mengenakan penutup muka mengotori gedung Konsulat dengan menggunakan cat dan menuliskan kata-kata "Bunuh Erdogan" di satu perhentian bus dan satu bangunan.

Pada Januari 2018, satu mobil pejabat di Konsulat itu menjadi sasaran pembakaran.




Credit  antaranews.com




Rabu, 06 Februari 2019

Indonesia dan Swiss Teken MLA, Aset Hasil Kejahatan Bisa Dirampas



Indonesia dan Swiss Teken MLA, Aset Hasil Kejahatan Bisa Dirampas
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna Hamonangan Laoly menekan MLA dengan pihak Konfederasi Swiss. Foto/Istimewa

JAKARTA - Pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Konfederasi Swiss menadatangani Mutual Legal Assistance (MLA) atau Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana. Perjanjian berisi 39 pasal, yang antara lain mengatur bantuan hukum tentang pelacakan, pembekuan, penyitaan hingga perampasan aset hasil tindak kejahatan.

MLA diteken Bernerhof Bern, Senin (4/2/2019). Penandatangan dari pihak Indonesia dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna Hamonangan Laoly.

"Perjanjian MLA RI-Swiss merupakan capaian kerja sama bantuan timbal balik pidana yang luar biasa, dan menjadi sejarah keberhasilan diplomasi yang sangat penting, mengingat Swiss merupakan financial center terbesar di Eropa,” kata Yasonna dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Selasa (5/2/2019).

Bagi Indonesia, perjanjian ini merupakan MLA yang ke-10. Sebelumnya, Indonesia meneken MLA dengan ASEAN, Australia, Hong Kong, China, Korea Selatan, India, Vietnam, Uni Emirat Arab, dan Iran. Sedangkan bagi Swiss, perjanjian ini merupakan MLA ke-14 dengan negara-negara non-Eropa.

"Perjanjian ini merupakan salah satu upaya pemerintah Indonesia untuk memastikan warga negara atau badan hukum Indonesia mematuhi peraturan perpajakan dan tidak melakukan kejahatan penggelapan pajak atau kejahatan perpajakan lainnya,” kata Yasonna.

Cakupan perjanjian tersebut luas. Perjanjian dengan Swiss ini untuk mendukung proses hukum pidana di negara peminta.

MLA antara Indonesia dan Swiss dirintis melalui berbagai diplomasi, termasuk perundingan dua kali putaran yang dipimpin Direktur Otoritas Pusat dan Hukum Internasional Cahyo Rahadian Muzhar yang saat ini menjabat sebagai Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU). 

Perundingan putaran pertama dilakukan di Bali pada tahun 2015. Sedangkan putaran kedua berlangsung tahun 2017 di Bern, Swiss. Perundingan kedua digelar untuk merampungkan pembahasan pasal-pasal yang belum disepakati pada perundingan pertama.

Yasonna berharap Dewan Perwkilan Rakyat (DPR) mendukung penuh MLA yang telah diteken tersebut dengan cara segera meratifikasi. Dukungan parlemen akan bisa bermanfaat bagi para penegak hukum, dan instansi terkait lainnya untuk menjalankan ketentuan dalam perjanjian tersebut. 




Credit  sindonews.com



Senin, 04 Februari 2019

Sanksi AS Terhadap Venezuela Picu Aksi Protes di Jenewa


Sanksi AS Terhadap Venezuela Picu Aksi Protes di Jenewa
Sekitar 100 demonstran berkumpul di depan gedung PBB di Jenewa di sekitar monumen Broken Chair memprotes sanksi AS atas Venezuela. Foto/Istimewa

 

JENEWA - Keputusan Amerika Serikat (AS) untuk menjatuhkan sanksi kepada Venezuela dan mengakui tokoh oposisi Juan Guaido sebagai presiden sementara memicu aksi protes di Jenewa, Swiss.

Sekitar 100 demonstran berkumpul di depan gedung PBB di Jenewa di sekitar monumen “Broken Chair” setinggi 39 kaki yang melambangkan perlawanan terhadap kekerasan terhadap warga sipil yang tidak bersenjata. Anggota Partai Sosial Demokrat Swiss serta organisasi non-pemerintah dari berbagai negara Amerika Latin berpartisipasi dalam protes tersebut.

Sementara itu utusan Venezuela untuk PBB Jorge Valero mengecam sanksi AS terhadap Venezuela. Ia pun berterima kasih kepada negara-negara yang telah menyatakan dukungannya kepada Presiden Nicolas Maduro seperti dikutip dari Anadolu, Minggu (3/2/2019).

Presiden Majelis Nasional Juan Guaido menyerukan aksi protes baru pada hari Sabtu untuk menuntut Maduro menyerahkan kekuasaan seminggu setelah aksi protes massa yang sporadis. Aksi demonstrasi terakhir berlangsung pada hari Rabu.

AS, Kanada, dan sebagian besar negara Amerika Latin telah mengakui Guaido sebagai pemimpin sah Venezuela, tetapi sejauh ini Maduro menolak seruan untuk mundur.

Sebaliknya, Maduro menuduh AS telah mengatur kudeta terhadap pemerintahnya. Meski begitu, suksesor mendiang Hugo Chavez ini mengatakan terbuka untuk berdialog dengan oposisi, tetapi bukan untuk menggelar pemilu nasional yang baru.

Rusia dan China sama-sama menentang seruan AS untuk mendukung Guaido, dan mengutuk setiap campur tangan internasional dalam urusan Venezuela. Turki dan Iran juga menaruh perhatian pada Maduro.

AS telah memimpin kampanye internasional untuk menerapkan tekanan ekonomi dan diplomatik pada Maduro, termasuk memberikan sanksi pada perusahaan minyak milik negara dan usaha patungan dengan mitra Nikaragua. 




Credit  sindonews.com


Jumat, 25 Januari 2019

Sebagai Ketua G20, Shinzo Abe Janjikan ini di Forum Ekonomi Davos


Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe menghadiri pertemuan tahunan World Economic Forum (WEF) di Davos, Swiss, 23 Januari 2019. [REUTERS / Arnd Wiegmann]
Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe menghadiri pertemuan tahunan World Economic Forum (WEF) di Davos, Swiss, 23 Januari 2019. [REUTERS / Arnd Wiegmann]

CB, Jakarta - Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mengatakan ia akan berusaha untuk menggunakan kepemimpinannya di G20 untuk membangun kembali kepercayaan pada sistem perdagangan global dan mendorong konsensus tentang cara-cara untuk mengatasi perubahan iklim.
Pidatonya pada World Economic Forum di Pegunungan Alpen Swiss yang menyinggung sengketa perdagangan Cina-AS yang pahit adalah salah satu dari beberapa faktor yang mengancam pelambatan tajam dalam pertumbuhan global.

"Jepang bertekad untuk melestarikan dan berkomitmen untuk meningkatkan tatanan internasional yang bebas, terbuka, dan berdasarkan aturan," katanya kepada para delegasi G20, seperti dikutip dari Reuters, 24 Januari 2019.
Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe menghadiri pertemuan tahunan World Economic Forum (WEF) di Davos, Swiss, 23 Januari 2019. [REUTERS / Arnd Wiegmann]



"Saya meminta Anda semua...untuk membangun kembali kepercayaan terhadap sistem perdagangan internasional. Itu harus menjadi sistem yang adil, transparan, dan efektif dalam melindungi hak kekayaan intelektual dan juga di bidang-bidang seperti e-commerce dan pengadaan pemerintah," lanjut Abe.

Abe mengatakan Jepang berharap dapat bekerja sama dengan Amerika Serikat dan Eropa untuk mereformasi aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sehingga mereka mengadopsi lingkungan yang berubah dengan cepat untuk perdagangan global."Kita harus menjadikan WTO kehadiran yang lebih kredibel. Kita harus melakukan reformasi agar lebih kredibel. Jepang ingin memainkan peran utama dalam reformasi WTO," lanjut Shinzo Abe kepada delegasi G20 yang hadir di forum ekonomi Davos.




Credit  tempo.co





5 Hal Penting Mengenai Forum Ekonomi Dunia di Davos Swiss


Forum Ekonomi Dunia atau World Economic Forum kembali digelar dari 22 -- 25 Januari 2019 di Davos, Swiss. moneycontrol
Forum Ekonomi Dunia atau World Economic Forum kembali digelar dari 22 -- 25 Januari 2019 di Davos, Swiss. moneycontrol

CBDavos – Forum Ekonomi Dunia atau Forum Davos, Swiss, kembali digelar dan berlangsung pada 22 – 25 Januari 2019. Forum tahunan ini mengusung tema “Globalisasi 4.0: Shaping a New Architecture in the Age of the Fourth Industrial Revolution".


Tema ini menjadi penting karena adanya temuan dari lembaga bantuan kemanusiaan Oxfam bahwa jurang antara masyarakat kaya dan miskin di dunia melebar. Namun, angka kemiskinan ekstrim dunia selama 30 tahun ini telah menurun. Salah satu agenda yang dibahas untuk menangani ketimpangan ini adalah kapitalisme inklusif.


Berikut ini beberapa poin menarik mengenai WEF sepeti dilansir media The Local dari Swiss:
1. Berdiri 1971
Forum Ekonomi Dunia dibentuk pada 1971 di Jenewa oleh pengusaha berorientasi sosial atau entrepreneur social Klaus Schwab. Forum ini bersifat independen dan nirlaba dengan tujuan mengumpulkan para pemimpin politik dan bisnis agar mereka berkolaborasi mencari solusi mengatasi tantangan global.
Menurut laporan tahunan 2017 – 2018, WEF memperoleh pendapatan sekitar 288 juta euro dan digunakan untuk mendukung pengembangan ekonomi digital, edukasi, layanan kesehatan, teknologi informasi, mobilitas, lingkungan hidup, dan energi.

2. Jaringan Global
Ini merupakan pertemuan WEF ke 49. Pertemuan ini dianggap sebagai kekuatan kreatif terdepan untuk mengajak para pemimpin dunia melakukan aktivitas kolaboratif dalam membentuk agenda global, regional dan industri setiap awal tahun.
Sekitar 3000 peserta hadir dari sektor ekonomi, pemerintahan, lembagan donor internasional, akademisi, seni, budaya dan media. Sekitar 22 partisipan merupakan perempuan dan ini naik 1 persen dari 2018.
3. Bintang Acara
Presiden Brasil, Jair Bolsonaro, menjadi bintang acara pada tahun ini setelah terpilih sebagai Presiden baru-baru ini. Bolsonaro berpidato mengenai “Brasil Baru”, yang ditandai dengan reformasi ekonomi total untuk membuat ekonomi negara itu terbuka bagi investor dalam menumbuhkan lapangan kerja, meningkatkan produktivitas barang dan jasa, serta mengembangkan teknologi.
Pada saat yang sama, isu penebangan hutan Amazon bakal menjadi sorotan para peserta. Ini karena semakin banyak hutan ditebang bakal semakin mengubah iklim dunia menjadi buruk.

4. Tokoh yang Tidak Hadir
Sejumlah tokoh dunia bakal melewatkan acara penting ini karena sedang menghadapi masalah domestik di negaranya masing-masing. Ini seperti Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang sedang berkonflik dengan Kongres dan menutup sebagian pemerintahannya.
Lalu, Perdana Menteri Theresa May, yang juga sedang mengurus isu Brexit atau pemisahan Inggris dari Uni Eropa. Isu ini menjadi kontroversial dengan pro dan kontra hingga saat ini.
Dan, ada Presiden Prancis, Emmanuel Macron, juga tidak hadir karena menghadapi masalah domestik mengenai isu kenaikan harga BBM, yang telah memicu unjuk rasa besar-besaran selama dua bulan terakhir.
5. Kritik
Direktur Eksekutif Internasional Greenpeace, yang merupakan lembaga pemerhati lingkungan global, mendesak isu perubahan iklim menjadi isu utama untuk dibahas para tokoh dunia dari berbagai negara.
“Namun, isu ini hanya menjadi satu dari banyak isu yang dibahas. Elit Davos masih berpura-pura kita semua memiliki waktu untuk memperbaiki krisis iklim. Kita tidak punyak waktu lagi,” kata dia mengenai Davos.





Credit  tempo.co




Minggu, 30 Desember 2018

Referendum dan Larangan Menara Masjid di Swiss

Masjid Mahmud di Swiss.

CB, JAKARTA -- Masalah menara masjid menjadi isu hangat di Swiss. Penyebabnya tak lain adalah hasil referendum untuk menentukan apakah perlu pelarangan pembangunan menara masjid atau tidak.

Referendum ini merupakan usulan dari Partai Rakyat Swiss (SVP), partai terbesar di negara tersebut. Partai sayap kanan ini menilai menara merupakan simbol Islam militan. Hasil referendum yang diselenggarakan Ahad, 29 Septemer 2009 ini menunjukkan lebih dari 57,5 persen pemilih dari 2,67 juta warga yang memberikan suara mendukung pelarangan itu.

Sedangkan 42,5 persen lainnya menentang (atau menganggap biasa saja keberadaan menara masjid). Sementara sebanyak 22 dari 26 provinsi di Swiss memilih pelarangan pembangunan menara masjid.

Padahal, sebelumnya pelarangan menara ini ditolak oleh pemerintah, parlemen, dan semua partai politik besar di negara Eropa. Bahkan, Uskup Katolik Roma dan rabi Yahudi juga mendesak para pemilih untuk menolak larangan menara. Sedangkan Amnesti Internasional mengatakan pada hari Rabu (25/11) bahwa larangan seperti itu akan menjadi pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan pelanggaran hak-hak kesetaraan.

Penolakan terhadap simbol-simbol komunitas Muslim juga pernah terjadi pada 2007 silam. Saat itu dewan Kota Bern menolak rencana untuk membangun salah satu Islamic Center terbesar di Eropa. Bahkan, SVP dan the Federal Democratic Union mengumpulkan tanda tangan guna mendukung pelarangan pembangunan pusat kebudayaan Islam ini.

Dan komunitas Muslim di berbagai negara di dunia, termasuk dari Indonesia, mengecam pelarangan tersebut. Sebab, sebagai sebuah negara yang mengedepankan prinsip kebebasan dan demokratisasi, pelarangan tersebut menunjukkan sikap itu sebagai antikebebasan dan demokratisasi.


Credit REPUBLIKA.CO.ID


https://m.republika.co.id/berita/dunia-islam/dunia/18/12/28/pkfy97313-referendum-dan-larangan-menara-masjid-di-swiss





Rabu, 19 Desember 2018

Laporan: 113 wartawan tewas pada 2018


Laporan: 113 wartawan tewas pada 2018
Stop Killing Journalists. (rsf.org)



Jenewa, Swiss,  (CB) - Jumlah wartawan yang tewas sejak awal 2018 telah bertambah sebanyak 14 persen jadi 113 dibandingkan dengan tahun lalu, kata Press Emblem Campaign (PEC), yang berpusat di Jenewa, Swiss, Senin (17/12).

PEC mengatakan di dalam laporan tahunannya bahwa sejak awal tahun ini, 113 wartawan tewas di 30 negara --17 di Afghanistan, 17 di Meksiko dan 11 di Suriah.

Negara yang berbahaya setelah Afghanistan, Meksiko dan Suriah adalah Yaman dan India, masing-masing dengan delapan wartawan yang tewas, kata Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Selasa pagi. Kelima negara itu menjadi tempat tewasnya 61 wartawan, atau lebih separuh dari wartawan yang tewas.

Kelompok teror di Afghanistan dan kelompok kriminal di Meksiko adalah penyebab utama kematian wartawan, kata PEC.

Yang di peringkat keenam adalah Amerika Serikat, dengan enam wartawan tewas oleh seorang pria bersenjata di kantor harian Capital Gazette di Annapolis pada Juni. Pakistan mengikuti dengan lima wartawan.

Jumlah wartawati yang tewas meningkat tajam, dari lima pada 2016 jadi 16 pada 2017, kata laporan PEC. Tahun ini, tujuh wartawati terbunuh.

Penurunan tajam kematian wartawan terjadi di Irak --tempat sembilan wartawan tewas tahun lalu, tapi hanya satu pada tahun ini.

Sementara itu, peningkatan tajam terjadi di Afghanistan, tempat wartawan yang tewas jadi dua-kali lipat dari delapan pada 2017.

Dari 2009 sampai 2018, sebanyak 1.221 wartawan dan pekerja media tewas.
Penyunting: Chaidar A/Tia Mutiasari




Credit  antaranews.com




Kamis, 22 November 2018

Swiss Referendum Soal Tanduk Sapi, Mengapa?



Claudia membersihkan sapi peliharaannya menjelang pemungutan suara nasional Hornkuh-Initiative di pertanian Valengiron di Perrefitte dekat Moutier, Swiss, 15 November 2018. REUTERS/Denis Balibouse
Claudia membersihkan sapi peliharaannya menjelang pemungutan suara nasional Hornkuh-Initiative di pertanian Valengiron di Perrefitte dekat Moutier, Swiss, 15 November 2018. REUTERS/Denis Balibouse

CB, Jakarta - Warga Swiss akan menggelar referendum nasional untuk masalah penting dan selama ini membuat mereka terbelah: mendukung tanduk sapi dan domba tumbuh alami atau menghentikan pertumbuhannya.
Referendum yang digelar pada hari Minggu mendatang bertujuan mempertahankan martabat hewan ternak tersebut.

Selain itu, referendum ini juga untuk meminta pemerintah memberi subsidi bagi peternak yang memelihara sapi yang bertanduk alami. Ia mengajukan subsidi per tahun sebesar 190 Swiss franc atau sekitar US$ 191.65 untuk petani yang memelihara sapi bertanduk alami.
Peternak bernama Armin Capaul, 66 tahun, menggagas referendum. Dia mengatakan referendum untuk mendengarkan sapi-sapinya terinspirasi dari 9 tahun berkampanye meminta bantuan dana untuk kebutuhan lahan peternakan lebih luas bagi hewan-hewan bertanduk.
Ia berharap cara ini akan mengurangi upaya penghapusan tanduk hewan ternak tersebut.

"Kita harus menghormati sapi sebagaimana layaknya mereka. Biarkan mereka dengan tanduk mereka. Saat anda melihat ke arah mereka, maka mereka selalu menahan kepala mereka dan bangga. Jika anda mencabut tanduknya, mereka akan sedih," kata Capaul kepada Reuters di lahan peternakannya yang kecil di barat laut Swiss seperti dikutip dari Reuters.
Menurut Capaul, tanduk berfungsi untuk membantu sapi-sapi berkomunikasi dan mengatur suhu tubuhnya.
Namun ide Capaul tidak sepenuhnya mendapat dukungan. Saat lewat jalur lobi politik gagal, Capaul mengumpulkan lebih dari 100 ribu tandatangan untuk mengadakan referendum.

Para pengkritik mengatakan sapi-sapi itu sangat kesakitan dan merasa tidak alami tanpa tanduk.
Pemerintah Swiss juga berseberangan dengan Capaul. Alasannya, anggaran agrikultur sebesar 3 miliar Swiss franc akan terpangkas sebesar 30 juta Swiss franc setiap tahun untuk subsidi.
Sejumlah peternak pun menentang ide Capaul.
"Sistem kami yang stabil telah memberi manfaat, sapi-sapi kami hidup lebih baik. Jika sapi-sapi bertanduk, berbahaya akan melukai lebih banyak hewan-hewan dan manusia," kata Stefan Gilgen, pemilik 48 sapi.
Menteri Ekonomi Swiss, Johann Schneider-Ammann mengatakan, di Swiss sudah biasa masyarakat mengadakan referendum untuk penyelesaian masalah, mulai dari isu yang kurang penting hingga isu-isu penting.




Credit  tempo.co





Senin, 24 September 2018

Swiss akan Gelar Referendum Pelarangan Burqa di St.Gallen


Wanita mengenakan burqa.
Wanita mengenakan burqa.
Foto: EPA
Referendum digelar untuk menentukan pelarangan penggunaan burqa di ruang publik



CB, BERN -- Swiss akan menggelar referendum di wilayah St.Gallen. Referendum digelar untuk menentukan pelarangan penggunaan burqa di ruang publik di wilayah tersebut.

Dilaporkan laman Aljazirah, Ahad (23/9), sebuah undang-undang yang diadopsi parlemen St.Gallen akhir tahun lalu telah diusulkan untuk disahkan berdasarkan suara publik pada Ahad (23/9). Dalam undang-undang tersebut tertulis, "Siapa pun yang membuat diri mereka tidak dapat dikenali dengan menutupi wajah mereka di ruang publik, dan dengan demikian membahayakan keamanan publik atau perdamaian sosial serta agama akan didenda.”

Undang-undang itu diloloskan parlemen daerah dengan dukungan partai-partai populis. Namun Green Party dan Young Socialist telah menuntut agar diselenggarakan referendum mengenai undang-undang pelarangan burqa tersebut

Fredy Fassler, seorang sosialis yang bertanggung jawab atas keamanan dan keadilan di St.Gallen menilai, undang-undang tersebut bermasalah. Menurutnya, dalam undang-undang itu tak dijelaskan secara spesifik tentang kapan seorang wanita yang mengenakan burqa dianggap membahayakan publik.

"Saya khawatir sanksi tidak dapat diprediksi dan sewenang-wenang," ujarnya.

Tahun lalu Pemerintah Swiss menentang prakarsa yang bertujuan menerapkan larangan burqa secara nasional. Setiap daerah harus menentukan sendiri apakah tindakan tersebut tepat dilakukan.

Awal tahun ini, dua koran lokal telah melakukan survei mengenai isu penggunaan burqa. Hasil survei menunjukkan, 76 persen responsden mendukung pelarangan burqa secara efektif. Sementara 20 persen responden lainnya menentang gagasan tersebut.

Swiss sendiri sebenarnya telah menjadi sorotan saat menyetujui larangan pembangunan menara masjid pada 2009. 


Credit  republika.co.id




Senin, 17 September 2018

Swiss Desak Rusia Hentikan Aksi Mata-Mata di Negaranya



Intelijen, ilustrasi
Intelijen, ilustrasi

Rusia membantah ada kegiatan intelijen di Swiss.




CB, ZURICH -- Swiss meminta Rusia menghentikan kegiatan mata-mata di wilayahnya. Permintaan ini disampaikan setelah dua kasus dugaan spionase terungkap dalam beberapa hari terakhir.


Kementerian Luar Negeri Swiss telah memanggil duta besar Rusia di Bern tiga kali tahun ini untuk menyampaikan kekhawatiran dugaan operasi yang menargetkan organisasi di Swiss, termasuk laboratorium yang digunakan menguji senjata kimia. "Kementerian Luar Negeri Swiss telah meminta Rusia segera mengakhiri kegiatan ilegal di Swiss atau melawan target-target Swiss," katanya dalam sebuah pernyataan pada Ahad (16/9).

Badan intelijen Swiss mengatakan pada Jumat (14/9) mereka bekerja sama dengan Inggris dan Belanda untuk menggagalkan rencana Rusia yang, menurut laporan surat kabar menargetkan laboratorium Swiss. Surat kabar Swiss Tages-Anzeiger dan surat kabar Belanda NRC Handelsblad mengatakan para agen dicurigai menuju laboratorium Spiez dekat Bern yang menganalisa senjata kimia dan biologi serta menguji agen saraf seperti Novichok.


Inggris mengatakan, Moskow menggunakan Novichok untuk mencoba membunuh mantan mata-mata Rusia, Sergei Skripal di kota Salisbury, Inggris, Maret lalu. Inggris menuduh dua pria Rusia atas percobaan pembunuhan itu.


Insiden itu mengakibatkan Belanda mengusir dua orang yang dicurigai sebagai mata-mata Rusia pada Maret. Jaksa Swiss mengatakan mereka sedang menginvestigasi serangan siber terhadap kantor World Anti-Doping Agency di Swiss.


Kejaksaan Swiss pada Sabtu mengatakan proses pengadilan mulai diluncurkan pada Maret 2017 karena dugaan spionase politik. Menurut kejaksaan, orang-orang yang bersangkutan adalah orang yang sama dengan yang diidentifikasi oleh dinas intelijen Swiss pada Jumat lalu. Swiss mungkin menjadi sasaran karena sebagai tuan rumah banyak asosiasi internasional.


Seperti Komite Olimpiade Internasional dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Surat kabar Swiss Sonntags-Zeitung pada Ahad (16/9) mengatakan menurut perkiraan badan intelijen Swiss, satu dari empat diplomat Rusia di Swiss bekerja sebagai perwira intelijen.


Kedutaan Rusia menyebut tuduhan surat kabar itu tidak berdasar. "Ini nampaknya merupakan upaya yang tidak masuk akal untuk memberi para pembaca pandangan bias dari orang-orang Rusia yang bekerja di Swiss," kata kedutaan Rusia.




Credit  republika.co.id




Jumat, 24 Agustus 2018

Takut Sanksi AS, Bank Swiss Bekukan Aset Rusia Rp 73 Triliun


Bank Credit Suisse Swiss [fortune.com]
Bank Credit Suisse Swiss [fortune.com]

CB, Jakarta - Salah satu bank terbesar Swiss, Credit Suisse, membekukan sekitar 5 miliar Franc Swiss atau setara US$ 5 miliar (Rp 73 triliun/Kurs Rp 14.626), yang terkait dengan Rusia untuk menghindari sanksi AS.
Reuters melaporkan, pada 23 Agustus 2018, bahwa langkah yang diambil Credit Suisse, yang memiliki pesawat yang diserahkan oleh pengusaha Rusia, Oleg Deripaska, dan telah meminjamkan uang kepada Viktor Vekselberg, seorang penguasa Rusia sebelum sanksi, menggarisbawahi kekhawatiran di antara bank-bank atas sanksi AS yang menyebut pihak-pihak akan terkena sanksi jika bekerjasama dengan perusahaan Rusia.

Akibat pembekuan ini, dampak nyata bagi pengusaha Rusia dapat menutup jalan untuk keuangan serta tempat yang aman bagi miliaran rubel kekayaan mereka."Credit Suisse bekerja dengan regulator internasional di mana pun ia melakukan bisnis untuk memastikan kepatuhan terhadap sanksi, termasuk kepatuhan terhadap sanksi yang melibatkan Rusia," kata juru bicara bank.

Sebuah logo cabang bank Credit Suisse di Bern, Swiss 4 April 2017. [REUTERS / Denis Balibouse]
Sudah menjadi rahasia umum bahwa orang-orang kaya Rusia, dengan alasan kerahasiaan bank, stabilitas politik dan resor ski yang mewah seperti Zermatt dan St. Moritz, menjadikan Swiss sebagai salah satu tujuan utama untuk menyimpan uang mereka.

Sekitar US$ 6,2 miliar (Rp 90 triliun) atau 14 persen dari total arus kekayaan pengusaha Rusia mengalir ke Swiss pada 2017, hampir tiga kali lebih banyak dibandingkan aliran dana ke Amerika Serikat, seperti dicatat data bank sentral Rusia.Putaran terbaru sanksi diumumkan pada bulan April oleh Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin untuk menghukum Rusia atas pendudukan Crimea, keterlibatan dalam perang di Suriah dan mencoba menumbangkan demokrasi Barat.

Awal bulan ini, anggota Kongres, menyerukan lebih banyak tindakan, termasuk memperkenalkan undang-undang sanksi baru untuk menghukum Rusia.Sementara sanksi AS tidak berlaku untuk Swiss yang netral, bank-banknya wajib untuk tunduk terhadap sanksi karena mereka bergantung pada akses terhadap dolar AS.




Credit  tempo.co





Kamis, 16 Agustus 2018

Indonesia Sampaikan Revisi Aturan Importasi ke WTO


WTO
WTO
Foto: flickr
AS menggugat Indonesia ke WTO terkait kerugian perdagangan



CB, JAKARTA -- Indonesia akan menegaskan dan menjelaskan kembali revisi beberapa aturan importasi dalam perundingan panel Badan Penyelesaian Sengketa (BPS) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Jenewa, Swiss, Rabu (15/8). Revisi aturan importasi ini terkait dengan keberatan yang diajukan oleh Amerika Serikat (AS).

"Kami juga tentu akan menyampaikan keberatan atas permintaan otorisasi AS di BPS WTO. Revisi yang akan kami paparkan termasuk revisi sejumlah peraturan menteri," kata Duta Besar RI untuk Swiss Hasan Kleib kepada Antara di Jakarta, Rabu (15/8).

Ia menuturkan sengketa dagang Indonesia dengan AS muncul ketika sejumlah peraturan di tingkat menteri yang dimaksudkan untuk melindungi produsen dalam negeri dinilai menghambat atau menutup impor dari dua negara tersebut.



Dalam sengketa dagang itu, AS menilai Indonesia belum sepenuhnya mematuhi putusan PPS pada 22 November 2017 yang meminta Indonesia mengubah sejumlah kebijakan di bidang importasi hortikultura, hewan, dan produk hewan. Padahal Indonesia sudah melakukan berbagai revisi peraturan terkait kebijakan impor.
Hasan mengatakan permintaan otorisasi AS tentunya harus disepakati terlebih dulu oleh Sidang BPS, dan RI bisa menjelaskan kembali berbagai perubahan atau revisi peraturan terkait, yang telah dilaksanakan sesuai keputusan BPS.

Sebelumnya pada 2 Agustus 2018, AS melayangkan surat kepada WTO agar diadakan pertemuan BPS untuk membahas permintaan AS untuk dapat menangguhkan pemberian konsesi tarif dan kewajiban lainnya kepada Indonesia dengan hitungan per tahun menyesuaikan dengan jumlah kerugian yang dialami oleh dunia usaha AS.

AS sebelumnya mengklaim akibat larangan impor Indonesia, sektor bisnis Negara Paman Sam itu telah merugikan hingga 350 juta dolar AS atau setara Rp 5 triliun. "Sebenarnya, Indonesia telah melakukan revisi-revisi berbagai kebijakan importasi terkait sesuai yang disengketakan dan sejalan dengan ketentuan WTO. Namun pihak Amerika Serikat masih melihat ada beberapa yang belum sesuai," katanya.

Atas tuduhan AS itu, Indonesia bisa menjelaskan berbagai perubahan peraturan importasi sejak terbitnya putusan akhir panel dan Appellate Body di WTO.



Credit  republika.co.id







Selasa, 07 Agustus 2018

Dimediasi Swiss, Arab Saudi Setuju Menerima Kembali Dubes Iran


Gedung Kementerian Luar Negeri Iran di Teheran.[Press TV]
Gedung Kementerian Luar Negeri Iran di Teheran.[Press TV]

CB, Jakarta - Arab Saudi dilaporkan setuju untuk menerima duta besar Iran untuk Arab Saudi setelah kedua negara memutuskan hubungan diplomatik pada 2016.
"Sumber informasi diplomatik mengatakan, pada Minggu 5 Agustus, bahwa Arab Saudi telah setuju untuk memberikan visa kepada kepala perwakilan dari bagian kepentingan Iran," IRNA melaporkan, seperti dilansir dari New York Times, 6 Agustus 2018.

Kedutaan Besar Iran di Arab Saudi rencananya akan dibentuk dalam misi diplomatik Swiss di Arab Saudi, berdasarkan perjanjian yang ditandatangani pada 2017. Namun belum ada tanggapan resmi dari kerajaan Arab Saudi atas informasi ini.
Setelah pemutusan hubungan diplomatik, kedua negara sepakat memindahkan kantor perwakilan ke Swiss untuk melanjutkan fungsi saluran diplomatik antara kedua negara.

Asap terlihat ketika para pengunjuk rasa Iran yang marah atas eksekusi seorang ulama Syiah di Arab Saudi, membakar kedutaan besar Arab Saudi di Tehran, Minggu, 3 Januari 2016.[Mohammadreza Nadimi / ISNA via AP]
Dilansir dari Almanar, Arab Saudi memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran pada awal 2016 menyusul insiden pengunjuk rasa yang menyerang kedutaan besar Arab Saudi di ibukota Teheran, menentang eksekusi tokoh ulama senior Syiah, Sheikh Nimr al-Nimr.
Swiss telah mewakili kepentingan Iran di Arab Saudi berdasarkan kesepakatan yang dicapai dengan Bern delapan bulan lalu.

Kantor di Swiss untuk menangani urusan Haji dari Iran, yang telah menjadi titik pertikaian antara kedua negara selama bertahun-tahun.
"Kami telah menyatakan bahwa kami siap untuk bernegosiasi dengan negara-negara regional, bahkan Arab Saudi," ujar Qasemim juru bicara kemenlu Iran.

Asap terlihat dari kedutaan Arab Saudi selama demonstrasi di Teheran, Iran, pada 2 Januari 2016 ini.[Reuters]
Dalam wawancara yang dipublikasikan di situs web Kementerian Luar Negeri Iran, juru bicara kementerian mengatakan ada ini adalah kemajuan dalam hubungan dua negara.

"Hingga dua minggu yang lalu, tidak ada visa yang dikeluarkan untuk nama-nama yang kami ajukan sejak lama," kata juru bicara Iran, Bahram Qasemi."Tetapi dalam satu atau dua minggu terakhir, telah ada terobosan, dan saya pikir ada indikasi bahwa kantor untuk perwakilan diplomatik akan dibuka," tambahnya.



Credit  tempo.co