Tampilkan postingan dengan label QATAR. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label QATAR. Tampilkan semua postingan

Kamis, 09 Mei 2019

Israel akan Izinkan 30 juta Dolar dari Qatar Masuki Gaza


Asap tebal terlihat di Gaza, Palestina, Ahad (5/5), setelah dihantan roket Israel.
Asap tebal terlihat di Gaza, Palestina, Ahad (5/5), setelah dihantan roket Israel.
Foto: AP Photo/Khalil Hamra
Sebelumnya sebesar 20 juta dolar AS telah ditransfer ke Gaza.



CB, YERUSALEM -- Israel bakal mengizinkan pengiriman dana sebesar 30 juta dolar AS yang merupakan bantuan keuangan dari Qatar ke Jalur Gaza. Pemberian izin ini sebagai bagian dari perjanjian gencatan senjata dengan kelompok perlawanan Palestina Hamas.

Laporan kantor berita Turki, Anadolu Agency, Rabu (8/5), menyebut pada November lalu, Hamas dan Israel menyepakati gencatan senjata yang meliputi pengiriman 50 juta dolar dari Qatar ke Gaza dalam transfer berkala. Sebesar 20 juta dolar AS telah ditransfer.

Namun militer Israel menghantam daerah kantong pantai pada akhir pekan lalu dengan serangan udara dan artileri. Sementara kelompok pejuang Palestina yang berbasis di Gaza merespons dengan menembakkan roket ke arah Israel selatan.

Kekerasan berakhir saat fajar pada Senin lalu, dalam gencatan senjata. Meski begitu setidaknya 27 warga Palestina tewas dalam peristiwa itu dan puluhan lainnya cedera. Sementara empat warga Israel tewas berdasarkan laporan media Israel.

Peningkatan itu dimulai Jumat lalu ketika empat warga Palestina terbunuh oleh serangan militer Israel. Diketahui bahwa empat warga tersebut berada di posisi-posisi yang berafiliasi dengan kelompok perlawanan Hamas di Gaza.

Gencatan senjata terlaksana berkat mediasi yang dilakukan oleh Mesir. Namun, militer Israel enggan mengonfirmasi kabar tersebut. Mereka hanya mengatakan, semua pembatasan perlindungan di garis depan pertempuran akan ditarik, menyiratkan bahwa konfrontasi telah berakhir. Mesir dan PBB telah berusaha menengahi gencatan senjata.




Credit  republika.co.id





Kamis, 11 April 2019

Turki-Qatar Kritik Langkah AS Tetapkan IRGC sebagai Teroris



Turki-Qatar Kritik Langkah AS Tetapkan IRGC sebagai Teroris
Turki dan Qatar kompak dalam melemparkan kritikan keras terhadap keputusan AS untuk memasukan Garda Revolusi Iran atau IRGC dalam daftar hitam teroris. Foto/Istimewa


ANKARA - Turki dan Qatar kompak dalam melemparkan kritikan keras terhadap keputusan Amerika Serikat (AS) untuk memasukan Garda Revolusi Iran atau IRGC dalam daftar hitam teroris. Keputusan itu diumumkan oleh Presiden AS, Donald Trump awal pekan ini.

Kritikan itu disampaikan pasca pertemuan antara Menteri Luar Negeri Turki, Mevlut Cavusoglu dengan Menteri Luar Negeri Qatar, Mohammed bin Abdulrahman Al-Thani.

Cavusoglu menuturan, Turki tidak senang dengan apa yang telah dilakukan oleh IRGC. Namun, dia menegaskan tidak ada satupun negara di dunia yang berhak menganggap militer negara lain sebagai teroris.

"AS mengeluarkan keputusan sepihak ini dalam konteks sanksi dan tekanan terhadap Iran," kata Cavusoglu dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir Arab News pada Kamis (11/4).

"Kami tidak mendukung IRGC di Suriah, tetapi tidak ada negara yang dapat menyatakan pasukan bersenjata negara lain sebagai organisasi teroris. Kami juga tidak mendukung keputusan sepihak. "Tindakan semacam itu akan menyebabkan ketidakstabilan di kawasan ini," Sambungnya.

Pada kesempatanya, Al-Thani mengatakan ketidaksepakatan atas perilaku tentara Iran, atau perilaku tentara lainnya. Namun, dia juga tidak sependapat dengan keputusan AS, dengan menegaskan bahwa ini tidak boleh diselesaikan dengan menjatuhkan sanksi. 




Credit  sindonews.com



Senin, 01 April 2019

KTT Liga Arab Dibuka, Amir Qatar Langsung 'Pamit'


KTT Liga Arab Dibuka, Amir Qatar Langsung 'Pamit'
Qatar's Emir Sheikh Tamim bin Hamad al-Thani. (REUTERS/Beawiharta)



Jakarta, CB -- Amir Qatar, Sheikh Tamim bin Hamad al-Thani dilaporkan pergi meninggalkan kursinya di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Liga Arab di Tunisia, Minggu (31/3). Tamim pergi ketika KTT Liga Arab baru saja memasuki acara pembukaan.

Dilansir AFP, kepulangan Amir Qatar diberitakan kantor berita resmi negara Teluk QNA. Kepergian Amir Qatar Sheikh Tamim tanpa disertai penyebab yang jelas.

Seorang pejabat Tunisia, yang tidak bersedia namanya disebutkan, mengatakan pemimpin Qatar itu keluar saat pidato Sekretaris Jenderal Liga Ahmed Aboul Gheit.


"Dia telah meninggalkan Tunisia," ujar pejabat tersebut, dikutip AFP, Minggu (31/3).

Qatar berada di pusat perselisihan negara Teluk yang berawal sejak Juni 2017. Saat itu, Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Mesir kompak memusuhi Qatar dan memutus hubungan diplomatik dengan negara itu serta melakukan embargo.

Hal ini menjadi krisis diplomatik dan politik paling buruk antara negara-negara Teluk selama ini.

Saudi dan sejumlah negara-negara Teluk kompak memutus hubungan diplomatik dengan Qatar, lantaran menuding Doha telah mendukung Hamas dan Taliban yang masuk dalam daftar kelompok teroris versi Amerika Serikat. Mereka juga menuduh Qatar terlampau dekat dengan Iran, yang menjadi musuh bebuyutan Saudi di Timur Tengah.

Meski Qatar menyangkal seluruh tuduhan itu, krisis diplomatik masih terus berlangsung hingga bulan ini dan belum menemukan titik akhir. Negara-negara terkait juga tampak enggan menyelesaikan krisis.





Credit  cnnindonesia.com





Selasa, 05 Maret 2019

Saudi Menentang Rencana Pembelian S-400, Qatar: Bukan Urusan Mereka


Saudi Menentang Rencana Pembelian S-400, Qatar: Bukan Urusan Mereka
Menteri Luar Negeri Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman al-Thani mengatakan bukan urusan Arab Saudi apakah Qatar akan membeli S-400 atau tidak. Foto/Istimewa

DOHA - Menteri Luar Negeri Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman al-Thani mengatakan bahwa pihaknya masih mempelajari pembelian sistem pertahanan udara rudal S-400 Rusia. Doha lalu menuturkan, bukan urusan Arab Saudi apakah Qatar akan membeli S-400 atau tidak.

Pernyataan itu adalah respon saat dirinya ditanya tentang laporan Juni lalu oleh harian Prancis, Le Monde bahwa pemimpin Saudi, Raja Salman bin Abdul Aziz al-Saud telah mengirim surat kepada Presiden Prancis yang menyatakan keprihatinan atas pembicaraan antara Doha dan Moskow tentang sistem S-400.

"Ada diskusi untuk pengadaan berbagai peralatan Rusia, tetapi belum ada pemahaman tentang peralatan khusus ini (S-400)," kata Sheikh Mohammed saat melakukan konferensi pers bersama dengan Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov di Doha, seperti dilansir Reuters pada Senin (4/3).

"Sehubungan dengan Saudi atau negara-negara lain, itu bukan urusan mereka, itu adalah keputusan berdaulat oleh Qatar," sambungnya, sembari menambahkan bahwa omite teknis sedang mempelajari pilihan terbaik untuk militer negara kecil tapikaya itu.

Terkait pertemuan dengan Lavrov, Sheikh Mohammed mengatakan bahwa dalam pertemuan itu mereka juga membahas mengenai situasi Suriah dan Libya.

Dia menegaskan bahwa Doha belum siap untuk menormalkan hubungan dengan Suriah, mengatakan negara yang dirusak perang itu harus memiliki solusi politik dan pemimpin baru yang dipilih langsung oleh rakyatnya. 





Credit  sindonews.com



Qatar Masih Pelajari Sistem Rudal S-400 Buatan Rusia


Sistem rudal darat-ke-udara jarak menengah dan jarak jauh Rusia S-400 saat parade Hari Kemenangan perayaan 71 tahun kemenangan atas Nazi Jerman di Perang Dunia II di Red Square, Moskow, Rusia, 9 Mei 2016.
Sistem rudal darat-ke-udara jarak menengah dan jarak jauh Rusia S-400 saat parade Hari Kemenangan perayaan 71 tahun kemenangan atas Nazi Jerman di Perang Dunia II di Red Square, Moskow, Rusia, 9 Mei 2016.
Foto: REUTERS/Grigory Dukor

Rusia mengatakam ada pembahasan tentang pengadaan berbagai macam alat militer.



REPUBLIKA.CO.ID, DOHA -- Qatar mengatakan masih mempelajari pembelian sistem pertahanan udara S-400 buatan Rusia, Senin (4/3). Qatar juga menambahkan potensi adanya kesepakatan bukan urusan Arab Saudi.

Menteri Luar Negeri Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman ath-Thani, juga mengungkapkan tidak ada tanda-tanda meredanya pertikaian Teluk mengenai tuduhan Arab Saudi. Sejumlah negara Arab mengatakan Qatar mendukung terorisme. Tuduhan yang dibantah oleh Qatar.

"Ada pembahasan tentang pengadaan berbagai macam peralatan buatan Rusia, namun belum ada pemahaman tentang peralatan khusus ini (S-400)," kata Sheikh Mohammed saat konferensi pers gabungan bersama Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov.

"Sehubungan dengan Arab Saudi atau negara-negara lain, ini bukan urusan kalian. Ini mutlak keputusan Qatar," kata dia.


Ia menambahkan komite urusan teknik sedang mempelajari pilihan yang terbaik bagi militer negara kecil namun kaya tersebut. Menlu Qatar menanggapi pertanyaan soal laporan Juni lalu oleh harian Prancis La Monde bahwa Raja Arab Saudi Salman telah mengirim surat kepada presiden Prancis. Melalui surat tersebut Raja Salman menyampaikan keprihatinan atas pembicaraan antara Doha dan Moskow tentang sistem S-400.

Sheikh Mohammed mengatakan pembahasan dengan Larvov, yang berada di Doha pada kunjungan pertama tur negara Teluk, juga mencakup isu tentang Suriah dan Libya. Dia kembali menegaskan Doha belum siap memulihkan hubungan dengan Suriah, dengan mengatakan negara yang hancur akibat perang itu harus memiliki penyelesaian politik dan pemimpin yang dipilih oleh rakyatnya. Dia juga menyerukan terciptanya persatuan di Libya.





Credit  republika.co.id



Senin, 18 Februari 2019

Perang Lawan Terorisme di Timteng Terhambat Perselisihan


Para militan ISIS (ilustrasi).
Para militan ISIS (ilustrasi).
Foto: AP

Polarisasi regional di Timur Tengah dinilai meningkat.




CB, DOHA -- Menteri Luar Negeri Qatar Mohammed bin Abdulrahman Al-Thani perang melawan terorisme di Timur Tengah terhambat akibat perselihan antara negara-negara di kawasan tersebut. Kondisi tersebut belum memperlihatkan indikasi akan berubah menjadi lebih baik.

"Kami melihat peningkatan polarisasi regional dan ini semakin hari semakin meningkat, terutama di kawasan Timur Tengah. Sayangnya, polarisasi ini meningkat secara diplomatis," ujar Al-Thani saat menghadiri konferensi keamanan di Munchen, Jerman, Sabtu (16/2), dikutip laman Sputnik.

Meskipun saat ini kekuatan ISIS semakin melemah, namun menurut Al-Thani, hal itu tidak menjadi jaminan bahwa terorime telah benar-benar lenyap. "Ada wilayah (yang) telah dibebaskan, tapi ISIS atau terorisme belum dikalahkan, karena ideologinya masih ada," kata dia.

Menurut Al-Thani, penyebab utama krisis juga belum ditangani secara komprehensif. Qatar mengaku siap bekerja sama dengan negara-negara, terutama di Timur Tengah, guna mengatasi masalah tersebut.

Pernyataan Al-Thani muncul saat krisis Teluk masih berlangsung. Qatar diketahui telah diblokade dan diboikot oleh Arab Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab, dan Bahrain sejak Juni 2017.

Saudi dan sekutunya menuding Qatar mendukung kelompok-kelompok teroris di kawasan. Doha telah secara tegas membantah tuduhan tersebut.

Keempat negara itu kemudian mengajukan 13 tuntutan kepada Qatar. Tuntutan itu harus dipenuhi bila Qatar ingin terbebas dari blokade dan boikot.

Tuntutan itu antara lain meminta Qatar memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran, menghentikan pendanaan terhadap kelompok teroris, dan menutup media penyiaran Aljazirah. Qatar telah menolak memenuhi tuntutan tersebut karena dianggap tidak logis.

Pada Januari lalu Al-Thani menyatakan negaranya siap melakukan dialog tanpa prasyarat dengan Saudi dan sekutunya guna mengakhiri krisis Teluk. "Qatar siap memasuki dialog tanpa prasyarat. Tapi dialog berarti bahwa kedua belah pihak harus berkomitmen untuk menemukan solusi," katanya. 






Credit  republika.co.id




Kamis, 17 Januari 2019

Sebut Assad Penjahat Perang, Qatar Tolak Berbaikan dengan Suriah




Sebut Assad Penjahat Perang, Qatar Tolak Berbaikan dengan Suriah
Menteri Luar Negeri Qatar Mohammed bin Abdulrahman al-Thani. Foto/REUTERS/Naseem Zeitoon


DOHA - Pemerintah Qatar menolak normalisasi hubungan dengan rezim Suriah termasuk membuka kembali kedutaannya di Damaskus. Doha tetap menganggap Presiden Bashar al-Assad sebagai penjahat perang.

"Normalisasi (hubungan) dengan rezim Suriah pada tahap ini adalah normalisasi seseorang yang terlibat dalam kejahatan perang, dan ini seharusnya tidak dapat diterima," kata Menteri Luar Negeri Qatar Mohammed bin Abdulrahman al-Thani, pada hari Senin.

Al-Thani mengatakan ada alasan mengapa Assad—yang terpilih tanpa lawan pada tahun 2000 dan tetap berkuasa selama hampir delapan tahun perang saudara—masih harus didepak dari komunitas internasional.

Menurutnya, Damaskus di bawah rezim Assad seharusnya tidak diizinkan kembali ke Liga Arab—yang keanggotaannya ditangguhkan pada 2011."Karena orang-orang Suriah masih di bawah pemboman oleh rezim Suriah," katanya, seperti dikutip AFP, Selasa (15/1/2019).

Komentarnya muncul setelah tetangga-tetangga Teluk-nya seperti Uni Emirat Arab dan Bahrain mengumumkan akhir bulan lalu bahwa mereka membuka kembali kedutaan besarnya di Damaskus.

Menteri Luar Negeri Uni Emirat Arab Anwar Gargash melalui Twitter menulis bahwa negaranya melakukan normalisasi salah satunya karena faktor pengaruh Iran dan salah satu sekutu terkuat Qatar, Turki, di Suriah.

Teheran telah menjadi pendukung setia pemerintah Assad dan telah memperluas jejak militernya di Suriah selama konflik.

Selama 19 bulan terakhir Qatar telah berada dalam perselisihan diplomatik yang mendalam dengan Uni Emirat Arab dan Bahrain. Peseteruan itu karena perbedaan arah kebijakan luar negeri Doha dalam beberapa tahun terakhir.

Qatar telah berperan penting dalam perang sipil Suriah dengan memasok senjata kepada kelompok-kelompok pemberontak. Data itu diungkap lembaga-lembaga penelitian seperti Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI).

Pemimpin oposisi Suriah Nasr al-Hariri telah meminta para pemimpin Arab untuk tidak membangun kembali hubungan dengan Assad. Rezim Assad sekarang mengendalikan hampir dua pertiga wilayah Suriah berkat dukungan militer dari Rusia dan Iran. 



Credit  sindonews.com





Senin, 14 Januari 2019

Erdogan Pastikan tak akan Lupakan Dukungan Qatar


Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan
Foto: PA-EFE/KAYHAN OZER

Selama masa krisis, Qatar dan Turki bangun kerja sama strategis di berbagai bidang.




CB, ANKARA -- Presiden Turki Recep Tayyep Erdogan mengatakan kerja sama antara Turki dengan Qatar akan terus diperkuat. Tidak hanya di sektor perdagangan tapi juga di sektor-sektor lain seperti pertahanan, pariwisata dan energi. Alasannya karena Qatar mendukung Turki dalam isu-isu terkini.

"Kami tidak akan pernah lupa dan tidak akan pernah melupakan solidaritas yang ditunjukan kepada negara kami oleh saudara kami Qatar dalam isu-isu terkini - dari upaya kudeta 15 Juli sampai serangan ke kurs mata uang bulan Agustus," kata Erdogan di pabrik otomotif BMC, yang terletak di sebelah barat Provinsi Sakarya, seperti dilansir dari Aljazirah, Senin (14/1).

Erdogan menekankan Turki akan terus melanjutkan upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap negara lain di sektor pertahanan. Erdogan menambahkan lebih dari setengah ketergantungan terhadap asing turun drastis, dari sebelumnya mencapai 80 persen pada tahun 2002 menjadi 35 persen saat ini.

"Kapasitas militer dan ekonomi Turki, kapabilitas politik dan diplomatik harus didorong," kata Erdogan.

Ia mengatakan ketergantungan di sektor pertahanan 'cenderung' tinggi. Selama masa krisis, Qatar dan Turki membangun kerja sama strategis di bidang politik, ekonomi dan militer.

Pada bulan Agustus 2018 lalu, Emir Qatar Tamim bin Hamad Al Thani berjanji akan berinvestasi sebesar 15 miliar dolar AS di Turki. Investasi tersebut sangat dibutuhkan oleh Turki yang mengalami krisis mata uang yang nilainya jatuh 45 persen dari dolar AS.

"Kami mendukung saudara-saudara kami di Turki yang sudah membela kepentingan Muslim di seluruh dunia dan Qatar," kata Sheikh Tamim di media sosial Twitter kala itu.

Pada tahun 2017 lalu Ketua Kamar Dagang Qatar Mohammed bin Twar mengatakan investasi Qatar ke Turki sudah lebih dari 20 miliar dolar AS. Investasi Qatar terbesar kedua ke negara mana pun.

Di bulan Mei 2017 Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain dan Mesir memutus hubungan diplomatik dan transportasi dengan Qatar. Mereka menuduh Qatar menjadi sponsor dan mendukung 'terorisme', sebuah tuduhan yang dibantah dengan keras oleh Qatar.

Sejak saat itu blok Arab sudah mengisolasi Qatar di sektor diplomatik dan ekonomi. Pada 7 Juni 2017, dua hari setelah Qatar mengalami krisis Negara-negara Teluk tersebut, parlemen Turki meratifikasi dua perjanjian kerja sama yang mengizinkan pasukan Turki di tempatkan di Qatar.

Hal ini menjadi salah satu upaya kedua negara meningkatkan kerja sama militer demi keamanan dan stabilitas Qatar. Sebagai bagian dari upaya menahan serangan negara-negara Teluk lima kendaraan bersenjata tiba di Doha pada 18 Juni 2018 lalu.

Negara-negara Teluk sudah menawarkan 13 persyaratan kepada Qatar. Negara-negara  itu akan memperbaiki hubungan dengan Qatar asalkan Qatar mau menutup pangkalan militer Turki yang dapat menampung 5.000 pasukan.

Ketika Arab Saudi menutup satu-satunya perbatasan darat yang dimiliki Qatar maka banyak barang-barang vital yang tidak bisa masuk ke Qatar termasuk pasokan makanan. Untuk mencegah kelaparan tidak lebih dari 48 jam setelah Arab Saudi memblokade perbatasan tersebut Turki mengirim pesawat kargo yang diisi dengan susu, yoghurt dan unggas ke Qatar.

Pada Ahad (13/1) Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Mike Pompeo juga mengatakan negaranya akan membangun kerja sama strategis dengan Qatar. Dalam konferensi pers di Doha, Pompeo meminta Qatar dan negara-negara Teluk untuk mengakhiri perselisihan politik diantara mereka.

Qatar menjadi salah satu dari sembilan negara yang dikunjungi Pompeo di Timur Tengah. Kunjungan ini dilakukan untuk memperkuat kepercayaan sekutu AS di kawasan tersebut yang sempat melemah.

"Kerja sama strategis kami akan diperluas dibanyak bidang dan akan terus tumbuh," kata Pompeo di forum dialog strategis AS-Qatar.

AS memiliki pangkalan udara militer di Qatar yang dinamakan Al Udeid. Markas dari US Central Command itu adalah pangkalan yang digunakan sebagai landasan pacu koalisi yang dipimpin AS dalam memerangi ISIS di Timur Tengah.

Pompeo juga mendorong persatuan negara-negara Teluk untuk membangun aliansi yang solid dalam memerangi pengaruh Iran di kawasan itu. "Perselisihan antara negara yang memiliki tujuan yang sama tidak pernah membantu," kata Pompeo.






Credit  republika.co.id






Turki akan Perkuat Kerja Sama dengan Qatar


Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan
Foto: Presidential Press Service via AP
Qatar adalah salah satu negara dengan solidaritas besar terhadap Turki.




CB, ANKARA -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan negaranya akan terus memperkuat kerja sama bilateral dengan Qatar. Kerja sama itu mencakup bidang pertahanan, perdagangan, pariwisata, dan energi.

Menurut Erdogan, Qatar adalah salah satu negara yang memiliki rasa solidaritas besar terhadap Turki. "Kami tidak pernah melupakan dan tidak akan pernah melupakan solidaritas yang ditunjukkan kepada negara kita oleh saudara-saudara Qatar kami dalam hampir semua masalah," kata Erdogan pada Ahad (13/1).

Menurutnya Qatar telah membantu pemerintahannya saat menghadapi upaya kudeta pada 15 Juli 2016. Selain itu, tahun lalu, saat nilai mata uang Turki merosot akibat sanksi ekonomi Amerika Serikat (AS), Doha juga berdiri di samping Ankara.

Erdogan mengapresiasi solidaritas yang telah diperlihatkan Qatar. Hal itu juga yang diperkirakan memotivasi Turki membela Qatar ketika menghadapi aksi boikot dan blokade oleh beberapa negara Teluk, yakni Arab Saudi, Mesir, Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain pada Juni 2017.

Kala itu, Turki memasok berbagai kebutuhan pokok untuk Qatar. Sebab blokade oleh keempat negara Teluk menyebabkan pengiriman barang-barang terhambat.

Hingga kini krisis diplomatik antara Qatar dan Saudi, Mesir, UEA, dan Bahrain masih berlangsung. Belum ada tanda-tanda krisis itu akan segera berakhir.

Saudi, Mesir, Bahrain, dan UEA memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar karena Doha mendukung kelompok teroris di kawasan. Tudingan itu segera dibantah tegas oleh Qatar.

Walaupun Doha membantah, Saudi dan koalisinya tetap memberlakukan blokade serta embargo terhadap Qatar. Saudi dan koalisinya kemudian mengajukan 13 tuntutan. Tuntutan itu harus dipenuhi bila Doha ingin terbebas dari blokade.

Adapun tuntutan itu antara lain meminta Qatar memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran, menghentikan pendanaan terhadap kelompok teroris, dan menutup media penyiaran Aljazirah. Qatar telah menolak memenuhi tuntutan tersebut karena dianggap tidak logis. 





Credit  republika.co.id



Kunjungi Qatar, Pompeo akan Dorong Penyelesaian Krisis Teluk


Menlu AS Mike Pompeo
Menlu AS Mike Pompeo
Foto: AP
Amerika miliki agenda bentuk aliansi Timur Tengah untuk melawan Iran.



CB, QATAR -- Menteri Luar Amerika Serikat (AS) Mike Pompeo mengunjungi Qatar pada Ahad (13/1). Kunjungan itu akan dimanfaatkan untuk mendorong penyelesaian krisis Teluk yang telah berlangsung selama 18 bulan.

Dalam kunjungannya ke Doha, Pompeo dijadwalkan bertemu beberapa pemimpin senior Pemerintah Qatar. Dia juga akan mengadakan diskusi dengan Menteri Luar Negeri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulraham Al Thani.

Pompeo yang sedang melakukan tur Timur Tengah, membawa beberapa misi, satu di antaranya adalah menyelesaikan keretakan diplomatik antara Qatar dan beberapa negara Teluk, yakni Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Mesir, dan Bahrain yang telah berlangsung sejak Juni 2017. "Sudah saatnya persaingan lama berakhir demi kebaikan yang lebih besar di kawasan itu," kata Pompeo saat berada di Kairo, Mesir, Kamis lalu, dikutip laman Aljazirah.

Kerukunan di antara negara-negara Teluk memang menjadi salah satu kepentingan AS. Hal itu dibutuhkan guna mendukung peluncuran the Strategic Alliance of the Middle East (MESA), yakni sebuah pakta keamanan bergaya NATO yang diisi negara-negara Teluk, termasuk Mesir dan Yordania.

"Hari ini kami meminta masing-masing negara mengambil langkah berikutnya dan membantu kami memperkuat MESA," ujar Pompeo.

AS sengaja menggagas pembentukan MESA. Pakta keamanan itu diharapkan akan menjadi benteng untuk melawan ekstremisme, terorisme, serta agresi Iran di kawasan. Dengan demikian, MESA dapat berkontribusi dalam membawa perdamaian di Timur Tengah.

Pengaruh Iran di Timur Tengah telah menjadi salah satu perhatian utama AS. Teheran dianggap sebagai ancaman yang dapat membahayakan sekutu-sekutu Washington di sana, termasuk Saudi dan Israel.

AS telah berusaha melawan pengaruh tersebut. Langkah yang diambil salah satunya adalah dengan keluar dari perjanjian nuklir Iran dan menjatuhkan Teheran dengan sanksi ekonomi berlapis.

Pada Februari mendatang AS dan Polandia akan menggelar pertemuan tingkat tinggi di Warsawa. Pertemuan akan fokus membahas pengaruh Iran di kawasan dan cara untuk menekannya. Selain menteri luar negeri kedua negara, pertemuan itu dikabarkan akan turut dihadiri Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.




Credit  republika.co.id







Minggu, 23 Desember 2018

Emir Qatar Tawarkan Dukungan kepada Presiden Sudan

Peta wilayah Sudan.

CB, KHARTOUM -- Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani menelepon Presiden Sudan Omar al-Bashir pada Sabtu (22/12) untuk menyatakan dukungannya bagi Sudan. Dukungan tersebut disampaikan setelah protes-protes antipemerintah berlangsung beberapa hari, kata kantor Bashir dalam satu pernyataan.

Qatar dan para saingannya di kawasan semakin berebut pengaruh di Sudan dan negara-negara lain di Laut Merah dan Teluk Aden. Negara-negara Teluk juga telah menjadi sumber pendanaan bagi Sudan setelah negara itu kehilangan tiga perempat dari keluaran minyaknya ketika wilayah selatan memisahkan diri tahun 2011.

Sejak Rabu (19/12), kota-kota di seluruh Sudan diguncang aksi-aksi protes, yang dipicu kemuduran ekonomi. Para pengunjuk rasa juga menyerukan agar kekuasaan Bashir, yang sudah berlangsung 29 tahun, diakhiri.

"Dalam pembicaraan lewat telepon, Sheikh Tamim menyatakan negaranya berdiri bersama Qatar dan siap menawarkan semua hal yang perlu untuk membantu Sudan mengatasi cobaan berat ini, dengan menegaskan keinginannya bagi stabilitas dan keamanan Sudan," demikian bunyi pernyataan tersebut.

Kantor berita negara Qatar QNA membenarkan pembicaraan lewat telepon itu.

Reuters melaporkan seorang juru bicara pemerintah Sudan mengatakan pada Jumat (21/12) bahwa aksi-aksi unjuk rasa di negara itu, sebagai protes terhadap kenaikan harga, yang menewaskan sedikitnya delapan orang dalam dua hari belakangan ini telah "keluar rel dan dialihkan oleh para penyusup".

"Demonstrasi damai telah diselewengkan dan dialihkan oleh para penyusup menjadi kegiatan subversif yang menyasar lembaga-lembaga publik dan properti, pembakaran, penghancuran dan pembakaran beberapa markas kepolisian," kata Bishara Jumaa dalam pernyataan yang disiarkan oleh kantor berita resmi Sudan News Agency.

Dia tidak menyebut siapa yang dimaksud penyusup itu tetapi dia juga mengatakan para pengunjuk rasa, beberapa telah menyerukan penggulingan Presiden Omar al-Bashir, dimanfaatkan oleh partai-partai oposisi.

"Beberapa partai politik muncul dalam usaha mengeksploitasi kondisi ini untuk mengguncang keamanan dan stabilitas demi mencapai agenda politik mereka," kata Jumaa. Dia tidak mengidentifikasi partai-partai tersebut. Ditambahkan, aksi-aksi protes itu "telah ditangani oleh polisi dan pasukan keamanan dengan cara beradab tanpa kekerasan atau perlawanan."

Warga masyarakat di Sudan marah karena kenaikan harga dan kesulitan hidup yang mereka alami, termasuk kenaikan harga roti dua kali lipat tahun ini serta pembatasan penarikan uang di bank. Tingkat inflasi Sudan yang mencapai 69 persen termasuk yang paling tinggi di dunia.

Tokoh terkemuka oposisi Sudan Sadiq al-Mahdi kembali ke Sudan pada Rabu (19/12), setelah mengasingkan diri selama hampir setahun, dan menyerukan peralihan demokratis di Sudan.

"Rezim yang berkuasa telah gagal dan terjadi kemunduranan ekonomi dan erosi nilai mata uang nasional," kata Mahdi, yang merupakan perdana menteri Sudan terakhir yang terpilih secara demokratis dan sekarang memimpin partai Umma, kepada ribuan pendukungnya.

Demonstrasi-demonstrasi pada Rabu dan Kamis termasuk di antara yang terbesar sejak kerumunan massa bangkit memprotes pemotongan subsidi negara tahun 2013.

Para pejabat mengatakan kepada Sudania 24 TV bahwa enam orang tewas dalam protes-protes di al-Qadarif, kota di bagian timur negara itu, dan dua lagi di negara bagian Sungai Nil di bagian utara. Mereka tidak memberikan rincian mengenai bagaimana orang-orang tersebut tewas.

Polisi menembakkan gas air mata untuk membubarkan kerumunan sekitar 500 orang di Khartoum, Ibu Kota Sudan, dan kemudian mengejar serta menangkap sejumlah pengunjuk rasa, kata seorang saksi mata.

Credit REPUBLIKA.CO.ID



https://m.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/18/12/23/pk6vse383-emir-qatar-tawarkan-dukungan-kepada-presiden-sudan







Selasa, 11 Desember 2018

Saudi: Tindakan Terhadap Qatar Ditujukan untuk Ubah Kebijakan Mereka


Saudi: Tindakan Terhadap Qatar Ditujukan untuk Ubah Kebijakan Mereka
Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Adel al-Jubeir menegaskan bahwa tindakan terhadap Qatar bertujuan untuk mengubah kebijakannya. Foto/Xinhua

RIYADH - Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Adel al-Jubeir menegaskan bahwa tindakan terhadap Qatar bertujuan untuk mengubah kebijakannya. Saudi dan negara-negara Dewan Kerjasama Teluk (GCC) menjatuhkan sejumlah sanksi kepada Qatar sejak setahun lalu.

Sanksi dan diplomatik dan ekonomi yang berlaku sejak Juni 2017 itu dijatuhkan setelah negara GCC menuduh bahwa Doha mendukung terorisme dan mencampuri urusan dalam negeri mereka, yang telah berulang kali ditolak oleh Doha.

Berbicara pada konferensi pers setelah berakhirnya KTT ke-39 GCC di Riyadh, dia mengatakan bahwa negara-negara anggota GCC yakin bahwa krisis dengan Qatar tidak akan berdampak pada dewan.

"Sikap terhadap Qatar datang untuk mendorong mereka untuk mengubah kebijakannya," kata al-Jubeir dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir Xinhua pada Senin (10/12).

Qatar sendiri hadir dalam pertemuan GCC di Ibu Kota Saudi itu. Dalam pertemuan itu Qatar diwakili Menteri Negara Luar Negeri Sultan bin Saad Al-Muraikhi.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal GCC, Abdul Latif al-Zayani dalam sesi penutupan pertemuan itu menuturkan bahwa peta jalan akan dikembangkan untuk mencapai tujuan dewan untuk memastikan kepentingan warga, disaat bersamaan meningkatkan keamanan di kawasan serta peran regional dan internasional dari GCC.




Credit  sindonews.com





Senin, 10 Desember 2018

Menlu Bahrain Kritik Emir Qatar Tidak Hadiri KTT Teluk di Saudi


Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, berfoto dengan sejumlah pemimpin negara-negara teluk seperti Raja Salman dari Arab Saudi dan Emir Qatar SheikhTamim Bin Hamad Al Thani. Reuters
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, berfoto dengan sejumlah pemimpin negara-negara teluk seperti Raja Salman dari Arab Saudi dan Emir Qatar SheikhTamim Bin Hamad Al Thani. Reuters

CB, Dubai – Menteri Luar Negeri Bahrain, Sheikh Khalid Bin Ahmed Al Khalifa, mengkritik keputusan pemerintah Qatar yang tidak mengirim delegasi tertinggi pada Konferensi Tingkat Tinggi Dewan Kerjasama Teluk atau Gulf Cooperation Countries Summit di Riyadh, Arab Saudi.


Pertemuan puncak tahunan ini digelar sehari pada Ahad, 9 Desember 2018.
“Emir Qatar seharusnya menerima permintaan sederhana (dari negara yang memboikot) dan menghadiri pertemuan puncak ini,” kata Sheikh Khalid Bin Ahmed Al Khalifa lewat cuitan di Twitter seperti dilansir Reuters pada Ahad, 9 Desember 2018 waktu setempat.
Emir Qatar, Sheikh Tamim Bin Hamad Al Thani, yang hadir pada pertemuan puncak GCC di Kuwait pada 2017, kali ini mengirimkan delegasi setingkat menteri, yang dipimpin Menteri Luar Negeri Soltan Bin Saad Al-Muraikhi.

Soal ini, Direktur Informasi Kemenlu Qatar, Ahmed Bin Saeed AlRumaihi, mengatakan pemerintah Qatar membuat keputusan sendiri soal ini. Dia menyebut saat Sheikh Tamim hadir di Kuwait pada 2017, sejumlah pemimpin negara Teluk justru tidak hadir.
 “Qatar  telah menghadiri pertemuan (tahun lalu) di Kuwait sementara para pemimpin dari negara yang memboikot tidak hadir,” kata Ahmed seperti dilansir Reuters.

Seperti dilansir Aljazeera, GCC merupakan forum yang dibentuk pada tahun 1980an untuk mempersatukan sejumlah negara Arab dan mengimbangi dua negara dominan di kawasan Teluk yaitu Irak dan Iran. Dewan ini beranggotakan enam negara yaitu Arab Saudi, Qatar, Kuwait, Oman, Uni Emirat Arab, dan Bahrain. Organisasi ini bertemu tiap tahun untuk membahas berbagai kerjasama dan urusan regional.
Pada pertemuan puncak kali ini, sejumlah isu penting bakal dibahas seperti kerja sama regional, solusi politik untuk perang di Yaman, dan pengaruh Iran.
Pengamat mengatakan, pemerintah Qatar sengaja mengirim delegasi level menteri untuk memberi kesan bahwa negara itu tidak ingin menjaga jarak dengan GCC.

Luciano Zaccara, seorang peneliti politik Teluk dari Qatar University, mengatakan kepada Aljazeera bahwa,”Pengiriman delegasi tingkat menteri ini untuk menunjukkan pemerintah Qatar tidak pernah enggan untuk melakukan dialog langsung.”
Pengamat lainnya, Jocelyn Sage Mitchell, yang merupakan profesor di Northwester University di Qatar meyakini partisipasi negara ini di pertemuan puncak GCC memberikan posisi lebih tinggi dalam konteks krisis diplomatik yang sedang terjadi.
“Baik Arab Saudi dan Qatar sama-sama memperoleh manfaat dari terus berpartisipasi di organisasi ini,” kata dia kepada Aljazeera.
Pemerintah AS telah menekan pemerintah Saudi agar mau berdamai dengan Qatar dan membangun persatuan antara sesama negara Teluk. AS berharap GCC bisa mengimbangi aktivitas Iran di Timur Tengah.




Credit  tempo.co



Amir Qatar takkan hadiri KTT Teluk di Arab Saudi

Amir Qatar takkan hadiri KTT Teluk di Arab Saudi
Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad al-Thani. (QNA)



Doha, Qatar (CB) - Amir Qatar takkan bergabung dengan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Teluk yang direncanakan diselenggarakan di Arab Saudi pada Ahad, kata seorang pejabat Qatar kepada Kantor Berita Anadolu pada Sabtu larut malam (8/12).

Pejabat tersebut, yang meminta tak disebutkan jatidirinya, mengatakan Tamim bin Hamad Ath-Thani takkan menghadiri KTT Ke-39 Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) di Arab Saudi dan hanya menteri luar negeri yang akan mewakili Qatar dalam pertemuan itu.

Qatar News Agency (QNA) mengatakan di dalam satu artikel bahwa undangan resmi dikirim kepada Ath-Thani oleh Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz untuk menghadiri KTT tersebut.


Undangan diserahkan kepada Sultan bin Saad Al-Muraikhi, Menteri Negara Qatar Urusan Luar Negeri, kata Kantor Berita Anadolu --yang dipantau Antara di Jakarta, Ahad siang.

GCC, kelompok enam negara yang kaya akan minyak di Teluk, terdiri atas Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, Oman, Bahrain dan Qatar.

Pada Juni tahun lalu, Arab Saudi, Mesir, UAE dan Bahrain secara bersama memutuskan hubungan dengan Doha, dan menuduh Qatar mendukung terorisme.

Poros pimpinan Arab Saudi tersebut juga memberlakukan embargo darat-laut-udara atas Qatar, yang terus-menerus membantah semua tuduhan itu.




Credit  antaranews.com



Jumat, 07 Desember 2018

Mesir: Hubungan dengan Qatar Belum Memungkinkan



Qatar
Qatar
Foto: AP
Qatar dinilai masih merongrong kerja sama dengan Arab.



CB, KAIRO -- Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shourky menilai belum ada hal yang memungkinkan untuk memulihkan hubungan negara-negara Teluk dengan Qatar. Sebab menurutnya Qatar belum mengubah kebijakan regional dan nasionalnya.
"Tidak ada perubahan dalam kebijakan nasionalnya (Qatar)," ujar Shourky, dikutip laman Asharq Al-Awsat pada Kamis (6/12).

Ia mengatakan, Qatar masih mengadopsi strategi permusuhan terhadap negara-negara Teluk. Perilaku regional Qatar terus merongrong kerja sama Arab. Hal itu memaksa Mesir dan negara Arab lainnya membentuk aliansi guna menghalangi kebijakan Doha.

Kendati demikian, ia menegaskan, Mesir dan negara Arab lainnya yang telah memutuskan hubungan dengan Qatar masih terbuka untuk berdialog.  Hal itu dapat dilakukan bila Qatar dengan tulus mengubah kebijakannya, menghentikan intervensinya terhadap urusan internal negara-negara lain, dan memprokosikan negara-negara terkait di medianya.



Sejak Juni tahun lalu, Arab Saudi, Mesir, Bahrain, dan Uni Emirat Arab memutuskan hubungan dengan Qatar. Keempat negara juga memberlakukan embargo melalui darat dan laut. Tindakan tersebut dilakukan karena Saudi dan koalisinya menuding Qatar memberi dukungan pada kelompok teroris di kawasan.

Keempat negara tadi kemudian mengajukan 13 tuntutan kepada Qatar. Tuntutan itu harus dipenuhi bila Qatar ingin terbebas dari blokade dan embargo. Namun Qatar telah menyatakan, poin-poin dalam tuntutan tersebut tidak realistis dan mustahil diwujudkan.

Adapun tuntutan itu antara lain meminta Qatar memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran, menghentikan pendanaan terhadap kelompok teroris, dan menutup media penyiaran Aljazirah.



Credit  republika.co.id

Rabu, 05 Desember 2018

Langka, Raja Salman Undang Emir Qatar Hadiri KTT Teluk di Saudi




Langka, Raja Salman Undang Emir Qatar Hadiri KTT Teluk di Saudi
Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud dari Arab Saudi. Foto/REUTERS/Tomohiro Oshumi


DOHA - Raja Salman bin Abdulaziz al-Saudi dari Arab Saudi mengundang Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani untuk menghadiri Gulf Cooperation Summit atau KTT Kerja Sama Teluk yang akan diadakan di Riyadh pada 9 Desember 2018.Undangan ini merupakan hal langka mengingat kedua negara masih berseteru setelah hubungan diplomatik terputus tahun lalu.

Kantor berita negara Qatar, QNA, melaporkan adanya undangan Raja Salman untuk Sheikh Tamim tersebut, yang dikutip Reuters, Rabu (5/12/2018).

Laporan itu muncul pada hari Selasa atau sehari setelah Qatar memutuskan keluar diri dari Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC).

QNA, dalam sebuah tweet, menulis; "Emir Qatar menerima undangan dari Raja Arab Saudi untuk pertemuan GCC". Namun, tidak apakah Sheikh Tamim akan melakukan perjalanan ke Kerajaan Saudi atau tidak.

Pada KTT Kerja Sama Teluk (GCC) yang diadakan di Kuwait tahun lalu, Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Bahrain mengirim menteri atau wakil perdana menteri, bukan kepala negara.

Kuwait, yang telah menengahi perseteruan Qatar dengab Saudi dan sekutuny, mengatakan pada bulan lalu enam negara anggota GCC diperkirakan akan menghadiri KTT Riyadh. Sampai saat ini, Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain dan Mesir masih melakukan blokade darat, laut dan udara terhadap Qatar sejak hubungan diplomatik terputus. Perseteruan dipicu oleh tuduhan bahwa Doha mmendukung terorisme, namun Qatar membantahnya.

Aliansi politik dan ekonomi yang dibentuk setelah Uni Eropa itu terpukul keras setelah kuartet Arab memutus hubungan diplomatik dengan Doha.

Amerika Serikat (AS), sekutu GCC, juga telah mencoba menengahi sengketa Teluk, yang dilihatnya sebagai risiko dalam upayanya untuk mengendalikan kekuatan regional Iran.

Qatar adalah rumah bagi pangkalan udara terbesar AS  di Timur Tengah.

Namun Arab Saudi dan Uni Emirat Arab telah berulang kali mengatakan menyelesaikan perselisihan bukanlah prioritas utama bagi mereka. 


Credit  sindonews.com


Qatar Keluar dari OPEC, Fokus Produksi Gas




Qatar Keluar dari OPEC, Fokus Produksi Gas
Qatar Keluar dari OPEC, Fokus Produksi Gas. (Reuters).


DOHA - Qatar menyatakan keluar dari OPEC mulai Januari mendatang untuk fokus pada industri gas. Qatar merupakan salah satu produsen minyak terkecil di OPEC namun menjadi eksportir gas alam cair (LNG) terbesar dunia.

Saat ini Qatar mengalami konflik diplomatik dengan Arab Saudi dan beberapa negara Arab lainnya. Doha menjelaskan keputusannya tidak dilandasi politik.

“Kami tidak mengatakan kami keluar dari bisnis minyak tapi ini dikontrol oleh satu organisasi yang dikelola satu negara,” papar Menteri Energi Qatar Saad al-Kaabi, dilansir kantor berita Reuters.

Al-Kaabi menjelaskan, keputusan Qatar telah dikomunikasikan pada OPEC dan Qatar akan menghadiri pertemuan OPEC pada Kamis (6/12) dan Jumat (7/12). Qatar juga menyatakan akan mematuhi komitmennya pada OPEC.

Dia menyatakan, Doha akan fokus pada potensi gasnya. “Tidak praktis bagi Qatar untuk menempatkan upaya dan sumber daya serta waktu dalam organisasi yang kami merupakan pemain sangat kecil dan saya tidak memiliki pendapat untuk apa yang terjadi,” ungkap dia.

Para delegasi OPEC yang terdiri dari 15 negara anggota akan menepis dampak mundurnya Qatar dari kelompok itu. Meski demikian, mundurnya salah satu anggota lama merusak upaya OPEC menunjukkan persatuan sebelum pertemuan yang diperkirakan bertujuan memangkas suplai minyak untuk mengatasi penurunan harga minyak mentah yang sudah mencapai hampir 30% sejak Oktober lalu.

“Mereka bukan produsen besar tapi memiliki peran besar dalam sejarah OPEC,” papar seorang sumber di OPEC.

Mundurnya Qatar menunjukkan menguatnya dominasi pembuatan kebijakan di pasar minyak antara Arab Saudi, Rusia dan Amerika Serikat (AS), tiga produsen minyak terbesar dunia yang secara total mencakup sepertiga output global.

Riyadh dan Moskow terus menerapkan pengurangan output minyak mentah. Harga acuan Brent diperdagangkan sekitar USD62 per barel, turun dari lebih USD86 per barel pada Oktober.

“Ini dapat menunjukkan titik balik sejarah organisasi itu terhadap Rusia, Arab Saudi dan AS,” ungkap mantan Menteri Energi Aljazair dan Chairman OPEC Chakib Khelil mengomentari langkah Qatar tersebut.

Khelil menjelaskan, mundurnya Doha akan memiliki dampak psikologis karena perselisihan dengan Riyadh dan dapat menjadi contoh untuk diikuti anggota lain di tengah berbagai keputusan sepihak oleh Saudi dalam beberapa waktu terakhir.

Al-Kaabi menyatakan, Qatar telah menajdi anggota OPEC selama 57 tahun dengan output minyak hanya 600.000 barel per hari (bpd), dibandingkan dengan Saudi dengan output 11 juta bpd. Namun Doha menjadi pemain berpengaruh dalam pasar LNG global dengan produksi tahunan 77 juta ton per tahun, berdasarkan besarnya cadangan energi di Teluk.


Credit  sindonews.com


Setelah 57 Tahun, Qatar Memutuskan Keluar dari OPEC



Setelah 57 Tahun, Qatar Memutuskan Keluar dari OPEC
Menteri Energi Qatar, Saad al-Kaabi mengumumkan penarikan diri Qatar dari OPEC. Foto/Aljazeera


DOHA - Menjelang pertemuan OPEC di markas besarnya di Wina, Austria, pada 6 Desember mendatang, kabar mengejutkan datang dari Qatar. Bakal tuan rumah Piala Dunia FIFA 2022 tersebut mengumumkan penarikan diri dari OPEC.

Melansir dari CNBC, Senin (3/12/2018), Menteri Energi Qatar, Saad al-Kaabi, mengatakan negaranya akan menarik diri dari OPEC terhitung 1 Januari 2019. Keputusan ini mengakhiri keanggotaan Qatar selama 57 tahun. Qatar sendiri bergabung ke OPEC pada 1961, setahun setelah organisasi ini berdiri.

Saad al-Kaabi mengatakan keputusan ini tidak ada kaitannya dengan boikot politik dan ekonomi yang telah berlangsung 18 bulan yang dilancarkan Arab Saudi. Ia menjelaskan, keputusan keluar dari OPEC untuk meningkatkan strategi jangka panjang dan kedudukan Qatar di kancah global.

Qatar merupakan produsen minyak terkecil di OPEC, bila dibandingkan dengan “sang pemimpin” Arab Saudi. Negara Teluk tersebut memproduksi minyak mentah sekitar 600.000 barel per hari. Namun, negara beribukota Doha itu dikenal sebagai salah satu penghasil gas alam cair (LNG) terbesar di dunia.

Keputusan Qatar keluar dari OPEC mengejutkan dan menjadi pemberitaan media massa internasional. “Keputusan Qatar menarik diri dari OPEC sangat mengejutkan, (meski bukan produsen utama) tapi keputusan ini berdampak signifikan terhadap pasar minyak,” ujar Peter Kiernan, analis energi utama di Economist Intelligence Unit kepada CNBC.

Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan anggota non-OPEC yaitu Rusia berencana mengadakan pertemuan di Wina, Austria, pada Kamis pekan ini, dengan tujuan mencapai kesepakatan dalam rencana pemangkasan produksi demi mendongkrak harga minyak.

Harga si emas hitam telah jatuh lebih dari 25% sejak naik ke puncak empat tahun pada awal Oktober. Kejatuhan harga minyak disebabkan kelebihan pasokan imbas produksi besar-besaran dari Amerika Serikat, Rusia dan Arab Saudi. Selain itu, harga minyak jatuh akibat kekhawatiran melembatnya pertumbuhan ekonomi global imbas perseteruan dagang AS dengan China.

Kini, harapan terhadap harga minyak kembali berkembang, seiring rencana pemangkasan produksi dan gencatan perdagangan AS dengan China. Adapun harga minyak mentah internasional, Brent diperdagangkan naik 4,7% menjadi USD62,25 per barel pada pukul 6:40 waktu London. Sementara harga minyak mentah berjangka AS, West Texas Intermediate naik 5% menjadi USD53,53 per barel. 


Credit  sindonews.com


Jumat, 30 November 2018

Qatar Siap Bangun Militer Mandiri dan Gandakan Pasukan


Pangkalan militer Al Udeid di Qatar.[www.gulf-insider.com]
Pangkalan militer Al Udeid di Qatar.[www.gulf-insider.com]

CB, Jakarta - Qatar akan melipatgandakan pasukan angkatan lautnya pada 2025 setelah pangkalan militer laut baru beroperasi dan memperluas program wajib militer di tengah perselisihan berlarut dengan negara tetangga untuk membuat militernya lebih mandiri.
Seperti tetangganya yang lebih besar, negara kecil tapi kaya gas itu telah menggunakan kekayaannya yang sangat besar untuk modernisasi militernya dengan mengucurkan puluhan miliar dolar untuk sistem senjata paling canggih di dunia.

Pejabat pertahanan Qatar mengatakan modernisasi telah direncanakan selama beberapa tahun terakhir sebelum boikot politik dan ekonomi yang dipimpin Arab Saudi yang diberlakukan sejak Juni 2017.


Pesawat C-17 yang digunakan untuk operasi transportasi terlihat di hanggar di pangkalan udara Al-Udeid di Doha, Qatar 26 November 2018.[REUTERS / Stringer]
Pejabat pertahanan juga mengatakan ketegangan diplomatik juga menyadarkan Qatar untuk meningkatkan kemampuan domestik militernya, sambil menunggu akhir perselisihan yang telah memecah blok Negara-negara Teluk yang dibentuk pada 1981 untuk kerja sama dalam masalah politik, ekonomi dan pertahanan.
"Anda tidak ingin meletakkan semua beban di bahu teman dan sekutu Anda. Pada tahap tertentu Anda harus membela diri sendiri," kata Menteri Pertahanan Qatar, Khalid al-Attiyah.

Pengamat mengatakan tantangan Qatar adalah untuk menyediakan sumber daya besar dan sistem yang berbeda, yang dimaksudkan untuk menopang aliansi strategis, akan mempersulit pelatihan.
"Mereka harus benar-benar membangun angkatan udara dan angkatan laut dari awal dengan sangat sedikit warga Qatar, di mana mereka akan mencari SDM untuk melakukan ini?" Kata Pieter Wezeman, peneliti senior di Stockholm International Peace Research Institute.

US Air Force KC-135 Stratotankers di landasan 379th Air Expeditionary Wing di pangkalan militer Al Udeid, Qatar, pada 19 Agustus 2017.(Foto National Air Guard AS oleh Master Sgt. Andrew J. Moseley via Washington Times)
"Jika Anda membandingkan ini dengan Belgia atau Swedia yang memiliki sekitar 10 juta orang untuk dipilih dan memiliki angkatan bersenjata yang lebih kecil dalam hal peralatan versus Qatar, ini akan menjadi tugas yang sangat besar."
Qatar memiliki lebih dari 300.000 warga dan bergantung pada ekspatriat dari negara-negara seperti Pakistan dan Sudan untuk mengisi militernya.
Para pejabat pertahanan mengatakan mereka bekerja untuk mendapatkan sebanyak mungkin pasukan dari orang Qatar ke dalam angkatan bersenjata tetapi menolak untuk mengungkapkan jumlah warga negara Qatar saat ini atau orang asing yang masuk militer.
Program wajib militer diperluas tahun ini menjadi 12 bulan dari tiga bulan dan akan mulai menerima perempuan Qatar secara sukarela untuk pertama kalinya pada tahun depan.

"Kami tidak akan menerima pilot asing untuk menerbangkan pesawat kami atau mengemudikan tank kami atau berlayar dengan kapal perang kami," kata Menteri Pertahanan Qatar, Attiyah.
Gelombang pertama dari enam F-15 akan tiba pada awal 2021 dan menggunakan minimal dua awak US Air Force dan 10 kru sewaan sampai pilot Qatar terlatih, kata Brigadir Jenderal Issa al-Mahannadi, yang mengawasi program F-15 untuk militer Qatar.




Credit  tempo.co






Senin, 19 November 2018

Taliban Adakan Pembicaraan dengan Utusan AS di Qatar


Taliban Adakan Pembicaraan dengan Utusan AS di Qatar
Utusan AS untuk rekonsiliasi Afghanistan, Zalmay Khalilzad. Foto/Istimewa

KABUL - Taliban telah mengadakan pembicaraan tiga hari dengan utusan Amerika Serikat (AS), Zalmay Khalilzad, di negara Teluk Qatar. Qatar adalah negara di mana kelompok pemberontak Afghanistan itu memiliki kantor politik.

Seorang pejabat Taliban dan sumber lain yang dekat dengan kelompok itu membenarkan pembicaraan itu. Pembicaraan tersebut bertujuan memperbarui proses perdamaian Afghanistan dan akhirnya mengakhiri perang terpanjang Amerika. Mereka berbicara dengan syarat anonim karena mereka tidak berwenang untuk membahas negosiasi.

Mereka mengatakan bahwa Khairullah Khairkhwa, mantan gubernur Taliban untuk Herat, dan Mohammed Fazl, mantan kepala militer Taliban, menghadiri pembicaraan maraton tersebut. Keduanya adalah mantan narapidana di penjara AS di Teluk Guantanamo seperti dikutip dari AP, Minggu (18/11/2018).

Taliban menguasai hampir setengah dari Afghanistan dan melakukan serangan hampir setiap hari terhadap pasukan keamanan lokal dan pejabat pemerintah.

Sebelumnya Kepala Staf Gabungan AS, Jenderal Joseph Dunford, mengatakan bahwa Taliban belum kalah di Afghanistan, dan masih banyak yang harus dilakukan untuk membawa perdamaian ke negara yang dilanda perang itu.

Dunford mengatakan bahwa sementara tidak akan pernah ada solusi militer sendiri untuk membawa perdamaian ke Afghanistan, AS dan NATO bekerja untuk meningkatkan tekanan militer, politik serta ekonomi untuk meyakinkan Taliban tertarik untuk bernegosiasi solusi politik atas krisis dengan pemerintah di Kabul. 





Credit  sindonews.com