Tampilkan postingan dengan label ICJ (International Court of Justice). Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ICJ (International Court of Justice). Tampilkan semua postingan

Selasa, 05 Maret 2019

OKI akan Bawa Kasus Rohingya ke Pengadilan Internasional


Sejumlah warga Rohingya menunggu di truk Polisi Myanmar untuk dibawa kembali menuju penampungan sementara yang didirika pemerintah di Desa ManSi dekat Sittwe, Negara Bagian Rakhinne, Myanmar, Rabu (21/11).
Sejumlah warga Rohingya menunggu di truk Polisi Myanmar untuk dibawa kembali menuju penampungan sementara yang didirika pemerintah di Desa ManSi dekat Sittwe, Negara Bagian Rakhinne, Myanmar, Rabu (21/11).
Foto: Nyunt Win/EPA EFE

OKI mendesak Myanmar bertanggungjawab atas kejahatan kemanusiaan.



CB.CO.ID, MESIR -- Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) telah mengadopsi resolusi untuk membawa kasus kekerasan Rohingya ke Pengadilan Internasional atau International Court of Justice (ICJ). Hal itu diumumkan Kementerian Luar Negeri Bangladesh, Senin (4/3).

"Resolusi untuk mengejar bantuan hukum melalui ICJ datang setelah serangkaian negosiasi panjang untuk mencari pertanggungjawaban atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) dalam kasus Rohingya di Myanmar," kata Kementerian Luar Negeri Bangladesh dalam sebuah pernyataan, dikutip laman Daily Star.

Menurut Bangladesh, keputusan mengadopsi resolusi itu dilakukan setelah Gambia memimpin pertemuan dengan 10 anggota komite tingkat tinggi OKI. Pertemuan perdana dilaksanakan di Ibu Kota Gambia Banjul pada 10 Februari lalu.

Komite itu merekomendasikan untuk mengambil langkah-langkah sesuai dengan prinsip hukum internasional, terutama Konvensi Genosida serta prinsip-prinsip HAM dan hukum humaniter lainnya.

Tindakan bulat tersebut menjadi preseden bagi OKI untuk menempuh jalur hukum guna memperoleh keadilan dalam menangani kejahatan kemanusiaan terhadap Rohingya. Termasuk menetapkan hak-hak merka untuk mendapatkan kewarganegaraan yang sah di tanah asalnya, yakni Negara Bagian Rakhine, Myanmar.

Kekerasan terhadap etnis Rohingya terjadi pada Agustus 2017, tepatnya ketika militer Myanmar memburu anggota Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). Warga sipil Rohingya turut menjadi sasaran tindakan brutal dan represif pasukan Myanmar.

Kejadian itu segera memicu gelombang pengungsi ke Bangladesh. Saat ini terdapat lebih dari 750 ribu pengungsi Rohingya yang hidup di kamp-kamp di zona perbatasan Bangladesh-Myanmar, yakni Cox's Bazar.




Credit  republika.co.id





Jumat, 15 Februari 2019

Mahkamah Internasional Tolak Klaim AS Atas Aset Iran

Mahkamah Internasional Tolak Klaim AS Atas Aset Iran
Foto/Ilustrasi/SINDOnews/Ian

THE HAGUE - Mahkamah Internasional (ICJ) menolak keberatan Amerika Serikat (AS) atas permintaan Iran untuk memulihkan asetnya yang dibekukan senilai USD1,75 miliar. AS mengklaim, aset tersebut harus diberikan kepada para korban serangan yang terkait dengan Teheran.

ICJ juga menegaskan bahwa ia memiliki yurisdiksi atas kasus yang diajukan oleh Iran pada 2016 itu terhadap AS.

Pengadilan tertinggi PBB juga menolak keberatan AS atas dugaan dukungan terorisme Iran dengan alasan tidak memiliki bukti dalam masalah tersebut seperti dilansir dari Anadolu, Kamis (14/2/2019).

Pada 2016, Mahkamah Agung AS memutuskan bahwa bank sentral Iran harus membayar lebih dari USD2 miliar sebagai kompensasi dari dana AS yang dibekukan kepada keluarga korban serangan teroris yang terkait dengan Teheran.

Pengadilan Amerika memutuskan Kongres bertindak tepat ketika mengeluarkan undang-undang pada 2012 yang memungkinkan keluarga untuk mengumpulkan USD2,6 miliar sebagai kompensasi dari dana yang dibekukan di bank sentral Iran.

Kompensasi untuk keluarga 241 Marinir yang tewas dalam serangan teroris 1983 di Beirut, dijatuhkan oleh pengadilan federal pada 2007.

Para penggugat menuduh Iran memberikan dukungan materi kepada Hizbullah, kelompok milisi Syiah yang didukung Teheran, untuk melakukan serangan bom truk tahun 1983 di kompleks Marinir di Beirut, serta serangan-serangan lainnya, termasuk pemboman truk Menara Khobar 1996 di Arab Saudi yang menewaskan 19 tentara AS.

ICJ yang didirikan pada Juni 1945 adalah organ peradilan utama PBB.





Credit  sindonews.com






Kamis, 04 Oktober 2018

AS Keluar dari Protokol Mahkamah Internasional


AS Keluar dari Protokol Mahkamah Internasional
Ilustrasi (morgueFile/click)


Jakarta, CB -- Amerika Serikat menghentikan perjanjian internasional terkait pengadilan tinggi PBB, Rabu (3/10). Langkah ini diambil setelah Pekan lalu, Palestina mengadukan AS ke pengadilan internasional ini.

Penasihat keamanan nasional Trump, John Bolton, mengatakan Amerika Serikat menyatakan keluar dari protokol mengenai Pengadilan Internasional di Den Haag.

"Ini terkait dengan kasus yang dibawa oleh Palestina dan menjadikan Amerika Serikat sebagai terdakwa. (Mereka) menentang langkah kami (yang memindahkan) kedutaan kami dari Tel Aviv ke Yerusalem," katanya kepada wartawan di Gedung Putih, seperti dilansir AFP.


Bolton mengatakan bahwa Amerika Serikat keluar dari Protokol Opsional 1961 dan Penyelesaian Sengketa yang terangkum dalam Konvensi Wina. Kedua konvensi inilah yang menetapkan Mahkamah Internasional sebagai "yurisdiksi wajib" untuk menyelesaikan perselisihan antar negara. Kecuali negara bersangkutan memutuskan untuk menyelesaikannya di tempat lain.

Palestina mengadukan AS ke Mahkamah Internasional setelah negara itu memindahkan kedutaan besarnya di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.

Hal ini dianggap Palestina sebagai pengakuan AS bahwa Yerusalem adalah ibukota Israel. Padahal wilayah itu masih menjadi sengketa antara kedua negara.

Langkah AS ini dianggap sebagai serangan terbaru terhadap sistem peradilan internasional oleh pemerintahan Presiden Donald Trump. Sebelumnya, Trump juga sempat menolak otoritas Pengadilan Pidana Internasional ini saat berpidato di sidang umum PBB.


Meski demikian, Amerika Serikat akan tetap menjadi bagian dari konvensi yang mendasari pendirian Mahkamah Internasional. Lebih lanjut AS berharap agar negara-negara lain "untuk mematuhi kewajiban internasional mereka", kata Bolton.

Tahun lalu Trump tak lagi berpegang pada preseden lama dan menyatakan bahwa Yerusalem adalah ibu kota Israel. Ia pun lantas memindahkan kedutaannya ke kota itu.

Langkah itu memicu kemarahan warga Palestina yang menginginkan kota suci itu sebagai ibu kota mereka. Presiden AS sebelumnya memang tak pernah mendeklarasikan hal tersebut lantaran berharap ada penyelesaian damai antara Palestina dan Israel.

Pemimpin Palestina Sabtu (29/10) lalu mengajukan gugatan ke Pengadilan Internasional terkait pemindahan kedutaan oleh AS ini. Ia pun menyebut langkah itu sebagai pelanggaran hukum internasional.

Majelis Umum PBB pun membuka jalan bagi negara itu untuk bergabun dengan pengadilan internasional. Pada 2012 PBB mengakui Otoritas Palestina sebagai negara pengamat non-anggota.

Di hari yang sama, kemarin, AS menarik dua keikutsertaannya dalam berbagai konvensi. Sebelum mengumumkan menarik diri dari konvensi pengadilan internasional ini, sebelumnya Menteri Luar Negeri Mike Pompeo mengakhiri perjanjian persahabatan tahun 1955 dengan Iran. Saat itu perjanjian dengan Iran disepakati dengan pimpinan Syah yang pro-Barat.

Langkah ini dilakukan setelah Iran mengutip perjanjian itu ketika berusaha mengakhiri sanksi baru AS yang diberlakukan oleh Trump. Sanksi itu dijatuhkan untuk menekan Iran terkait program pembatasan nuklir dari rezim ulama mereka.

Pengadilan Internasional memutuskan bahwa Amerika Serikat harus mengizinkan pengiriman barang-barang kemanusiaan seperti obat-obatan. Tapi Washington bersikeras bahwa pengiriman barang tersebut telah diizinkan.

Bolton mengatakan pengadilan, "gagal untuk menyadari bahwa ia tidak memiliki yurisdiksi apapun untuk mengeluarkan perintah sehubungan dengan sanksi yang dikenakan Amerika Serikat."

"Sebaliknya, pengadilan malah membuatIran menggunakannya sebagai forum propaganda," katanya. 





Credit  cnnindonesia.com



Mahkamah Dunia perintahkan AS tidak ganggu bantuan kemanusiaan ke Iran


Mahkamah Dunia perintahkan AS tidak ganggu bantuan kemanusiaan ke Iran
Presiden Amerika Serikat Donald Trump (REUTERS/Carlos Barria)




Den Haag (CB) - Mahkamah Dunia pada Rabu memerintahkan Amerika Serikat memastikan bahwa hukuman terhadap Iran tidak memengaruhi bantuan kemanusiaan atau keselamatan penerbangan sipil.

Hakim Mahkamah Antarbangsa (ICJ) itu memberikan kemenangan kepada Iran, yang berpendapat bahwa hukuman sejak Mei oleh pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump melanggar ketentuan Perjanjian Hubungan Baik di antara kedua negara tersebut pada 1955, menurut laporan Reuters.

Putusan itu cenderung berdampak terbatas pada pelaksanaan hukuman tersebut, yang Washington kenakan kembali dan perketat sesudah menarik diri dari kesepakatan nuklir pada 2015. Kesepakatan ditandatangani Iran dan sejumlah kekuatan dunia.

ICJ adalah mahkamah tertinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menyelesaikan perselisihan antar-negara. Keputusannya mengikat, tapi tidak ada kekuatan untuk menegakkannya. Baik Amerika Serikat maupun Iran pada masa lalu secara efektif mengabaikan keputusan mahkamah dalam perkara yang mereka bawa untuk melawan satu sama lain.

Pengadilan menemukan bahwa jaminan tawaran Washington pada Agustus, bahwa negara itu akan melakukan yang terbaik untuk memastikan hukuman tidak memengaruhi keadaan kemanusiaan, "tidak cukup menangani sepenuhnya masalah kemanusiaan dan keselamatan" seperti yang diangkat Iran.

"Pengadilan itu menganggap Amerika Serikat harus, sejalan dengan kewajibannya di bawah perjanjian 1955, menghapus halangan apa pun yang timbul akibat tindakan-tindakan yang diumumkan pada 8 Mei 2018," kata Hakim Ketua Abdulqawi Yusuf, yang membacakan ringkasan putusan majelis beranggotakan 15 hakim.

Hukuman tersebut jangan sampai menganggu pengiriman ke wilayah Iran barang-barang kebutuhan kemanusiaan, seperti, obat, peralatan kesehatan dan bahan makanan dan dagangan pertanian serta barang dan jasa, yang dibutuhkan untuk keselamatan penerbangan sipil, katanya.

Washington pada bulan lalu berpendapat bahwa permintaan Iran adalah upaya menyalahgunakan pengadilan itu. AS juga berpendapat bahwa perjanjian 1955 secara khusus mengesampingkan penggunaan pengadilan untuk menyelesaikan sengketa.

Perjanjian itu ditandatangani jauh sebelum Revolusi Islam muncul pada 1979, yang mengubah kedua negara tersebut menjadi musuh bebuyutan.

Penasihat Hukum Departemen Luar Negeri Amerika Serikat Jennifer Newstead menyatakan perselisihan nyata Iran adalah keputusasaan Iran atas rencana Amerika Serikat keluar dari perjanjian nuklir pada 2015. Berdasarkan kesepakatan itu, Iran setuju mengekang kegiatan nuklirnya dengan imbalan pencabutan hukuman antarbangsa.


Langkah sepihak Amerika Serikat tersebut ditentang negara-negara lain, yang menjadi pihak dalam perjanjian itu, termasuk sekutu dekat Washington di Eropa, Inggris, Prancis dan Jerman, serta Rusia dan China.

Meskipun dunia mengecam, Washington memaksakan langkah itu. Rangkaian hukuman baru akan diberlakukan pada 4 November untuk secara tajam membatasi ekspor minyak Iran.




Credit  antaranews.com


Mahkamah Internasional Akan Putuskan Gugatan Iran atas AS


Mahkamah Internasional Akan Putuskan Gugatan Iran atas AS
Ilustrasi. (Pixabay/Succo)


Jakarta, CB -- Mahkamah Internasional (ICJ) akan memutuskan permintaan Iran soal pencabutan sanksi Amerika Serikat terhadap negaranya hari ini, Rabu (3/10).

Sekitar akhir Agustus lalu, Iran meminta ICJ memerintahkan AS mencabut sanksi yang dijatuhkan Presiden Donald Trump terhadap Teheran setelah AS menarik diri dari perjanjian nuklir 2015 dengan Iran.

Dalam gugatan ke ICJ, Iran menyatakan bahwa sanksi AS sangat merusak perekonomian yang sudah lemah, dan melanggar ketentuan Perjanjian Persahabatan 1955 antara Iran dan Amerika Serikat.


Iran meminta pengadilan tertinggi di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu menangguhkan sanksi AS sembari mendengar penjelasan negaranya secara menyeluruh terkait ketaatannya pada perjanjian nuklir tersebut.


Dikutip Reuters, Washington menganggap permintaan Iran tersebut merupakan upaya penyalahgunaan pengadilan.

Pengacara Kementerian Luar Negeri AS, Jennifer Newstead, juga mengatakan Perjanjian Persahabatan 1955 tidak dapat dijadikan dasar "sebagai yurisdiksi pengadilan dalam kasus ini."


Newstead juga menyebut perjanjian persahabatan secara khusus mengesampingkan pengadilan untuk menyelesaikan sengketa.

Relasi kedua negara memanas setelah Trump menarik AS keluar dari perjanjian nuklir antara Iran dan lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB pada Mei lalu.

Trump menganggap perjanjian nuklir Iran itu curang. Dia menuding Iran terus mengembangkan program senjatanya.

Tak lama setelahnya, Trump memutuskan memberlakukan kembali sanksi terhadap Teheran secara sepihak. Rangkaian sanksi baru AS terhadap Iran akan berlaku 4 November mendatang.

Sementara itu, selama ini ICJ merupakan badan peradilan tertinggi PBB yang berfungsi menyelesaikan sengketa internasional.

Keputusan ICJ mengikat secara hukum, tapi tidak memiliki kekuatan untuk menegakkan. Dalam beberapa kasus, keputusan ICJ bahkan diabaikan banyak negara, termasuk AS.



Credit  cnnindonesia.com




Rabu, 29 Agustus 2018

AS: Mahkamah Internasional Tak Berwenang soal Sanksi Iran


AS: Mahkamah Internasional Tak Berwenang soal Sanksi Iran
Ilustrasi. (Pixabay/Succo)


Jakarta, CB -- Amerika Serikat mengatakan mahkamah internasional (ICJ) tak memiliki kewenangan menanggapi permintaan Iran untuk menangguhkan sanksi yang dijatuhkan Washington terhadap negaranya.

"Pengadilan tidak memiliki kaidah dasar atau prima facie yurisdiksi untuk merespons permintaan Iran," ucap pengacara Kementerian Luar Negeri AS, Jennifer Newstead, dalam sidang di Den Haag, Selasa (28/8).

Newstead berdalih bahwa sanksi yang dijatuhkan AS kepada Iran merupakan hak untuk melindungi kepentingan keamanan nasional Negeri Paman Sam.



Dikutip AFP, dia menganggap Perjanjian Persahabatan 1955 antara AS-Iran selama ini "tidak dapat dijadikan dasar bagi yurisdiksi pengadilan" dalam kasus ini.



Pernyataan itu diutarakan Newstead menanggapi gugatan Iran yang meminta ICJ memerintahkan AS mencabut sanksi yang kembali dijatuhkan kepada negaranya.

Sanksi unilateral itu diterapkan kembali terhadap Iran setelah Presiden Donald Trump menarik AS keluar dari perjanjian nuklir 2015.

Dalam gugatan itu, Iran menyatakan bahwa sanksi AS sangat merusak perekonomian yang sudah lemah, dan melanggar ketentuan Perjanjian Persahabatan 1955 antara Iran dan Amerika Serikat.


Saat persidangan pertama pada Senin (27/8), pengacara Iran mengatakan sanksi AS mengancam kesejahteraan warganya.

Selain itu, tekanan tersebut juga merugikan bisnis Iran hingga miliaran dolar karena para pengusaha lebih memilih kehilangan bisnis di Iran, ketimbang dilarang membuka usaha di AS.

Mahkamah Internasional adalah badan di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). ICJ dibentuk guna menyelesaikan perselisihan internasional.

Keputusan ICJ mengikat secara hukum, tapi tidak memiliki kekuatan untuk menegakkan. Dalam beberapa kasus, keputusan ICJ bahkan diabaikan banyak negara, termasuk AS.





Credit  cnnindonesia.com




Selasa, 28 Agustus 2018

Mahkamah Internasional sidangkan tuntutan Iran agar AS cabut sanksi


Mahkamah Internasional sidangkan tuntutan Iran agar AS cabut sanksiPresiden Iran Hassan Rouhani. ((Bozoglu/Pool via Reuters))




Den Haag (CB) - Tim pengacara Iran, Senin, meminta Mahkamah Internasional (ICJ) agar memerintahkan Amerika Serikat untuk mencabut sanksi-sanksi yang diterapkan pemerintahan Presiden Donald Trump terhadap Teheran.

Ketua hakim badan peradilan Perserikatan Bangsa-Bangsa itu memulai persidangan dengan meminta Washington untuk menghormati hasilnya.

Selama masa permusuhan, baik Amerika Serikat maupun Iran telah mengabaikan beberapa putusan mahkamah, yang secara tak resmi dikenal sebagai Pengadilan Dunia, tersebut.

Menurut tuntutan hukum yang diajukan ke ICJ (International Court of Justice), sanksi-sanksi AS yang merusak perekonomian Iran -yang selama ini sudah lemah, telah melanggar perjanjian persahabatan antara kedua negara.

"AS secara terbuka menyebarkan kebijakan yang ditujukan untuk separah mungkin merusak perekonomian Iran serta perusahaan-perusahaan nasional Iran, dan karena itu pasti (berdampak pada, red) rakyat Iran," kata Mohsen Mohebi, yang mewakili Iran, di awal persidangan empat hari.

"Kebijakan itu jelas-jelas melanggar Perjanjian Persahabatan 1955," katanya.

Mohebi mengatakan Iran telah mengupayakan penyelesaian diplomatik atas sengketa-sengketa yang melibatkan kedua negara, namun upaya itu ditolak, demikian Reuters melaporkan.

Amerika Serikat mengatakan dalam tanggapan tertulis yang diperlihatkan di pengadilan bahwa pihaknya meyakini ICJ tidak punya kewenangan dalam kasus tersebut.

AS juga mengatakan pernyataan-pernyataan Iran sangat tidak mencerminkan perjanjian tersebut.


Para pengacara AS, yang dipimpin penasihat Departemen Luar Negeri Jennifer Newstead, yang diangkat Trump pada 2017, dijadwalkan menyampaikan tanggapan pada Selasa.

Putusan ICJ diperkirakan akan keluar dalam waktu satu bulan, walaupun tanggalnya belum ditentukan.

ICJ adalah pengadilan PBB untuk menyelesaikan sengketa-sengketa internasional.

Putusan ICJ bersifat mengikat, namun tidak memiliki kekuatan untuk dapat diberlakukan.

Presiden Donald Trump menarik AS keluar dari perjanjian 2015, yang dicapai Iran dan sejumlah negara kuat.

Berdasarkan kesepakatan tersebut, sanksi-sanksi dicabut sebagai imbalan atas kesediaan Teheran mengekang program nuklirnya.

Trump kemudian mengumumkan rencana sepihak AS untuk memberlakukan kembali sanksi-sanksi terhadap Teheran.





Credit  antaranews.com