Kamis, 03 September 2015

IMF dan "Malapraktik" Ekonomi Indonesia pada 1998


 
JB Suratno Direktur Pelaksana IMF Michel Camdessus menyaksikan Presiden Soeharto menandatangani nota kesepakatan bantuan Dana Moneter Internasional di Jalan Cendana.

JAKARTA, CB — Kedatangan bos IMF, Christine Lagarde, ke Indonesia di tengah kondisi perekonomian nasional yang saat ini melemah seakan mengingatkan kejadian saat krisis ekonomi 1998.

Saat itu, 17 tahun silam, lembaga pendanaan internasional itu datang menawarkan berbagai "obat" bagi perekonomian Indonesia yang sedang "sakit". Namun, menurut ekonom Universitas Gadjah Mada, Tony Prasetiantono, "obat" yang diberikan IMF itu kenyataannya telah gagal menolong perekonomian Indonesia.

Indonesia pun trauma atas "malapraktik" ekonomi 1998 itu. "Waktu itu, IMF lalai dan kita trauma. Kita nggak mau sekarang berhubungan dengan IMF. IMF sendiri yang dikritik seluruh dunia. Ekonom-ekonom top, termasuk Joseph Stiglitz, juga mengkritik IMF. Jadi, 'malapraktik', memberikan 'obat' yang enggak cocok," ujar Tony di Kantor Bank Indonesia (BI), Jakarta, Rabu (2/9/2015).

Dari berbagai "obat" yang disarankan IMF, ada beberapa yang ternyata tak tepat diterapkan di Indonesia. Pertama, kata Tony, ialah pemangkasan subsidi. Menurut ekonom UGM itu, Indonesia merupakan negara yang masih memerlukan subsidi untuk mendorong sektor-sektor tertentu.

Hal itu merupakan ciri khas Indonesia yang tidak bisa disamakan dengan kondisi ekonomi di negara-negara Amerika Latin, layaknya Meksiko dan Brasil, yang saat itu juga mengalami krisis ekonomi.

Paket kebijakan yang diberikan IMF terdiri dari 10 poin yang dikenal dengan Washington Consensus, yang berhasil diterapkan kepada negara di Amerika Latin, tetapi tidak bagi Indonesia.

"Kalau saya sakit, misalnya, kan diinfus, tetapi kalau tiba-tiba dicabut kan nggak bagus, harus ada persiapan yang lain. Subsidi juga begitu. Nah, IMF dulu salahnya di situ," kata dia sembari menganalogikan saran pencabutan subsidi 17 tahun silam.

Selain itu, IMF juga salah dalam memberikan "suntikan dengan dosis" yang tepat ke Indonesia. "Itu nggak cukup dosisnya. Kita cadangan devisa waktu itu 20 miliar dollar AS, terus disuntik selama 16 bulan, total jadi 36 miliar dollar AS. Enggak cukup untuk krisis Indonesia yang utangnya 130 miliar dollar AS. Jadi, obatnya baik, tetapi nggak cocok dosisnya," ucap dia.

Kesalahan fatal terjadi lantaran IMF menyamaratakan krisis ekonomi yang menimpa sejumlah negara pada 1998 silam. Oleh karena itu, dia yakin kedatangan Lagarde ke Indonesia tak akan memberikan dampak apa pun.






Credit  KOMPAS.com