Jumat, 25 September 2015

Jaga Kedaulatan Udara dengan Jet Tempur Rusia


Jaga Kedaulatan Udara dengan Jet Tempur Rusia
Pesawat jet tempur Sukhoi Su-35 buatan Rusia yang tengah pamer kemampuan di pameran dirgantara Paris Air Show. (REUTERS/Pascal Rossignol)

"Kami sepakat membeli satu skuadron pesawat SU-35 dari Rusia untuk menggantikan jet tempur F-5 Tiger," ujar Ryamizard. 

Rencana pembelian Sukhoi SU-35, Ryamizard menjelaskan, juga sudah diberi lampu hijau oleh Presiden Joko Widodo. Dia menyebut pada akhir bulan September, rencananya Kemhan akan bertemu dengan perwakilan dari Rusia untuk membicarakan pembelian salah satu alat utama sistem persenjataan itu. 

Skuadron jet tempur Sukhoi ini akan memperkuat 16 jet tempur Sukhoi lainnya yakni SU 27 SKM dan SU 30 MK2 yang telah bermarkas di Makassar. Mereka dinamakan Sukadron Udara Tempur 11. 

Dikutip dari laman Russia Beyond the Headlines, Ryamizard menjelaskan, alasan Indonesia membeli pesawat karena pilot TNI Angkatan Udara sudah terbiasa mengoperasikan jet tempur buatan Negeri Beruang Merah itu. 

Terkait dengan pembelian, jet tempur Sukhoi akan dibeli dalam beberapa tahap menyesuaikan kapasitas keuangan negara. Diprediksi total harga pembelian pesawat jet tempur itu memakan biaya hingga Rp35 triliun.

Ryamizard pun menepis anggapan rencana pembelian terganggu karena situasi ekonomi global saat ini. 

"Sudah ada pagunya, tinggal dilaksanakan saja, kalau rencana sudah oke. Kalau resapan berjalan semua pasti ekonomi akan berjalan dengan bagus. Hampir ekonomi semua negara baik Rusia, Tiongkok dan Malaysia babak belur ya, jadi jangan terlalu menyalahkan pemerintah," kata mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) di era kepemimpinan mantan Presiden Megawati itu. 

Saat itu dia juga membantah dengan membeli alutsista dari Rusia, berarti Indonesia berpihak kepada mereka. Ryamizard menegaskan, Indonesia menjalin kerja sama dengan negara mana pun. Bahkan, selain dari Rusia, Kemhan turut membeli alutsista dari Tiongkok dan Amerika Serikat. 

"Kita juga beli Boeing, helikopter, pesawat angkut berat dan Hercules. Jadi balance. Dengan Amerika kita kawan, begitu pula dengan Rusia dan Tiongkok. Kita negara yang tidak membentuk blok, sehingga semua dianggap kawan dan tidak ada musuh," kata Ryamizard. 

Sementara, Direktur Jenderal Perencanaan Pertahanan Kemhan, Marsekal Muda TNI M. Syaugi menjelaskan alasan lain membeli Sukhoi yaitu sudah ada kerja sama di antara kedua negara berdasarkan UU No. 16 tahun 2012 mengenai Industri Pertahanan.

"Ada transfer of technology (TOT), ada offset industri dan ada imbal data. Itu ada semua. UU Industri Pertahanan Nomor 16 tahun 2012 kan begitu," ujar Syaugi. 

Offset yang dimaksud dalam UU tersebut yaitu ada komponen tertentu yang dibuat di Indonesia, sehingga tak semuanya diproduksi oleh Rusia.

Sementara, anggota Komisi I DPR RI, Salim Mengga, mengatakan pembelian pesawat Sukhoi SU-35 bisa untuk mengimbangi kekuatan angkatan udara negara tetangga. Ditemui di gedung DPR RI, kawasan Senayan, Jakarta pada 11 September lalu, kekuatan udara negara tetangga terus berkembang dengan burung besi generasi ketiga. 

Malaysia, bahkan sudah lebih dulu memesan pesawat tempur F-35 dan Sukhoi SU-35. Langkah serupa juga dilakukan Singapura dan Australia yang telah membeli F-35. Negeri Kanguru bahkan diketahui sudah mendatangkan 58 unit F-35 untuk menjaga wilayah udara mereka. 

Menurut Salim, Indonesia harus belajar dari pengalaman sempat diembargo oleh AS sehingga kesulitan mencari sparepart pesawat. 

"Kita cari alutsista yang risikonya rendah. Misalnya, kita beli F-16, tetapi dalam perjanjiannya, kita tidak boleh menggunakannya untuk kepentingan keamanan dalam negeri, lalu untuk apa (dibeli)? Jadi, kita cari yang syaratnya ringan. Dengan Rusia, tidak terlalu banyak risikonya," kata Salim. 

Selain itu, tantangan untuk mempertahankan kedaulatan, khususnya udara kian berat. 

"Kita harus tingkatkan pertahanan untuk mengantisipasi konflik di kawasan Asia Tenggara, termasuk di Laut China Selatan," ujar dia. 

Teknologi Canggih 

TNI AU tentu memilih Sukhoi SU-35 bukan tanpa alasan. Pesawat tersebut tergolong sebagai pesawat generasi ke-4++ dan tepat berada di bawah pesawat siluman generasi kelima. Laman Russia Beyond the Headlines edisi, 4 September 2015 melansir SU-35 bahkan diklaim lebih unggul jika dibandingkan F-16 dan F-18 yang berbasis teknologi tahun 1970-an. Sukhoi yang dijuluki Super Flanker itu juga diketahui baru masuk ke dalam perbendaharaan senjata AU Rusia.

Informasi dari Air Force Technology, SU-35 memiliki kemampuan manuver yang tinggi (+9g) dengan sudut penyerangan yang tinggi. Dilengkapi dengan sistem senjata canggih, membuat pesawat ini memiliki kemampuan tempur luar biasa. 

Sukhoi SU-35 bisa melaju dengan kecepatan maksimum mencapai 2.390 kilometer per jam atau Mach 2,25. Majalah Air Technology bahkan juga menyebut SU-35 mampu mengangkut sejumlah misil udara-ke-udara, udara-ke-permukaan dan misi anti kapal. Pesawat juga dapat dipersenjatai dengan beragam bom terarah, sedangkan sensornya mampu mendeteksi serta melacak hingga 30 target udara dengan radar cross section (RCS) dalam radius 400 kilometer menggunakan moda lacak-dan-pindai. 

Walaupun tak memiliki kemampuan siluman, Sukhoi SU-35 tetap bisa "menghilang" dan tak terlihat di radar musuh pada beberapa kondisi tertentu.


Keunggulan Sukhoi SU-35 juga diakui oleh pengamat militer, Connie Rahakundini Bakrie. Dihubungi VIVA.co.id melalui pesan pendek pada Rabu malam, 23 September 2015, SU-35 telah mengambil alih peran secara umum ke-5 jet tempur AS.

"Irbis radar-control yang terpasang pada SU-35 mampu mendeteksi 30 target dalam jarak 400 kilometer. Sementara, radar yang terpasang pada F-22 hanya mampu melihat jet tempur lawan sejauh 240 kilometer saja," papar Connie. 

Pesawat jet tempur Rusia itu juga diakui unggul dalam hal jelajah dan sistem pertahanan. Dengan teknologi Irbis E-, ujar Connie, Sukhoi SU-35 bisa menangkis serangan jamming yang dilancarkan musuh. Connie beranggapan TNI AU sengaja memilih Sukhoi SU-35 tidak hanya mempertimbangkan pengalaman pernah diembargo AS, tetapi juga adanya keseimbangan kekuatan yang menjadi faktor penentu. 

Ketika ditanya ideal jumlah pesawat yang dibutuhkan TNI AU untuk menjaga kedaulatan udara, Connie mengatakan hal tersebut bisa dihitung dengan cara yuridiksi nasional berbanding kecepatan pesawat. 

"Hal lain yang ikut berpengaruh adalah ancaman yang ada, sehingga bisa mempengaruhi besaran skuadron di tiap pangkalan udara," kata wanita yang meraih gelar doktor politik dari UI itu. 

Irit Bicara

Ketika dikonfirmasi mengenai rencana pembelian jet tempur Sukhoi SU-35, Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Mikhail Y. Galuzin, yang ditemui pada Rabu siang kemarin terlihat irit bicara. Sama seperti rencana pembelian yang dilakukan tahun 2013 lalu, Galuzin mengaku tidak diberikan kewenangan oleh Moskow untuk berbicara mengenai hal tersebut.

"Saya tidak bisa mengomentari hal tersebut lebih jauh, karena tidak berwenang memberikan pernyataan apa pun mengenai isu itu," kata Galuzin. 

Namun, dia mengaku puas dengan rencana Indonesia yang tetap akan merealisasikan pembelian Sukhoi SU-35. 

"Seperti yang telah kami sampaikan sebelumnya, kami siap untuk melakukan transfer of technology (TOT) terhadap Indonesia," ujar diplomat yang pernah bertugas di Jepang. 

Galuzin baru bersedia berkomentar lebih banyak jika upacara serah terima pesawat telah dilakukan. 

Sementara, Duta Besar RI untuk Rusia, Djauhari Oratmangun, yang dihubungi melalui telepon oleh VIVA.co.id pada Rabu malam menyebut belum ada pertemuan antara Rusia dengan Indonesia usai Menhan Ryamizard memutuskan untuk tetap membeli Sukhoi SU-35. 

"Kan masih proses di dalam negeri. Belum ada kesepakatan mengenai pembelian. Soal lama atau tidak keputusan pembelian, maka hal tersebut tergantung dari negosiasi di pihak yang membutuhkan dan pemasok," ujar Djauhari. 

Lagipula, kata Djauhari, industri pesawat terbang untuk pesawat tempur merupakan industri strategis, sehingga membutuhkan penangan yang berbeda. Proses realisasi pembelian Sukhoi SU-35 pun, Djauhari menambahkan, masih cukup jauh. 


Credit  VIVA.co.id