Selasa, 22 September 2015

Rusia Kirim 28 Pesawat Tempur ke Suriah


Rusia Kirim 28 Pesawat Tempur ke Suriah  
Ilustrasi SU-24 milik militer Rusia. (Norwegian NATO Qra Bod)
 
Washington, D.C., CB -- Operasi militer Rusia di Suriah kian meningkat. Kini, pejabat Amerika Serikat mengklaim bahwa Rusia telah menerjunkan 28 pesawat tempur ke Suriah.

"Ada 28 pesawat tempur dan pembom di pangkalan udara Provinsi Latakia, Suriah," ujar seorang pejabat AS yang enggan diungkap identitasnya, dikutip Channel NewsAsia, Senin (21/9).

Pejabat kedua yang berbicara dengan syarat anonim menjabarkan bahwa Rusia juga mengirim 20 armada tempur dan helikopter untuk transportasi di basis militer tersebut.

Rusia juga dikabarkan telah mengoperasikan pesawat nirawak, 12 pesawat SU-24, 12 armada SU-25, dan empat jet tempur Flanker.

Menurut analis dari Washington Institute for Near East Policy, Jeffrey White, penerjunan armada besar-besaran ini mengindikasikan keinginan Rusia untuk melebarkan daerah operasi militer di Suriah.

"Mereka tidak hanya akan duduk santai dan mempertahankan pangkalan militer atau Provinsi Latakia. Jenis armada ini mengindikasikan bahwa Rusia ingin memperluas kekuatan perang mereka hingga ke luar Latakia," ucap White.

Seperti dilansir Channel NewsAsia, AS belakangan ini memang terus memerhatikan pergerakan Rusia dalam mendukung Presiden Suriah, Bashar al-Assad. Menurut AS, dukungan militer tersebut justru dapat berisiko menggagalkan upaya perdamaian.

Melihat pergerakan yang kian menjadi, Menteri Pertahanan AS, Ashton Carter, akhirnya menghubungi Menteri Pertahanan Rusia, Sergei Shoigu, pada Jumat (18/9).

Dalam perbincangan tersebut, kedua menteri membahas cara untuk menghindari interaksi militer yang tak diinginkan, seperti tabrakan pesawat, mengingat koalisi serangan udara AS juga sedang menggempur ISIS di Suriah.

Perbincangan ini memecahkan kebekuan militer antara kedua negara. Diskusi militer tinggi tinggi AS dengan Shoigu terakhir kali dilakukan pada Agustus 2014 lalu. Kala itu, AS membahas masalah intervensi Rusia dalam masalah Ukraina.


Credit  CNN Indonesia