Empat tahun setelah kematian Gaddafi,
Libya terjerumus dalam konflik internal. Dua faksi mengklaim
pemerintahan, sementara banyak lagi kelompok suku bersenjata dan militan
yang saling bertempur, termausuk ISIS. (Reuters/Stringer)
Kemunduran tersebut merupakan yang teranyar dalam usaha PBB untuk mencapai kesepakatan perdamaian antara pemerintah Libya dan pemerintah oposisi per 20 September mendatang.
Agustus tahun lalu kelompok yang menamakan diri mereke Libya Dawn berhasil merebut ibu kota Tripoli dan mengusir pemerintahan sah yang diakui internasional ke timur Libya.
Banyak pemimpin dari negara Barat berpendapat bahwa perjanjian yang diprakarsai PBB untuk bersatunya kedua pemerintahan adalah satu-satunya solusi bagi konflik yang telah menjerumuskan negara Afrika Utara itu ke dalam jurang ekonomi. Empat tahun setelah pemberontakan menggulingkan Muammar Gaddafi, Libya terpecah ke dalam banyak faksi. Selain dua faksi besar yang mengklaim pemerintahan, banyak lagi kelompok suku bersenjata dan militan Islam, termasuk ISIS, yang saling bertempur.
Pemerintahan yang sah dan parlemen terpilih yang kini memerintah dari timur negara itu telah sepakat pada perjanjian sebelumnya, sementara faksi Tripoli masih tetap menolak menandatangani perjanjian itu pada dialog pekan lalu di kota Skhirat, Maroko.
Menurut utusan PBB, Bernardino Leon, kedua belah pihak telah mencapai konsensus dan akan segera memberikan kandidatnya untuk pemerintahan bersama. Namun, delegasi dari pemerintahan sah dan dewan perwakilan rakyat terpilih mengatakan bahwa mereka sudah mengutus timnya untuk konsultasi seputar amandemen yang diajukan, Selasa (16/9), dikutip dari Reuters.
"Dewan perwakilan rakyat telah menolak amandemen yang ada dalam draf," legislator Tarek Juroushi menerangkan. "Selain itu, mereka juga telah memanggil tim dari Skhirat."
Legislator lainnya dari DPR Libya juga mengonfirmasi penolakan itu, mengatakan bahwa kongres "menolak amandemen yang ditambahkan pada dialog terakhir, namun tidak menolak draf itu sendiri."
Meski begitu, Leon memaklumi perbedaan yang terjadi antara keduanya. Menurutnya, perdebatan di tahap terakhir dialog merupakan hal yang biasa.
"Masih ada ketidakpercayaan... Saya pikir semakin kita dekat dengan kemungkinan kesepakatan akhir, semakin kita akan berada di posisi sulit," terangnya kepada reporter Selasa lalu di Skhirat.
Leon menambahkan, tim negosiator dari parlemen tidak akan mundur dari dialog meskipun ada penolakan dari Libya.
"Menurut saya mereka akan kembali besok atau lusa, dan akan melanjutkan diskusi."
Negosiator dari kedua belah pihak berada di bawah tekanan kelompok garis keras yang merasa masih dapat memenangkan konflik itu via pertempuran darat. Angkatan bersenjata dari kedua sisi merupakan sekutu dari mantan pemberontak anti-Gaddafi yang malah berbalik saling melawan.
Kekacauan di Libya menjadi kekhawatiran tersendiri bagi para pemimpin Eropa seiring militan ISIS yang terus menguasai Timur Tengah. Konflik ini juga dijadikan kesempatan oleh para penyusup untuk menyelundupkan ribuan imigran ilegal dan pencari suaka di seluruh Mediterania ke Eropa.
Credit CNN Indonesia