Motivasi mereka berjilbab tidak melulu karena keyakinan atau ideologi. Gaya hidup yang ditunjang komodifikasi atau industri juga ikut melatari meningkatnya fenomena jilbab itu."Surabaya (CB) - Indonesianis yang juga pakar hukum Indonesia dari University of Melbourne Professor Tim Lindsay meminta masyarakat dunia jangan fobia terhadap maraknya pemakaian jilbab di Indonesia.
"Tidak ada alasan untuk itu," katanya dalam diskusi panel tentang Australia-Indonesia bertema Islam and Diversity in Contemporary Indonesia di Adelaide Festival Centre, Australia Selatan, Sabtu petang.
Dalam keterangan tertulis panitia diskusi panel yang diterima Antara, penulis disertasi doktor tentang Indonesia Studies itu menyatakan kecenderungan makin banyaknya perempuan muslim dari kelas menengah memakai jilbab tidak perlu dikhawatirkan.
"Motivasi mereka berjilbab tidak melulu karena keyakinan atau ideologi. Gaya hidup yang ditunjang komodifikasi atau industri juga ikut melatari meningkatnya fenomena jilbab itu," katanya.
Ia mengemukakan hal itu merespons pandangan dosen senior Fakultas Humanities Flinders University F. Firdaus tentang perubahan perempuan Muslim di Indonesia yang dari tahun ke tahun makin bergairah dalam berjilbab.
"Kecenderungan seperti itu dimulai sejak tahun 1980-an karena pengaruh Revolusi Iran. Rezim Orba membatasi dan melarang pegawai negeri kerja memakai jilbab. Setelah Soeharto turun, maka kini semakin banyak kelas menengah yang berjilbab," kata dosen Bahasa Indonesia itu.
Sementara itu, penulis gender dan Islam dari Jakarta, Ayu Arman, menegaskan bahwa ada khazanah keberagaman Nusantara dari Papua, Maluku, Kalimantan, hingga berbagai wilayah Sulawesi.
"Karena itu, saya optimistis kearifan lokal di Indonesia akan terus menghidupkan harmoni dan toleransi. Islam di Indonesia sama sekali bukan Islam Arab," kata lulusan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Meski ia sempat menemukan perempuan di kawasan terpencil di Sulawesi Barat mengenakan "burqa" (jilbab yang hanya terlihat matanya), ia meyakini Islam di Indonesia mempunyai kemampuan membangun harmoni dengan kearifan lokal di masing-masing daerah.
"Islam Indonesia tidak statis, bukan konsep tunggal. Dari Aceh, Jawa, Lombok, hingga Papua, Islam Indonesia sangat beragam. Pergumulan terjadi dalam menafsir agama yang tekstual dengan yang kontekstual," paparnya.
Pada kesempatan yang sama, dosen senior Fakultas Hukum Monash University sekaligus Rais Syuriah Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU di Australia dan New Zealand ,Nadirsyah Hosen, membuat perumpamaan tentang Islam Nusantara yang sangat mengakomodasi keberagaman lokalitas di Indonesia dengan produk KFC yang mengglobal.
"Di Australia, Anda tidak akan pernah mendapati KFC dengan nasi. Agar bisa diterima, KFC hadir di Indonesia dengan citarasa lokal juga, menyuguhkan nasi dengan ayam. Namun, substansinya sama, tetap saja ayam goreng," terangnya.
Diskusi panel itu merupakan bagian dari Program Jembatan Flinders University dan sekaligus bagian dari "OzAsia Festival" yang menyuguhkan karya seni internasional setiap musim Semi di Adelaide, Australia Selatan.
Festival tahunan itu mengambil fokus "Cultural Delights of Indonesia" pada 24 September - 4 Oktober 2015. Dalam festival itu, seniman Indonesia juga berperan, diantaranya Eko Supriyanto (Cry Jailolo), Teater Garasi (The Street), Melati Suryodarmo, seniman-seniman disabilitas Yogyakarta, dan Nani Losari (Topeng Cirebon).
Credit ANTARA News