Selasa, 25 Agustus 2015

Barang Tiruan Tiongkok Merajalela, Ekspor Senjata Rusia Mulai Terancam


Moskow berspekulasi apakah ekspor senjata ke Tiongkok akan menguntungkan Rusia atau memberi kesempatan bagi Tiongkok untuk membuat barang tiruan.
Chinese stealth fighter J-20
Pesawat yang dikabarkan sebagai pesawat tempur siluman Tiongkok ini, terilihat di Chengdu, Provinsi Sichuan (1/5). Militer AS percaya bahwa pesawat ini adalah prototipe pesawat tempur siluman J-20. Sumber:Reuters
Ekspor senjata ke Tiongkok memberi sejumlah keuntungan strategis. Selain memberi pasokan dana segar bagi Rusia, senjata Rusia juga dapat mengimbangi kekuatan militer AS di Asia. Gairah Beijing untuk memiliki senjata canggih membuat industri pertahanan Rusia bisa terus berdenyut dan membuat AS kini harus membagi fokus dengan memantau aktivitas Rusia sekaligus Tiongkok, mengurangi tekanan terhadap Rusia seorang.

Namun, ekspor senjata Rusia ke Tiongkok punya sisi buruk. Tiongkok kerap membeli senjata dengan jumlah terbatas, membongkarnya, kemudian menciptakan senjata serupa versi mereka sendiri. Mereka dapat membuat barang tiruan yang lebih murah, mengancam kelangsungan ekspor senjata Rusia. Industri pertahanan Tiongkok terus merangkak naik, dan Moskow melihat pasarnya mulai terancam.

Dalam dunia perdagangan senjata, semua pihak saling meniru satu sama lain. Insinyur Rusia membongkar pesawat pembom B-29 dan kemudian menciptakan Tu-4, yang sulit dibedakan dari pesawat asli versi Amerika. Jerman meniru tank lapis baja Rusia T-34, tank Perang Dunia II terbaik yang pernah ada. Sementara, misil Amerika versi Awal merupakan tiruan dari roket Jerman V-2 yang pernah membumi-hanguskan London.

Namun, Tiongkok sangat canggih dalam hal tiru-meniru. Mereka telah meniru kereta Jerman Maglev dan kini menawarkannya untuk India. Peretas Tiongkok mencuri cetak biru TGV Prancis. Pesawat tempur Tiongkok J-20 dan J-30 berbasis teknologi dari perusahaan Amerika yang mengembangkan F-5 dan F-22. Pada dasarnya, semua misil, tank, sistem artileri, dan senapan yang digunakan oleh militer Tiongkok adalah tiruan dari senjata Rusia.

Ambil contoh senapan mesin AK-47. Pada tahun 1950-an, Rusia mengizinkan Tiongkok membuat versi tiruan dari senapan tersebut. Namun setelah kesepakatan lisensi berakhir, Beijing—sama seperti Hungaria, Slowakia, dan AS—mulai memproduksi AK ilegal. Senapan AK asli Rusia dibanderol hingga 1.500 dolar AS di pasar AS, sementara versi Tiongkok dapat dimiliki dengan merogoh kocek 400 dolar AS saja.

Pesawat Flanker Tiruan

Kalashnikov tiruan murah tak terlalu dipusingkan Moskow. Namun, Rusia lebih khawatir dengan tiruan Tiongkok yang lebih canggih, seperti pesawat tempur pembom Su-27 Flanker, jet pengangkut pesawat berbasis Su-33, sistem pertahanan udara S-300, dan sistem anti-pesawat Smerch yang tersohor. Menariknya, Rusia belum mengekspor Su-33 atau Smerch pada Tiongkok. Mereka berhasil mencuri data mengenai senjata tersebut dari pihak ketiga, salah satunya Ukraina.

Tiongkok sendiri menyangkal mereka meniru teknologi dari negara lain. Terkait Maglev, TGC, atau Flanker, mereka mengaku telah memodifikasi desain dasar asli dan perangkat kerasnya.

Juru bicara Kementerian Pertahanan Nasional Tiongkok Geng Yansheng merespon tuduhan ini pada November 2012 lalu dengan menyampaikan, “Hubungan militer dunia bertujuan saling mengembangkan. Banyak senjata yang menggunakan prinsip desain yang sama, komando yang sama, bahkan metode perlindungan yang sama. Namun, sungguh tak profesional menuduh Tiongkok meniru teknologi pengangkut pesawat yang dimiliki negara lain hanya dengan membandingkan pesawat tersebut.”

Namun, para pakar tak sepakat. Tak diragukan bahwa pesawat tempur J11B dan J15 merupakan tiruan dari Su-27 dan Su-33. Menurut Flight Global, Tiongkok tak mengerti—atau tak peduli—mengenai konsep perlindungan hak intelektual. “Mereka hanya mengubah sedikit desain Su-33, namun pada dasarnya itu tetap pesawat yang sama. Mereka memperbaiki desain setelah mencuri kekayaan intelektual pihak lain, dan tentu itu bukan desain yang asli,” terang lembaga tersebut.

Dampak Terhadap Rusia

Setelah meniru selama bertahun-tahun, Tiongkok kini dapat merebut pasar ekspor Rusia. Dan sama seperti Rusia, Tiongkok dapat memanfaatkan pemasukan dari ekspor untuk menawarkan syarat pasokan senjata yang lebih menarik bagi negara-negara dengan pendapatan rendah, seperti Pakistan.

“Hasilnya tak hanya menurunkan jumlah penjualan dari Rusia ke Tiongkok, tapi Rusia juga kehilangan pasar karena kini beberapa negara mulai membeli senjata buatan Tiongkok,” kata Nikolas Gvosdev dan Christopher Marsh dalam Russian Foreign Policy: Interests, Vectors and Sectors. “Hal ini merugikan Rusia karena Tiongkok tak hanya meniru kekayaan intelektual perancang senjata Rusia secara ilegal, tapi juga membuat Rusia merugi secara ekonomi, karena kehilangan pasar untuk ekspor senjata ke pihak ketiga. Rusia menghadapi dilema, mereka dapat duduk dan menerima serangan itu, atau mereka dapat menjual senjata yang lebih canggih untuk Tiongkok dan menggerakkan angka perdagangan senjata dalam periode singkat (dengan risiko Tiongkok akan meniru desain tersebut dan mengimpornya ke negara lain).”

Faktanya, Tiongkok mulai percaya diri atau nakal. Pada Mei lalu, perusahaan Tiongkok Norinco, yang membuat tank VT-4, melirik tank T-14 Armata, tank terbaru Rusia yang dianggap sebagai senjata revolusioner oleh pakar di seluruh dunia. Media sosial resmi Norinco menulis: “Transmisi T-14 tak dikembangkan dengan baik, karena kami melihat kegagalan fungsi tank pada gladi resik sebelum parade 9 Mei. VT-4 tak pernah menemui masalah semacam itu. Tank kami juga memiliki sistem kontrol tembakan kelas dunia, sementara Rusia masih berjuang untuk menyainginya.”

Rusia Butuh Ekspor

Industri pertahanan bekas Uni Soviet sungguh besar, sehingga Rusia belum bisa mempertahankan segala pabrik. Bahkan sektor pertahanan Rusia kini mengalami penurunan—meski masih lebih besar dibanding gabungan industri Tiongkok dan India—tetapi tak bisa bertahan lama tanpa pesanan ekspor.

“Rusia harus menjual senjata agar industri militernya bisa tetap berdenyut dan mereka bisa tetap menghasilkan senjata militer generasi terbaru. Bagaimanapun, Rusia harus menjual senjata, dan Tiongkok merupakan pasar potensial yang terbesar bagi Rusia,” terang Gvosdev dan Marsh.

Setelah Uni Soviet bubar, pasar Tiongkok menjadi sumber penghidupan bagi Rusia. Pada 1993, industri pertahanan Rusia hanya mengoperasikan sepuluh persen dari kapasitas mereka, sebut Andrew T.H. Tan dalam The Global Arms Trade: A Handbook. “Separuh dari industri pertahanan harus gulung tikar karena bangkrut,” kata Tan.

Pesanan internasional tak terpenuhi—karena kacaunya rantai pasokan baku. Pasokan dana dari Tiongkok sangat berpengaruh terhadap kehidupan industri tersebut. Tan menyatakan bahwa selama dekade tersebut, Tiongkok memberi pemasukan separuh dari jumlah keseluruhan dana yang diraih Rusia dalam industri pertahanan. Penjualan senjata ke Tiongkok tak bisa disebut sebagai upaya bunuh diri bagi Rusia.

Sama dengan India yang pernah sangat tergantung pada senjata Rusia namun kini mereka bisa membeli senjata Amerika seharga miliaran dolar untuk meningkatkan hubungan strategis dengan AS, Rusia harus benar-benar memperhitungkan setiap penjualan.

Membangun Kepercayaan

Menurut Tan, sejak 2002 baik Rusia maupun Tiongkok sama-sama berupaya menciptakan kepercayaan dalam bisnis senjata mereka. “Salah satu inisiatif terbesar adalah menandatangani kesepakatan kekayaan intelektual untuk melindungi kepentingan Rusia dan mempersempit area abu-abu dalam transfer teknologi.”

Sebagai contoh, lanjut Tan, saat Tiongkok mendapat lisensi untuk merakit Su-27, tak dijelaskan apakah mesin pesawat yang diproduksi Tiongkok di bawah kesepakatan tersebut boleh digunakan untuk pesawat Tiongkok. Hal tersebut memicu persengketaan rumit dalam perdagangan senjata Rusia-Tiongkok.

“Pada Desember 2008, kedua negara akhirnya menandatangani kesepakatan hak kekayaan intelektual yang membatasi Tiongkok untuk mengekspor senjata yang berbasis dari model Rusia. Namun hal tersebut tak bisa mencegah Tiongkok memproduksi senjata untuk keperluan mereka sendiri. Kesepakatan tersebut menciptakan kekhawatiran bahwa Tiongkok bisa saja meniru senjata Rusia tanpa izin dan perangkat militer Tiongkok bisa membanjiri pasar global, merebut pasar senjata Rusia”.

Kesepakatan tersebut—bersamaan dengan keputusan Presiden Vladimir Putin—mengungkapkan tantangan utama untuk merajut hubungan kerja sama militer antara kedua negara. Awalnya, pihak Rusia menolak untuk menjual sistem pertahanan udara terbaru S-400 dan pesawat tempur multiperan Su-35. Beijing tertarik memiliki mesin AL-41 milik Su-35, yang memiliki masa hidup empat ribu jam, jauh lebih panjang dibanding mesin AL-31 (1.500 jam) yang dimiliki Su-27 dan Su-30.

Namun, rumitnya mesin pesawat canggih Rusia menyulitkan industri tiruan Tiongkok. Hal ini, bersama dengan penandatanganan kesepakatan perlindungan kekayaan intelektual yang lebih kuat—meyakinkan Moskow untuk menjual senjata canggih pada Tiongkok.

Wakil Direktur Sukhoi Sergey Sergeyev merangkum hal tersebut dengan menyatakan, “Mereka bisa saja meniru sendok buatan kita, tapi tentu meniru pesawat adalah hal yang lain.”

Pada 2013, Putin menerangkan kondisi terkait penjualan S-400 dan Su-35. Platform tersebut akan membantu Tiongkok untuk merebut pesawat siluman Amerika F-22 dan F-35, hingga pesawat siluman buatan mereka sendiri selesai dibuat pada dekade mendatang.

Selain itu, sanksi ekonomi yang dihadapi Rusia membuat Rusia berharap Tiongkok akan memasok teknologi mikro-elektronik dan teknologi canggih lain yang tak dimiliki Rusia.

Sindrom Rusia Tiongkok

Meski selalu ada risiko dalam mengekspor senjata untuk Tiongkok, terdapat keuntungan yang menarik perhatian Moskow.

Menurut Tan, pengaruh Rusia di Tiongkok dalam penjualan senjata tak terbatas dalam kontrol terkait pasokan suku cadang dan perangkat penting. “Setiap tahunnya, PLA mengirim 800 pegawai ke Rusia untuk mempelajari ilmu militer Rusia dan memahami bagaimana mengoperasikan senjata Rusia yang telah mereka beli. Wajar jika kita berasumsi beberapa alumni PLA akan menciptakan sentimen pro-Rusia terkait transformasi model militer Rusia berbanding Barat. Hal ini mungkin memengaruhi kepribadian komandan PLA saat belajar di Rusia. Jenderal Liu Huaquing dan Cao Gangchun (Menteri Pertahanan 2002-07), yang belajar di Rusia selalu mendorong Tiongkok untuk mengimpor lebih banyak senjata Rusia. Pengalaman belajar di Rusia berguna untuk mempromosikan produk buatan Rusia.”

Perdagangan senjata membuat Rusia dan Tiongkok mempereat hubungannya pada abad ke-21. Kedua negara saling membutuhkan. Tiongkok masih butuh setidaknya dua dekade untuk mengejar teknologi senjata Barat dan hanya bisa mencapainya dengan bantuan Rusia. Rusia didukung oleh Tiongkok, yang kini merupakan mitra untuk uang kas, pasar, dan kenyamanan diplomatik. Namun, meski jika penjualan perangkat militer dan ikatan tersebut semakin erat, Moskow harus mengawasi baik-baik barang tiruan Tiongkok.


Credit  RBTH Indonesia