Senin, 24 Agustus 2015
Battle of Surabaya: Melihat Perang dari Sudut Pandang Berbeda
Battle of Surabaya (MSV Pictures)
Jika dibandingkan dengan animasi dari negara Asia lainnya, Battle of Surabaya (BOS) dari segi teknis bisa jadi ketinggalan.
Namun keberanian mengangkat tema berat (sejarah, apalagi perang) layak diapresiasi. Ia menggunakan pendekatan guyonan lokal, minim darah, dan menitikberatkan pada persahabatan ketimbang persoalan siapa yang akhirnya memenangkan pertempuran. Cerita yang disuguhkan selama hampir 100 menit menerjemahkan judul kecil yang menyelinap di posternya.
Musa kecil (Ian) dibesarkan oleh ibu dalam kondisi serba kekurangan. Ia menjadikan Kapten Yoshimura (Tanaka) layaknya ayah sendiri. Hidup di negara terjajah membuatnya belajar menyambung hidup. Musa bekerja sebagai tukang semir sepatu di lingkungan militer Tanah Air. Bukan sembarang tukang semir. Ia merangkap pekerjaan sebagai kurir penyampai pesan rahasia para pejuang di Surabaya dan sekitarnya. Suatu ketika ia mengenal Yumma (Maudy). Keduanya berinteraksi akrab.
Suatu saat, ketika Yumma membersihkan diri di sungai, Musa melihat simbol tiga noktah hitam di antara leher dan pundaknya. Selidik punya selidik, Yumma adalah anggota komunitas Kipas Hitam bentukan Nippon yang menentang perjuangan rakyat Indonesia mencapai kemerdekaan. Yumma sendiri dekat dengan seorang pejuang bernama Danu (Reza).
Aryanto menyadari siapa segmen film animasi. Tema sejarah khususnya perang tampak terlalu keras untuk dinikmati anak-anak. Ia kemudian menampilkan perang dari sudut pandang berbeda. Salah satunya, membalik arah perang ke masa-masa genting sebelum perang di Kota Pahlawan meledak.
Animasi, sebagai medium menghibur dan mengedukasi di tangan Aryanto menjalankan fungsi dengan baik. Menjelang pertengahan, BOS memperkenalkan tokoh-tokoh penting yang kini kita kenal sebagai orang-orang mahsyur di balik peristiwa 10 November seperti Bung Tomo (Ernanta Kusuma), Residen Soedirman (Guritno) dan Gubernur Soerjo (Hermano).
Sadar bahwa sejarah berpotensi membosankan, naskah yang ditangani sang sineas bersama M. Suyanto dibuat (sesekali) penuh canda. Adegan sersan berlogat Jawa medok menaksir gadis penjual warung, Musa tidak sengaja mengintip Yumma di kali, atau peluru nyasar mengenai cangkir kopi yang hendak diminum merupakan beberapa momen lelucon klasik yang masih bisa mengundang tawa.
Di sini lain, cinta dan pengorbanan digali beberapa kali untuk membuat penonton teriris sedih. Ini sekaligus mengajar anak-anak bahwa kemerdekaan yang mereka nikmati (dan peringati tempo hari) dibangun di atas darah, air mata, dan nyawa bergelimpangan.
Pada menit awal, naskah BOS terasa tertatih. Klimaks peperangan yang diharapkan penonton dewasa akan diterjemahkan dalam adegan-adegan akbar tidak terkabul. Niat sang sineas memang ingin memberi tahu audiens bahwa perang, apa pun alasannya, tak perlu dikobarkan. Mengapa? Jawabannya ada di poster. There is no glory in war. Tidak ada kemenangan di dalam perang.
Di sisi lain, kita melihat upaya para pengisi suara menghidupkan karakter. Danu di tangan Reza mudah dikenali. Suara Maudy entah mengapa bikin pangling. Terdengar lebih imut, sedikit melankolis. Mengejutkan mendengar Maudy mempersentasikan Yumma dalam “model” suara seperti ini. Di atas kelemahan dan kelebihannya, BOS pergerakan maju di tengah minornya populasi animasi lokal di layar lebar kita. Petualangan Singa Pemberani dan Meraih Mimpi tidak disambut hangat.
Mendengar beberapa kali show BOS di Yogyakarta laris manis, saya senang. Bukan karena ini karya orang Yogyakarta maka “meledak” di kota asalnya. Tapi kabar itu menerbitkan harapan semoga kota-kota lain pun mengapresiasi BOS sehangat Yogyakarta. Dan semoga pada masa mendatang akan hadir lebih banyak animasi 90 menitan di bioskop kita.
Pemain : Ian Saybani, Maudy Ayunda, Reza Rahadian, Tanaka Hidetoshi, Darryl Wilson
Produser : Adi Djayusman, Hery Soelistio, Aryanto Yuniawan
Sutradara : Aryanto Yuniawan
Penulis : Aryanto Yuniawan, M Suyanto
Produksi : MSV Pictures, Amikom Yogyakarta
Durasi : 99 menit
Credit Tabloidbintang.com