Selasa, 25 Agustus 2015

'Jenderal Soedirman,' Oase Baru Film Sejarah Indonesia


'Jenderal Soedirman,' Oase Baru Film Sejarah Indonesia 
 Adipati Dolken sebagai Jenderal Soedirman. (ANTARA FOTO/Rosa Panggabean/ed/NZ/15)
 
Jakarta, CB -- Jenderal Soedirman punya jasa yang sangat besar tehadap kedaulatan negara Repubik Indonesia, baik sebelum ataupun setelah kemerdekaan.

Ia mampu menggalang kekuatan militer Indonesia yang masih terbatas dan terpecah belah, untuk melawan kekuatan penjajahan Belanda yang dikaruniai persenjataan lengkap.

Taktik jitu Jenderal Soedirman adalah perang gerilya. Taktik menyerang sembunyi-sembunyi dan lari dengan perhitungan tepat ini mampu membuat para penjajah kelimpungan. Bahkan taktik arahan Soedirman ini mendapat pengakuan dunia sebagai salah satu taktik perang terbaik.


Kehebatan mengorganisir perang gerilya dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia itulah yang coba dituangkan sutradara Viva Westi ke dalam sebuah film. Film Jenderal Soedirman jadi wujud dari keinginannya tersebut.

Film ini bermula saat Indonesia baru saja merdeka. Saat itu Indonesia baru saja membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan memilih panglima besar. Soedirman (Adipati Dolken) pun terpilih pada pemilihan yang tak beselang lama dengan Agresi Militer II.

Baru saja didapuk sebagai seorang panglima besar, Soedirman harus menerima cobaan dengan terjadinya Agresi Militer II. Belanda mengingkari Perjanjian Renville dan kembali menginvasi Indonesia.

Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, dibombardir. Para pemimpin negara, seperti Presiden Soekarno (Baim Wong) dan Wakil Presiden Hatta (Nugie) ditangkap dan diasingkan. Belanda menyatakan Indonesia sudah tiada.

Meski begitu, Soedirman berhasil lolos dan pergi ke hutan bersama pasukan kecilnya. Ia mengabarkan ke seluruh pelosok negeri lewat radio bahwa Indonesia masih berdiri kokoh dengan kekuatan militer yang kokoh.

Mereka pun memulai taktik perang gerilya dengan memasuki hutan dan mengunjungi kantong-kantong kekuatan militer Indonesia di Jawa.

Meski taktik perang gerilya sudah direncanakan matang-matang, dan Soedirman dikelilingi pasukan yang andal, perjalanan Soedirman tak mudah. Ia harus bergelut dengan penyakit, pengkhianatan, dan perpecahan militer Indonesia pada saat itu.

Namun dengan bantuan orang kepercayaannya, Kapten Nolly (Ibnu Jamil), dan seluruh rakyat Indonesia, ia melakukan perlawanan kepada penjajah dan menegaskan Indonesia masih ada dan berdiri tegak bersama kekuatan militer yang kuat.

 
Para pemain film Jenderal Soedirman, Matias Muchus, Adipati Dolkien, dan Baim Wong. (CNNIndonesia/Endro Priherdityo)
Sejarah dalam Bungkus CGI

Fim  Jenderal Soedirman ini cukup membukakan mata bahwa pahlawan Indonesia bukan hanya Soekarno dan Hatta. Selain kekuatan diplomasi, kekuatan militer kita juga sangat berperan dalam menjaga kedaulatan negara.

Film biopik pertama Viva Westi ini mampu menghadirkan sejarah yang mungkin tak banyak diketahui orang, khususnya anak muda. Film ini juga mampu mengajarkan sejarah kepada penonton tanpa harus merasa digurui sama sekali.

Efek computer-generated imagery (CGI) dalam film ini pun—meski belum begitu halus—menandakan adanya usaha penggarap untuk membuat film ini istimewa dan bisa menumbuhkan minat nonton dari kalangan muda.

Tak hanya CGI, efek ledakan seperti granat dan bom pun juga dilakukan secara nyata lewat bantuan persenjataan TNI AD. Hal tersebut membuat film ini terasa hidup.

Tak Ada Gading Tak Retak

Kehadiran nama-nama besar perfilman, seperti Mathias Muchus, Ibnu Jamil, Baim Wong, dan Lukman Sardi menambah seru fim ini. Tak kalah penting, sang bintang utama yang juga berasal dari kalangan muda berbakat, Adipati Dolken, menunjukkan perfilman Indonesia bukan diisi oleh aktor yang itu-itu saja.

Meski begitu, tak ada gading yang tak retak. Film ini pun tak luput dari salah dan kekurangan.

Film ini dimulai dengan awalan yang kurang "nendang."  Saat adegan awal, tak ada bumper di sekitar lima menit pertama. Adegan yang pertama kali muncul adalah pemilihan Jenderal Soedirman sebagai Panglima Besar TKR.

Dilanjut dengan persidangan yang menempatkan Soedirman sebagai penanggung jawab kudeta 1946. Barulah film dimulai dengan keluarnya logo beberapa organisasi dan sekejap logo film ini.

Film berbiaya produksi sekitar Rp10-Rp15 miliar ini pun agaknya kurang tepat menempatkan pemeran-pemerannya. Agaknya Baim Wong dan Nugie kurang pas memerankan sang Proklamator karena tak mendapat gereget dan gimmick yang menyerupai. Pemeran Soekarno dan Hatta di film Soekarno mungkin lebih tepat mendapuk peran tersebut.

Sang pemeran utama juga agaknya kurang pas. Mengisahkan Soedirman di usia 29 tahun, wajah Adipati Dolken tak menceminkan usia tersebut. Karena meski usianya 29 tahun, Soedirman memiliki paras yang sedikit lebih tua dari usianya. Meski begitu, pemeran-pemeran tersebut memang menunjukkan kebolehan aktingnya di film ini.

Selain masalah pemeran, film ini juga sedikit bermasalah dalam menimbulkan wow effect. Pasalnya, film tentang perang gerilya ini tak menghadirkan fakta-fakta yang membangun kemegahan taktik gerilya. Hal ini seharusnya membuat taktik gerilya menjadi jualan utama film ini, agar tampak semakin megah dan dikagumi.

Padahal dalam sejarah, ada persiapan dari Soedirman dalam mengantisipasi Agresi Militer II sesaat setelah diangkat sebagai Panglima Besar TKR. Soedirman dan pemimpin militer lain seperti Nasution dan Simatupang telah membuat rencana matang terkait gerilya dan pengerahan beberapa komando pasukan sebelum agresi terjadi. Namun fakta sejarah ini tak dihadirkan ke dalam film dan membuat kekuatan pasukan Soedriman yang sebenarnya tak terlihat.

 
Pecahan uang kertas Rp1.000 bergambar Jenderal Soedirman dengan tahun pencetakan 1968. (CNNIndonesia/Donatus Fernanda Putra)
Pahlawan Juga Manusia

Tak sekadar memuja dan angkat topi, film ini pun berani menelanjangi tokoh-tokoh bangsa. Film ini menghadirkan Soekarno dan Tan Malaka yang menjadi tokoh besar sekaligus kontroversial. Film ini pun benar-benar mengeluarkan sisi manusia keduanya.

Soekarno digambarkan sebagai orang yang tak mau turun berperang bersama rakyatnya. Ia pun digambarkan mengingkari janji pada pidatonya pasca Agresi Militer I. Hal yang paling parah tentu saat ia menyambut kedatangan Soedirman di istana dan difoto wartawan.

"Sudah dapat gambar saya dengan Dimas? Belum? Mari kita ulang," ujar sang proklamator di film ini dengan adegan yang sedikit konyol.

Tan Malaka pun begitu. Ia digambarkan sebagai pembangkang negara. Ia menggalang kekuatan komunis saat para pemimpin bangsa ditahan KNIL. Para tentara komunis pun terlalu digambarkan sebagai kekuatan militer yang keji dan tak bertanggung jawab.

Di luar semuanya, Jenderal Soedirman adalah sebuah film yang mampu menjadi oase baru dalam sejarah Indonesia. Film ini sangat cocok sebagai hiburan sekaligus edukasi masyarakat dalam menyelami masa lalu bangsa ini. Film yang proses produksinya melibatkan 200 kru dan personel TNI AD ini akan tayang di bioskop-bioskop Tanah Air mulai 27 Agustus 2015.


Credit  CNN Indonesia