CB, BOGOR -- Indonesia saat ini menjadi anggota G20
dengan perekonomian terbesar dunia dan berpenduduk lebih dari 200 juta
orang. Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Sangkot Marzuki
menyoroti kebanggaan tersebut tak akan ada artinya tanpa diperkuat
dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek).
"Indonesia memang menghasilkan teknologi, namun teknologi itu di luar paten produk. Paten produk Indonesia salah satu terendah di Asia Tenggara," kata Sangkot dalam Konferensi Jurnalis Sains Indonesia (KJSI) di Bogor, akhir pekan lalu.
Sangkot menilai selama ini riset dasar dipandang rendah seolah tak diperlukan di Indonesia. Ia menggambarkan pentingnya Iptek dalam menyongsong satu abad kemerdekaan Indonesia pada 2045 nanti melalui empat skenario.
Skenario pertama, Mata Air. Indonesia 2045 diisi oleh generasi baru yang mempunyai pandangan berbeda dengan generasi pendahulunya. Kebijakan publik masih diwarnai pencampuran kepentingan bisnis dan politik yang menyebabkan suhu politik terus meningkat.
Di tingkat daerah, kualitas institusi dan sumber daya manusia belum merata, sehingga korupsi dan gesekan sosial terus terjadi. Putra daerah dan pendatang bersaing memperoleh akses sumber ekonomi. "Dalam percaturan dunia, Indonesia kita akan semakin terpuruk," kata Sangkot.
Skenario kedua, Sungai. Indonesia di 2045 merupakan negara industri cukup maju dengan jumlah kelas menengah lebih besar dibandingkan jumlah penduduk miskin dan konglomerat. Kemitraan antara sektor besar, menengah, dan kecil berjalan baik. Hal ini didukung infrastruktur, tata ruang, reforma agraria, perbankan, fiskal, moneter, dan pasar modal.
Agroindustri berkembang dan terjadi peningkatan kemakmuran di pedesaan karena dukungan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Permasalahan ekonomi akibat korupsi dan ketimpangan sosial tetap ada, namun terbatas.
Skenario ketiga, Kepulauan. Pada 2045, Indonesia tetap eksis di tengah peradaban modern dunia. Kekuatan militer Indonesia sudah besar, namun belum efektif dan belum efisien karena teknologinya sudah tidak sesuai zamannya.
Indonesia disibukkan dengan pengamanan poros maritim dunia dan eksplorasi bawah laut. Regionalisasi peraturan operasional penerbangan di wilayah udara Indonesia sudah terjadi dan dikendalikan negara tetangga. Dampaknya, kedaulatan Indonesia banyak diatur oleh state dan non-state actor dunia.
Ketahanan Indonesia sudah tangguh, namun belum menyeluruh. Pengakuan regional dan internasional atas kapasitas diplomasi Indonesia juga belum tinggi, sehingga Indonesia sulit memperjuangkan kepentingan nasionalnya di forum internasional.
Skenario keempat, Air Terjun. Indonesia 2045 sudah mulai dengan perencanaan pembangunan berbasis rendah karbon. Pemerintah secara bertahap mencoba meninggalkan praktik pengambilan keputusan berdasarkan pada keuntungan jangka pendek semata.
Pembangunan dilakukan memperhatikan prinsip keberlanjutan. Sektor swasta berperan aktif membiayai program pembangunan berkelanjutan melalui konsep green banking dan green financing.
Pembangunan rendah karbon menjadi strategi utama guna meningkatkan ketahanan energi dalam negeri. Kedaulatan pangan pada masa ini dijadikan fokus utama dalam mengelola ketahanan pangan.
"Kecuali skenario pertama, skenario kedua hingga keempat semuanya membutuhkan Iptek tinggi, bukan sekadar Iptek biasa," ujar Sangkot.
Sangkot mengimbau saintis dan jurnalis semakin bersinergi dan saling berinteraksi ke depannya. Bahasa-bahasa sains yang sangat ilmiah perlu didorong menjadi ilmiah populer untuk menjangkau masyarakat lebih banyak. Ini bisa menjadi salah satu solusi yang berdampak besar pada satu abad kemerdekaan nanti.
"Indonesia memang menghasilkan teknologi, namun teknologi itu di luar paten produk. Paten produk Indonesia salah satu terendah di Asia Tenggara," kata Sangkot dalam Konferensi Jurnalis Sains Indonesia (KJSI) di Bogor, akhir pekan lalu.
Sangkot menilai selama ini riset dasar dipandang rendah seolah tak diperlukan di Indonesia. Ia menggambarkan pentingnya Iptek dalam menyongsong satu abad kemerdekaan Indonesia pada 2045 nanti melalui empat skenario.
Skenario pertama, Mata Air. Indonesia 2045 diisi oleh generasi baru yang mempunyai pandangan berbeda dengan generasi pendahulunya. Kebijakan publik masih diwarnai pencampuran kepentingan bisnis dan politik yang menyebabkan suhu politik terus meningkat.
Di tingkat daerah, kualitas institusi dan sumber daya manusia belum merata, sehingga korupsi dan gesekan sosial terus terjadi. Putra daerah dan pendatang bersaing memperoleh akses sumber ekonomi. "Dalam percaturan dunia, Indonesia kita akan semakin terpuruk," kata Sangkot.
Skenario kedua, Sungai. Indonesia di 2045 merupakan negara industri cukup maju dengan jumlah kelas menengah lebih besar dibandingkan jumlah penduduk miskin dan konglomerat. Kemitraan antara sektor besar, menengah, dan kecil berjalan baik. Hal ini didukung infrastruktur, tata ruang, reforma agraria, perbankan, fiskal, moneter, dan pasar modal.
Agroindustri berkembang dan terjadi peningkatan kemakmuran di pedesaan karena dukungan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Permasalahan ekonomi akibat korupsi dan ketimpangan sosial tetap ada, namun terbatas.
Skenario ketiga, Kepulauan. Pada 2045, Indonesia tetap eksis di tengah peradaban modern dunia. Kekuatan militer Indonesia sudah besar, namun belum efektif dan belum efisien karena teknologinya sudah tidak sesuai zamannya.
Indonesia disibukkan dengan pengamanan poros maritim dunia dan eksplorasi bawah laut. Regionalisasi peraturan operasional penerbangan di wilayah udara Indonesia sudah terjadi dan dikendalikan negara tetangga. Dampaknya, kedaulatan Indonesia banyak diatur oleh state dan non-state actor dunia.
Ketahanan Indonesia sudah tangguh, namun belum menyeluruh. Pengakuan regional dan internasional atas kapasitas diplomasi Indonesia juga belum tinggi, sehingga Indonesia sulit memperjuangkan kepentingan nasionalnya di forum internasional.
Skenario keempat, Air Terjun. Indonesia 2045 sudah mulai dengan perencanaan pembangunan berbasis rendah karbon. Pemerintah secara bertahap mencoba meninggalkan praktik pengambilan keputusan berdasarkan pada keuntungan jangka pendek semata.
Pembangunan dilakukan memperhatikan prinsip keberlanjutan. Sektor swasta berperan aktif membiayai program pembangunan berkelanjutan melalui konsep green banking dan green financing.
Pembangunan rendah karbon menjadi strategi utama guna meningkatkan ketahanan energi dalam negeri. Kedaulatan pangan pada masa ini dijadikan fokus utama dalam mengelola ketahanan pangan.
"Kecuali skenario pertama, skenario kedua hingga keempat semuanya membutuhkan Iptek tinggi, bukan sekadar Iptek biasa," ujar Sangkot.
Sangkot mengimbau saintis dan jurnalis semakin bersinergi dan saling berinteraksi ke depannya. Bahasa-bahasa sains yang sangat ilmiah perlu didorong menjadi ilmiah populer untuk menjangkau masyarakat lebih banyak. Ini bisa menjadi salah satu solusi yang berdampak besar pada satu abad kemerdekaan nanti.
Credit REPUBLIKA.CO.ID