Tanda bahaya radiasi terpasang di area simulasi
saat petugas gabungan membersihkan area yang diduga terpapar radiasi
diatas Kapal Bimaskti Utama di Pelabuhan Nilam, Tanjung Perak, Surabaya
(11/03). Badan Pengawas Tenaga Nuklir bersama berbagai unsur
Kepolisian Daerah Jawa Timur dan Kantor Kesehatan Pelabuhan terlibat
dalam Gladi Lapang Nasional Penanggulangan Kedaruratan Radiologi 2011.
TEMPO/Fully Syafi
"Semua bergantung pada persetujuan Presiden," ujar Direktur Energi, Telekomunikasi, dan Informatika Bappenas Jadhie Ardajat kepada Tempo di kantornya, Rabu, 26 Agustus 2015.
Jadhie mengatakan pembangunan sudah bisa terlaksana sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun memang tak mudah bagi Presiden untuk memutuskan pembangunan reaktor nuklir karena banyak pertimbangan. "Tak hanya pertimbangan politik, faktor sosial juga berat."
Banyaknya pertimbangan dapat dilihat dari banyaknya pro-kontra yang dilayangkan berbagai pihak terkait dengan keamanan dan keselamatan dari bahaya bocornya nuklir. Padahal, kata Jadhie, pengembangan reaktor nuklir kini sudah semakin maju dan aman. "Memang tak 100 persen aman, tapi kan kita bisa pelajari kegagalan kelak untuk penyempurnaan ke depannya," katanya.
Menurut Jadhie, tak ada lagi masalah pada kesiapan tenaga ahli dan pekerja. Begitu juga pendanaan. Pihak asing, seperti Jepang, Prancis, dan Rusia, sudah menyatakan komitmen mereka membantu pembangunan ini. "Kalau Presiden Joko Widodo tiba-tiba memerintahkan pembangunan, kami siap," tutur Jadhie.
Jadhie menambahkan, tenaga nuklir adalah satu-satunya solusi tenaga listrik untuk masa depan selama belum ada energi alternatif skala besar pengganti energi konvensional dari minyak dan batu bara. "Shell gas kebanggaan Amerika Serikat sebenarnya energi konvensional yang terbuat dari minyak."
Bila pembangunan benar-benar terlaksana kelak, Bangka akan menjadi tempat pertama pembangunan reaktor nuklir.
Credit TEMPO.CO