Kamis, 25 Juni 2015

Nasib Tragis Penyumbang Emas Monas

Pergeseran kekuasaan membuat masa tuanya berakhir sengsara.

Nasib Tragis Penyumbang Emas Monas
Saudagar asal Aceh, Teuku Markam disebut sebagai penyumbang emas Monas. (VIVA.co.id/ Dody Handoko)
 
CB - Monumen Nasional (Monas) adalah monumen peringatan setinggi 132 meter yang terletak di Lapangan Medan Merdeka, Jakarta Pusat. Monas dibuka untuk umum pada 12 Juli 1975. Tugu ini dimahkotai lidah api yang dilapisi lembaran emas yang melambangkan semangat perjuangan yang menyala-nyala.
Emas yang dipasang di Tugu Monas seberat 38 kg emas. Terdapat berbagai versi tentang emas di puncak Monas tersebut. Ada yang menyebutkan, emas seberat 28 kg itu adalah sumbangan dari Teuku Markam, seorang saudagar Aceh yang pernah menjadi orang terkaya Indonesia.
Namun, tak ada catatan resmi tentang penyumbang emas itu. Ceritanya pun menjadi simpang siur. Sejarawan juga tak tahu menahu tentang kisah emas di puncak Monas. Kisah tentang Teuku Markam sumbernya dari cerita mulut ke mulut. Meski ada sebagian orang yang menyakini kebenaran cerita itu.

Emas di puncak Monas.

Konon ceritanya, dari berbagai sumber, disebutkan Teuku Markam adalah saudagar Aceh yang lahir pada tahun 1925. Ayahnya, Teuku Marhaban berasal dari kampung Seuneudon dan Alue Capli, Panton Labu Aceh Utara. Teuku Markam sudah menjadi yatim piatu ketika berusia 9 tahun. Lalu ia diasuh oleh kakaknya yang bernama Cut Nyak Putroe.
Ia sempat bersekolah sampai kelas 4 Sekolah Rakyat (SR). Teuku Markam kemudian tumbuh menjadi pemuda yang mengikuti pendidikan wajib militer di Kutaraja yang sekarang bernama Banda Aceh.
Sebagai prajurit penghubung, ia diutus oleh Panglima Jenderal Bejo ke Jakarta untuk bertemu pimpinan pemerintah. Oleh pimpinan, Teuku Markam diutus lagi ke Bandung untuk menjadi ajudan Jenderal Gatot Soebroto. Tugas itu diembannya sampai Gatot Soebroto meninggal dunia.
Tahun 1957, Teuku Markam berpangkat kapten. Ia kembali ke Banda Aceh dan mendirikan sebuah lembaga usaha yang bernama PT Karkam. Perusahaan ini dipercaya oleh Pemerintah RI mengelola rampasan perang untuk dijadikan dana revolusi. Ia berhenti menjadi tentara, kemudia ia melanjutkan karirnya dengan menggeluti usaha dengan sejumlah aset berupa kapal dan beberapa dok kapal di Palembang, Medan, Jakarta, Makassar, Surabaya.
Ia juga bisnis ekspor-impor, antara lain mengimpor mobil Toyota Hardtop dari Jepang, besi beton, plat baja, bahkan sempat mengimpor senjata atas persetujuan Dephankam dan Presiden. Ia mendukung pembebasan Irian Barat serta pemberantasan buta huruf. Ia juga menyukseskan KTT Asia Afrika.
Ia termasuk salah satu konglomerat Indonesia yang dikenal dekat dengan pemerintahan Soekarno. Berkat bantuan para konglomerat itulah KTT Asia Afrika berhasil memerdekakan negara-negara yang ada di Asia dan Afrika.
Namun, sejarah kemudian berbalik. Peran dan sumbangan Teuku Markam dalam membangun perekonomian Indonesia seakan menjadi tak ada artinya di mata pemerintahan Soeharto. Dengan sepihak ia difitnah sebagai PKI dan dituding sebagai koruptor dan penganut Soekarnoisme. Akibat tuduhan itu, ia dipenjarakan pada tahun 1966. Ia dijebloskan ke dalam sel tanpa melalui proses pengadilan.
Pertama-tama ia dimasukkan ke tahanan Budi Utomo, lalu dipindahkan ke Guntur. Selanjutnya ia dipindah ke penjara Salemba di jalan Percetakan Negara. Tak lama ia dipindahkan lagi ke tahanan Cipinang, lalu terakhir ia dipindah lagi ke tahanan Nirbaya di Pondok Gede Jakarta Timur. Pada tahun 1972 ia jatuh sakit dan terpaksa dirawat di RSPAD Gatot Soebroto selama kurang lebih dua tahun.
Pemerintah Orde Baru juga merampas hak milik PT. Karkam dan mengubahnya menjadi atas nama pemerintah. Teuku Markam hidup sengsara di hari tuanya. Ahli warisnya juga hidup terlunta-lunta sampai ada yang menderita depresi mental. Hingga kekuasaan Orba berakhir, nama baik Teuku Markam tak pernah direhabilitasi.
Anak-anaknya mencoba bertahan hidup dengan segala daya dan memanfaatkan bekas koneksi-koneksi bisnis Teuku Markam. Dan kini, ahli waris Teuku Markam tengah berjuang mengembalikan hak-hak orang tuanya.


Credit  VIVA.co.id