Selasa, 19 Mei 2015

AS Khawatirkan Klaim Tiongkok di Udara Laut Cina Selatan


AS Khawatirkan Klaim Tiongkok di Udara Laut Cina Selatan 
  Angkatan Laut Amerika Serikat mengerahkan kapal USS Fort Worth untuk berpatroli di Laut Cina Selatan dan juga wilayah udaranya. (Mass Communication Specialist 2nd Class Antonio P. Turretto Ramos/US Navy)
 
 
Jakarta, CB -- Ketika angkatan laut AS mengirim kapal perang untuk melakukan patroli pertama ke Kepulauan Spratly di Laut Cina Selatan yang diperebukan dalam satu minggu terakhir, mereka juga mengamati wilayah udara di lokasi tersebut.

Pernyataan di situs AL Amerika menyebut kapal USS Fort Worth, salah satu kapal paling modern yang dimiliki Angkatan Laut AS, mengerahkan satu pesawat pengintai tanpa awak dan helikopter Seahawk untuk berpatroli di udara.

Sementara AL Amerika tidak menyebut kegiatan reklamasi di Kepulauan Spratly yang berlangsung dengan cepat, tindakan ini memperlihatkan kemampuan AS jika Beijing menyatakan wilayah itu sebagai Zona Indentifikasi Pertahanan Udara, ADIZ.

Para pengamat dan sejumlah pejabat militer AS mengatakan langkah itu kemungkinan besar akan dilakukan Tiongkok.

“Bukan akan segera terjadi tetapi jika kita bertaruh, saya memperkirakan mereka pada akhirnya akan mengambil langkah itu. Saya tidak tahu kapan hal itu akan terjadi,” ujar seorang komandan senior AS yang akrab dengan situasi di Asia.

ADIZ tidak diatur secara resmi oleh traktat atau undang-undang, namun digunakan oleh sejumlah negara untuk memperluas kendali ke luar wilayah mereka. ADIZ mewajibkan pesawat sipil dan militer untuk memberitahu identitas mereka, atau akan disergap oleh pesawat militer.

Tiongkok mendapat kecaman dari Amerika dan Jepang ketika pada akhir 2013 menyatakan ADIZ di Laut Cina Timur, di atas kepulauan kosong yang diperebutkan dengan Tokyo.

Fasilitas militer Tiongkok yang sedang dibangun di Karang Fiery Cross di Spratly meliputi landasan pacu sepanjang 3.000 meter dan radar peringatan dini. Seorang komandan militer AS yang menolak disebutkan namanya mengatakan fasilitas ini akan mulai digunakan pada akhir tahun ini.

Gambar-gambar satelit yang baru-baru diambil menunjukkan proyek reklamasi Karang Subi yang jika disatukan akan membentuk wilayah seukuran satu landasan pacu pesawat.

Keprihatinan AS bahwa Tiongkok kemungkinan akan menerapkan pembatasan di wilayah udara dan laut di Kepulauan Spratly setelah proyek reklamasi tujuh pulau buatan itu selesai menjadi agenda pembicaraan antera Menteri Luar Negeri John Kerry dan para pemimpin Tiongkok di Beijing akhir minggu lalu.

Sulit Diterapkan

Tiongkok, kekuatan dunia baru dari Asia, mengklaim sebagian besar wilayah Laut Cina Selatan yang dilintasi oleh kapal laut dengan perdagangan bernilai US$5 triliun per tahun.

Filipina, Vietnam, Malaysia, Taiwan dan Brunei juga mengklaim wilayah Laut Cina Selatan.

Tiongkok mengatakan memiliki hak penuh untuk membentuk ADIZ tetapi kondisi yang terjadi di Laut Cina Selatan tidak memungkinkan hal itu.

Para pakar mengatakan karena jarak yang terlalu jauh, akan sulit menerapkan ADIZ sekalipun sudah ada dua landasan pacu di Kepulauan Spratly, dan satu landasan pacu di pulau Woody di kepulauan Paracel yang bisa digunakan oleh jet tempur.

 
Foto yang diambil dari pesawat militer Filipina memperlihatkan kegiatan reklamasi di Kepulauan Spratly oleh Tiongkok. (Reuters/Ritchie B. Tongo/Pool)
Kepulauan Spratly, misalnya, terletak lebih dari 1.100 kilometer dari Tiongkok Ddaratan, sehingga pangkalan militer canggih yang terletak di sepanjang pesisir negara itu terlalu jauh.

“Bahkan dengan reklamasi pulau-pulau baru itu, akan terlalu jauh bagi Tiongkok untuk secara rutin menerapkan zona semacam itu di wilayah selatan,” ujar Richard Bitzinger, pengamat keamanan wilayah dari Sekolah Studi Internasional S. Rajaratnam, Singapura.

Militer Jepang dan Amerika serta dua maskapai sipil Jepang, ANA dan Japan Airlines, tidak mengindahkan ADIZ di atas Laut Cina Timur.

Baru-baru ini, seorang pejabat AS mengatakan Pentagon sedang mempertimbangkan mengirim pesawat dan kapal militer untuk menilai kebebasan berlayar di sekitar kepulauan buatan milik Tiongkok tersebut.

Kementerian Luar Negeri Tiongkok bereaksi dengan mengatakan Beijing “sangat khawatir” dan meminta penjelasan.

Tiongkok kemudian menuduh Filipina bekerjasama dengan Amerika Serikat untuk “membesar-besarkan ancaman Tiongkok” di Spratly.

Komandan militer Filipina yang bertanggung jawab atas wilayah itu mengatakan, Tiongkok sebelumnya mengeluarkan peringatan setidaknya enam kali ke pesawat milik angkatan udara dan angkatan laut Filipina agar meninggalkan Spratly. Peringatan itu ditolak oleh pesawat jet tersebut.

Zhang Baohui, pakar keamanan Tiongkok daratan dari Universitas Lingnan Hong Kong, mengatakan khawatir dengan risiko konfrontasi akibat pameran kekuatan Amerika Serikat.

“Langkah itu tidak hati-hati,” ujarnya merujuk pada rencana terbaru Washington.
 
Amerika Serikat mengerahkan pesawat militer untuk melakukan patroli di Laut Cina Selatan. (Reuters/Mass Communication Specialist 3rd Class Daniel J. Meshel/Handout)
“Langkah ini memiliki dinamika akan terjadi peningkatan ketegangan yang tidak direncanakan,” tambahnya. “Apakah mereka siap menghadapi konsekuensi peningkatan ketegangan itu?”

Di laut, ketegangan itu jelas terlihat.

Pernyataan angkatan laut AS mengenai pengerahan kapal USS Forth Worth, yang bisa mengejar kapal selam, juga mencatat bahwa kapal ini “bertemu dengan beberapa kapal perang Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat” ketika melakukan patroli.

“Interaksi kami dengan kapal Tiongkok berjalan secara profesional dan (Aturan Pertemuan Tak Terencana di Laut) membantu mengklarifikasi tujuan dan mencegah salah komunikasi,” kata Matt Kawas, komandan Forth Worth, dalam pernyataan tertulis itu.

Credit  CNN Indonesia