Rabu, 23 Maret 2016

Demo Sopir Taksi dan Fenomena "Sharing Economy"


 
GrabBike Aplikasi pemesan ojek digital lewat ponsel pintar, tersedia untuk sistem iOS, Android, dan Blackberry.

Oleh: Rhenald Kasali

Karena sharing, maka menjadi murah. Selamat datang anak-anak muda pembaharu!
Mereka memang berbeda dengan orang-orang tua yang dibesarkan dalam peradapan “memiliki.” Orang-orang tua tahunya berbisnis itu harus membeli dan menguasai. Jadinya semua mahal. Mobil harus beli sendiri, tanah, gedung, pabrik, bahan baku, semua disatukan dengan nama pemilik yang jelas.
Akibatnya modal jadi besar. Mau buka mal urusannya banyak. Sedangkan generasi milenials cukup pergi ke dunia maya. Serahkan pada pada robot (digital technology), lalu berkumpullah para pemilik barang untuk membuka lapak di sana dan berbagi hasil.
Sama juga dengan membuka usaha transportasi. Yang mahal hanya ide, lalu buat aplikasinya. Siapapun yang punya kendaraan bisa bergabung, dan malam harinya kendaraan tersebut diparkir di rumah masing-masing. Tak perlu jasa keamanan atau pol taksi.
Akibatnya wajar, kalau sebagian generasi tua gagal paham menyaksikan ulah mereka yang memurahkan segala macam harga.
Kalau ini mewabah, gila! Indonesia bakal dilanda deflasi, bukan inflasi. Tapi kini mereka dituduh menerapkan strategi harga predator yang bisa diperkarakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Ongkos taksi yang harusnya Rp 150.000, cuma dihargai Rp 70.000.
Kamar penginapan yang permalamnya Rp 1 Juta ditawarkan Rp 200.000. Apa betul ini persaingan tak wajar?
Belum lagi gadget, tiket, atau perabotan sehari-hari. Milenials bukan saja pribumi di dunia digital, melainkan juga mempraktikkan sharing economy.
Kriminalisasi atau Legalisasi
Tapi gini ya, ini bukan prostitusi online yang bekerja sembunyi-sembunyi. Mereka hadir terang-terangan di depan mata kita. Bahkan kita sesekali mencicipinya. Tetapi sebagian orang sering menyamakan mereka dengan bisnis ilegal.
Persepsi ini diperburuk oleh ketidakmengertian kita tentang sharing economy yang gejalanya sudah marak di mana-mana. Kita bilang mereka menerapkan strategi “predatory pricing“. Kita juga bilang, aspek keamanan mereka tak terjamin.
Kedua isu itu sudah mereka diskusikan sejak 3 tahun yang lalu. Makanya mereka mengembangkan sistem komunal dan rating. Siapapun yang reputasinya buruk dari consumer experience, mereka drop dari komunitas berbagi itu. Sejarah hidup mereka di-review dari perilaku sehari-hari di dunia maya.
Maka, bagi para orang tua, cara kerja anak-anak muda ini sulit dipahami. Sebagian pengambil kebijakan dan para pelaku usaha lama yang sudah terikat dengan fixed cost yang besar, menuntut agar usaha mereka dihambat. Atau kata publik, dikriminalisasi. Ditangkap, dijebak, dibubarkan, diblokir, dan diusir dari republik ini.
Namun susahnya, dunia sharing ini adalah dunia yang tak mengenal batas-batas negara. Diusir dari sini, ia bisa dioperasikan dari luar negeri. Di luar negri, kriminalisasi, denda dan larangan sudah dilakukan berkali-kali, tetapi mereka kembali hidup lagi di tempat lain, bahkan dimodali Silicon Valley.
Saya sendiri memilih jalan perubahan. Anda tak akan mungkin melawan proses alamiah ini. Daripada terus bertengkar, lebih baik beradaptasi.
Sejak dulu, para ahli sudah mengingatkan, teknologi baru menuntut manusia-manusia berpikir dengan cara baru. Kata Peter Drucker, New Technology X Old Mindset hasilnya: Fail! Gagal! Jadi teknologi baru butuh mindset baru. Itu baru menjadi kesejahteraan.
Jadi, para pelaku usaha yang lama harus berubah seperti tukang-tukang ojek pangkalan yang kini sudah berjaket hijau atau biru.
Sebagian customer masih nyaman pakai taksi langganannya. Tetapi pasarnya tinggal sedikit. Tak sebesar dulu lagi. Nah sebagian lagi, harus disiapkan dengan platform baru: sharing economy. Dan ingat, sebentar lagi pemilik-pemilik hotel pun akan berdemo dan para pekerjanya menuntut airbnb.com, couchsurfing.com dan sejenisnya dibubarkan.
Harta-harta Yang Menganggur

Problem yang muncul dari peradaban owning economy adalah sampah menumpuk dimana-mana, karena semua manusia ingin memiliki sendiri-sendiri. Jalanan jadi super macet di seluruh dunia, air semakin kotor dan gap kaya-miskin begitu besar.
Semua ini disebabkan oleh tragedi kapitalisme yang menghargai penumpukan modal, hak-hak kekayaan individu “yang tak mau berbagi” secara adil dengan efek penguasaan aset-aset strategis.
Padahal dulu, orang-orang tua kita hidup dalam sistem berbagi. Mereka hidup di kampung dan bebas melintasi tanah milik orang lain atau tanah ulayat yang tak berpagar.
Suasananya berubah, begitu tanah-tanah itu dikuasai orang lain yang mampu mengubah status tanahnya. Mereka tak lagi berbagi bahkan untuk sekadar numpang lewat saja.
Peradaban owning economy membuat individu-individu tertentu cepat mengendus harta-harta strategis, dan memagarinya, walau untuk jangka waktu yang lama tak digunakan.
Akibatnya di abad 21 ini lebih dari 50 persen tanah-tanah itu menganggur. Termasuk lahan-lahan pertanian yang kelak akan dialihfungsikan. Maka ia hanya ditumbuhi ilalang dan dipagari tinggi. Para ekonom menyebut istilahnya sebagai underutilized atau idle capacity. Boros, menganggur, tak produktif.
Pabrik-pabrik, perkebunan, vila mewah, mobil-mobil keren, semua dikuasai, tetapi belum tentu dipakai sebulan sekali oleh pemiliknya. Menjadi rumah hantu atau pajangan tak bermanfaat. Nice to have, only!
Sampailah muncul teknologi baru, dengan generasi perubahan. Bagi kaum muda sharing economy dianggap sebagai penyelamat planet ini dari keserakahan manusia. Mereka menggagas ideologi-ideologi praktis tentang kesempatan berbagi. Setelah kewirausahaan sosial, lalu sharing economy.
Mereka bilang, “buat apa membeli yang baru, kalau barang-barang yang lama saja masih bisa dipakai orang lain.” Maka jutaan barang-barang bekas yang ada di garasi dan gudang rumah dijual kembali via e-Bay, OLX atau Kaskus. Gila, piringan hitam zaman dulu hidup lagi. Velg-velg mobil yang sudah langka kini bisa ditemui.
Setelah itu kebun-kebun yang menganggur ditawarkan kepada anak-anak muda yang mau bertani, hasilnya mereka bantu jualkan langsung ke konsumen via igrow.com. Lalu pemilik-pemilik rumah-rumah atau satu-dua kamar yang kosong ditawarkan. Bahkan ada tuan rumah yang menawarkan jasa plus sebagai guide buat jalan-jalan. Persis seperti menginap di rumah paman.
Di Perancis ada komunitas yang menawarkan mesin cuci pakaian, bahkan juga mesin cuci piring. Di Indonesia, ada yang menawarkan jasa pijet, yang pesertanya bahkan ada lulusan D3 fisioterapi untuk merawat pasien stroke. Prinsipnya, lebih baik jadi uang daripada rusak tak terawat; lebih baik murah tapi terpakai penuh ketimbang underutilized.
Ketika sharing economy menjadi gejala ekonomi yang marak, maka gelombang ini akan terjadi: Deflasi karena harga-harga akan turun, ledakan pariwisata dalam jumlah yang tak terduga karena banyak pilihan menginap yang murah, aset-aset milik masyarakat yang mengganggur menjadi produktif, dan kerusakan alam lebih terjaga.
Sebaliknya, ia juga menimbulkan dampak-dampak negatif: Pengangguran bagi yang tak lolos dalam seleksi alam (persaingan) dengan business model baru ini, kerugian-kerugian besar dari sektor-sektor usaha konvensional yang konsumennya shifting (berpindah), dan kriminalisasi oleh para penegak hukum atau pembuat kebijakan yang terlambat mengatur.
Sekarang negara punya dua pilihan. Pertama, tetap hidup dalam owning economy, dengan risiko pasar yang besar ini menjadi ilegal economy dengan operator pengendali dari luar Indonesia.

Kedua, melegalkan sharing economy dan mendorong pelaku-pelaku lama menyesuaikan diri.
Silahkan direnungkan!






Credit  Kompas.com