Kamis, 25 Juni 2015

Bung Tomo Dicuekin HB IX, tapi Dirangkul Soekarno


Sutomo (Bung Tomo) (Foto: Wikipedia)
Sutomo (Bung Tomo) (Foto: Wikipedia)
SOEKARNO, Presiden RI pertama merupakan sosok negarawan yang juga dikenal orator ulung. Pidatonya yang berapi-api sanggup menghipnotis segenap jiwa manusia Indonesia hingga ikut terbakar bara api revolusi.
Tapi di antara tokoh-tokoh lainnya, mungkin hanya Sutomo atau yang bisa dikenal dengan Bung Tomo, yang mampu menyamai gegap gempitanya pidato Soekarno. Pidato Bung Tomo jelang pertempuran 10 November 1945 contohnya.
Akibat pidatonya yang mampu menggerakkan, tak hanya segenap warga Kota Surabaya, tapi juga hampir semua warga Jawa Timur untuk angkat senjata melawan sekutu itu, membuatnya jadi orang paling dicari oleh Belanda selain Bung Karno.
Tapi mantan jurnalis yang membawahi Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) itu, ternyata sempat harus ‘nganggur’ ketika pemerintahan RI sudah dikembalikan ke Ibu Kota Yogyakarta sejak 24 Juni 1949.
Keesokan harinya, 25 Juni, pasukan Belanda mulai angkat kaki dari Yogyakarta untuk ditarik mundur ke Magelang, sebagai akibat dari Perjanjian Roem-Roijen, serta kesepakatan tiga pihak antara BFO, Indonesia dan Belanda yang juga diawasi utusan PBB.
Sementara di satu sisi, satuan polisi dan TNI mulai sedikit demi sedikit memasuki Yogyakarta, hingga puncaknya pada 29 Juni yang acap dikenal sebagai peristiwa “Yogya Kembali”.
Bung Tomo satu di antara sejumlah tokoh yang sedari awal sudah memasuki Yogyakarta. Putra Kartawan Tjiptowidjojo itu kemudian coba mendatangi kantor Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengku Buwono (HB IX) dengan tujuan mendapatkan posisi sebagai pegawai pemerintah.
Sayangnya, Sultan HB IX seolah ‘cuek’ dan menyatakan tak punya lowongan apapun buat Bung Tomo. Ternyata, nasib pejuang tak hanya terabaikan di masa sekarang, tapi tak lama setelah Belanda keluar Ibu Kota pun juga sudah terjadi.
“Seharian aku berdiri bersender di tembok kantor Sri Sultan. Baru tengah hari aku diterima beliau dan dengan menyesal, beliau berkata tidak ada lowongan untukku,” kesal Bung Tomo seperti diceritakan sang istri, Sulistina Sutomo dalam buku ‘Bung Tomo Suamiku: Biar Rakyat yang Menilai Kepahlawananmu’.
“Dengar ya, mulai detik ini aku tak mau meminta-minta jadi pegawai! Tahu tidak, yang menentukan Republik ini merdeka bukan karena diplomasi saja, tapi juga ini!,” serunya sembari mengacungkan jari telunjuknya.
Tak berapa lama setelah ‘luntang-lantung’ tanpa pekerjaan, Bung Tomo pilih masuk dunia politik. Laskar BPRI yang dipimpinnya “disulap” jadi Partai Rakyat Indonesia. Dari situ, Bung Tomo mulai kenal dekat dengan Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) Mayjen Bambang Soegeng dan pastinya Presiden Soekarno.
Karier Bung Tomo terbilang melesat, mulai dari menduduki jabatan Menteri Negara Urusan Veteran sekaligus Menteri Sosial Ad-Interim, anggota DPR periode 1956-1959 dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Pada suatu ketika, Bung Tomo diajak rombongan Presiden Soekarno yang punya agenda mengunjungi Nusa Tenggara Timur. Lepas Bung Karno berpidato, Bung Tomo ikut dipanggil ke atas mimbar dan melanjutkan pidato di hadapan masyarakat setempat.
Bung Karno sempat menyebut jika beliau meninggal, Bung Tomo-lah yang akan menggantikannya. Pun begitu, Bung Tomo tahu bahwa itu hanya candaan dari presiden. Seiring berjalannya waktu, ketika Bung Karno jatuh pasca-peristiwa Gerakan 30 September 1965 dan penyerahan mandat via Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966, mulai tenggelam pula karier Bung Tomo di dunia politik.
Soeharto yang menggusur Soekarno sebagai pejabat presiden, jelas jadi sosok yang bertentangan dengan Bung Tomo, hingga akhirnya diseret ke penjara pada 11 April 1978. Setahun kemudian dibebaskan, tapi tak ada lagi niat Bung Tomo meneruskan kariernya di dunia politik.


Credit   Okezone