Dunia melihat keseriusan RI memberantas terorisme.
Personel Densus 88 Polri berjaga di sekitar rumah seorang terduga ISIS Kota Malang, Jawa Timur, Kamis, 26 Maret 2015. (D.A. Pitaloka/Malang)
Demikian penjelasan Direktur Jenderal Multilateral Kementerian Luar Negeri RI, Hasan Kleib, yang dihubungi VIVA.co.id pada Senin, 22 Juni 2015. Hasan menyebut hasil positif ini telah dilakukan melalui perjuangan yang cukup panjang.
Dia mengatakan Indonesia telah berupaya selama dua tahun untuk
keluar dari daftar itu. Indonesia bisa masuk ke dalam daftar hitam itu
karena belum memiliki satu perangkat hukum untuk memberantas pendanaan
terorisme. Sehingga dianggap tidak kooperatif dalam hal menentang aksi
pencucian uang dan pendaan terorisme.
Selain Indonesia yang masuk ke dalam daftar itu, terdapat juga negara Iran, Korea Utara, Aljazair, Ekuador dan Myanmar.
Akhirnya di tahun 2013, Pemerintah Indonesia membuat Undang-Undang
No. 9 tahun 2013 mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pendanaan terorisme.
"UU itu menjadi jawaban dari permintaan FATF yang fokus agar
Indonesia membekukan aset WNI terduga dan teroris. Kami tunjukkan
kemajuan yang telah dibuat oleh Indonesia dengan UU tersebut melalui
rapat FATF di Paris pada Februari lalu," papar Hasan.
Dalam rapat di Paris, Hasan melanjutkan, semua anggota FATF sepakat
Indonesia telah membuat kemajuan positif. Maka peringkatnya diturunkan
dari black list menjadi grey list.
Kendati membuat kemajuan, kata Hasan, namun nama Indonesia tetap tercantum dalam public statement untuk
transaksi keuangan. Public statement tersebut merugikan Indonesia jika
ingin melakukan transaksi keuangan ke luar atau menerima dana dari luar
negeri. Sebab, di dalamnya terdapat peringatan agar berhati-hati jika
ingin melakukan transaksi keuangan ke RI.
Oleh sebab itu, bersama tim gabungan yang terdiri dari PPATK, BIN,
dan Densus 88, Indonesia berupaya keluar dari daftar abu-abu itu.
"Kami telah membekukan semua aset WNI terduga teroris atau teroris
yang namanya masuk di dalam daftar resolusi PBB no. 1267. Total,
terdapat 17 WNI atau organisasi yang masuk ke dalam resolusi itu," kata
dia.
Namun, untuk bisa keluar, Indonesia harus mengundang pejabat FATF
datang ke Jakarta untuk meninjau UU tersebut. Pejabat FATF pun kemudian
datang melakukan on site visit.
"Pada Minggu lalu pun Kemlu mengundang 30 Duta Besar untuk datang
ke Pejambon. Di sana, kami paparkan implementasi yang telah dilakukan
oleh Indonesia dengan pemberlakuan UU No. 9 itu, termasuk membekukan
semua aset yang ada di dalam resolusi 1267," kata Hasan.
Sementara, penjelasan serupa juga disampaikan Hasan hari ini di
Brisbane kepada pejabat tinggi dari beberapa negara seperti Amerika
Serikat, Australia, Selandia Baru, Jepang, dan Tiongkok. Hasan
menegaskan kembali langkah-langkah dan komitmen yang diambil oleh
Pemerintah Indonesia.
"Hasilnya, mereka sepakat mengusulkan Indonesia untuk keluar dari
daftar hitam FATF, sehingga tidak ada lagi nama Indonesia dalam public statment.
Hal ini kami lakukan bukan hanya atas keinginan FATF, tetapi karena
turut menyangkut kepentingan nasional Indonesia," Hasan menambahkan.