Kamis, 04 Juni 2015

Kisah Diplomat RI, 8 Tahun Minta Maaf Hindari Hukum Pancung

Keenam warga Banjar itu akhirnya bebas tanpa bayar denda.

Kisah Diplomat RI, 8 Tahun Minta Maaf Hindari Hukum Pancung
Fadhly Ahmad (di tengah dan mengenakan dasi) diplomat RI bersama keluarga korban Pakistan yang dibunuh oleh lima warga Banjar, Kalimantan Selatan tahun 2006 lalu.  (Istimewa)
CB - Fadhly Ahmad tak menyangka harus berhadapan dengan kasus pelik ketika dikirim bertugas di KJRI Jeddah, Arab Saudi. Fadhly diminta membantu proses pengurusan kasus enam warga Banjar, Kalimantan Selatan, yang terlibat kasus pembunuhan seorang warga Pakistan.

Ditemui VIVA.co.id di kantor Kementerian Luar Negeri, kawasan Pejambon, Jakarta Pusat, pada Rabu, 3 Juni 2015, pria kurus itu berkisah pembunuhan tersebut sebenarnya dilakukan oleh lima orang. Satu orang lainnya turut menjadi fasilitator dari aksi sadis tersebut.

"Kasus pembunuhan ini sudah mencuat pada 2006. Sementara, saya baru tiba magang di KJRI Jeddah tahun 2009. Mereka turut melibatkan saya dalam kasus itu, karena mengetahui saya memiliki latar pendidikan Master di Islamic International University di Islamabad," turut Fadhly.

Atasan Fadhly beranggapan jika dia ikut diterjunkan dalam kasus tersebut, maka akan lebih mudah mendekati keluarga Zubair bin Hafizh Ghul yang telah dibunuh oleh lima warga Banjar itu. Pendekatan itu dilakukan, agar mereka bisa memberikan maaf bagi kelima warga Banjar agar terlepas dari hukuman pancung di Arab Saudi.

Diberi kepercayaan yang demikian tinggi, maka Fadhly pun menjalankan amanah tersebut. Tetapi, begitu menjejakkan kaki kali pertama di kediaman Ibu Zubair, wanita tua itu langsung memaki Fadhly.

"Kamu adalah pembela kriminal! Pembela kriminal adalah kriminal juga!" teriak Ibu Zubair, Ghulam Zahrah Hafizh, ketika melihat sosok Fadhly di depan pintu dan menyebut kata "Indonesia".

Respons serupa juga harus diterima Fadhly ketika berkunjung kali kedua ke rumah Zahrah. Bahkan, saat kali keempat berkunjung, responsnya tak jauh berbeda.

Wajar, sebab putra tertua mereka dibunuh dengan cara dipukul beramai-ramai. Lalu, setelah tewas, jasadnya malah disemen oleh kelima pelaku.

Fadhly pun mencoba untuk menyampaikan permintaan maaf dan rasa bela sungkawa dengan cara yang paling sopan, kendati Ghulam tetap memberondong diplomat Indonesia tersebut dengan caci maki. Tidak bisa didekati melalui sang ibu, Fadhly kemudian berkenalan dengan adik korban yang bernama Yunus.

"Orangnya sangat aktif dan komunikatif. Dari dia, saya bisa dekat dengan keluarga. Kami kerap berkomunikasi melalui telepon dan bertandang ke rumahnya," tutur Fadhly.

Dengan keluarga Zahrah, Fadhly mengaku tak pernah membicarakan kasus keenam warga Banjar dan permohonan maaf.

"Yang saya tonjolkan adalah kedekatan budaya antara saya dengan Pakistan karena sebelumnya saya pernah menuntut ilmu di sana. Saya sering mengatakan kepada mereka jika saya kangen masakan Pakistan," kata Fadhly bercerita.

Selain itu, Fadhly dan Yunus memiliki kesamaan gemar menonton pertandingan Al Ittihad, klub sepak bola terbaik di Jeddah. Semuanya dilakukan, agar bisa mendekati keluarga dan memberikan maaf bagi lima warga Banjar tersebut.

Menurut dia, pendekatan yang bertujuan untuk menumbuhkan rasa percaya tidaklah mudah. Walaupun, pada akhirnya, kedekatan yang dibangun antara Fadhly dengan keluarga korban berhasil menimbulkan rasa percaya.

"Di situ, Yunus mulai bercerita dan mengatakan ibunya tengah sakit. Dia mengatakan biaya yang ada saat ini pas-pasan. Lalu, saya katakan kepada dia agar dirawat di sebuah Rumah Sakit Erfan Bagheto di Jeddah. Jika, mereka telah tiba, saya minta untuk dikabari," ujar Fadhly.

Momentum yang dinanti akhirnya datang. Pada Juni 2012, Fadhly bersama tim KJRI Jeddah menjenguk Zahrah yang tengah dirawat akibat penyakit ginjal yang dia derita. Pada saat tim medis meminta Zahrah untuk dipindah dari kursi roda ke tempat tidur pasien agar bisa dioperasi, dia menerima tawaran Fadhly untuk menggendongnya.

"Ibu korban kemudian mengusap kepala saya sambil mengatakan, 'terima kasih anakku'," tutur Fadhly menirukan kalimat Zahrah.

Setelah kejadian di rumah sakit itu, perlakuan Zahrah kepada Fadhly langsung berubah 180 derajat. Setiap kali Fadhly ingin berkunjung ke rumah keluarga Zubair, Zahrah sangat antusiasi menemuinya. Kemudian, hubungan mereka mulai cair layaknya ibu dengan anak.

Setelah enam tahun berjuang, Ayah korban, kata Fadhly sebenarnya telah memberi maaf pada 2012. Yunus pun juga mengatakan hal serupa.

"Insya Allah, ibu dan ayah saya telah memaafkan," kata Fadhly menirukan kalimat Yunus.

Puncaknya pada Januari 2014, keluarga korban hadir di pengadilan dan bersedia memberikan maaf secara tertulis tanpa meminta uang diyat sepeser pun.

Kesempatan Kedua

Fadhly menyadari dengan mendekati keluarga korban dan mencari pemaafan dari mereka, itu sama saja dengan membela tindak para pembunuh salah satu anggota keluarga korban. Tetapi, dia melihat kelima warga Banjar itu tak bermaksud membunuh Zubair.

Kelimanya mengaku kesal karena Zubair kerap menggoda istri salah satu dari mereka. Belum lagi, Zubair kerap meminta uang dan mengancam akan mengadukan mereka ke petugas imigrasi. Sebab, dari enam warga Banjar itu yang memiliki visa resmi bekerja hanya dua orang. Sementara, sisanya menggunakan visa umrah.

"Melalui kejadian ini, saya hanya ingin memberikan kesempatan kedua kepada mereka untuk mengubah diri dan bertobat dari perbuatan ini. Saya kerap mengatakan, orang Indonesia tak semua bersikap seperti enam warga Banjar itu," tutur Fadhly.

Akhirnya kata maaf baru diberikan usai berjuang selama delapan tahun mendekati keluarga korban. "Saya turut bersimpati, berempati dan tak membenarkan perbuatan mereka. Namun, pemerintah tentu ingin memberikan perlindungan yang terbaik bagi warganya," kata Fadhly, menambahkan.

Keenam warga Banjar itu akhirnya tiba di Tanah Air pada Rabu sore kemarin dan hari ini diantar menuju ke Kalimatan Selatan.






Credit   VIVA.co.id