Kamis, 17 Desember 2015

Saat Militer Jepang Turun Gunung


Saat Militer Jepang Turun Gunung
Foto: Dadan Kuswaraharja



Jakarta - 70 Tahun sudah militer Jepang 'menyepi di pegunungan', hanya melihat dari sisi damai tanpa terusik hiruk pikuk perang di berbagai belahan dunia. Namun hal itu segera berubah, militer Jepang akan 'turun gunung'.

Setelah berakhirnya Perang Dunia II pada 1945, Jepang memperketat aturan soal penggunaan kekuatan militer. Aturan ketat itu mengisolasi kekuatan militer Jepang dari dunia luar. Selama tak diserang, Negeri Matahari Terbit tak boleh menggunakan kekuatan militernya yang terkenal memiliki determinasi tinggi dan dilengkapi alutsista canggih di luar negeri.

9 September 2015 aturan itu resmi diubah. Diwarnai penolakan keras dari oposisi dan demonstrasi, Parlemen Jepang yang dikuasai Partai Demokratik Liberal -- parpol pendukung pemerintah -- mengesahkan revisi Undang-Undang Keamanan Nasional. Revisi itu memberi perubahan besar terkait kebijakan penggunaan kekuatan militer Jepang.

Dalam Undang-Undang baru, Jepang bisa menggunakan kekuatan militernya di luar negeri. Jepang bisa mengirim pasukan, alutsista, dan semua potensi militer yang dimiliki untuk membantu negara sahabat yang meminta pertolongan, utamanya untuk Amerika Serikat dan sekutunya.

Undang-Undang baru ini menjadi kontroversi di dalam negeri. Media mengkritik, pengamat menganggap ada pelanggaran konstitusi, rakyat turun ke jalan berdemonstrasi. Tak hanya memicu reaksi di dalam negeri, negara-negara tetangga Jepang pun bereaksi. Reaksi keras datang dari China, yang mengkritik habis Undang-Undang baru itu. Media Pemerintah China bahkan memberi istilah "Dark Stain for Japan" untuk pengesahan Undang-Undang tersebut.

Namun segala reaksi dari dalam dan luar negeri itu dianggap berlebihan oleh Profesor dari University of Tokyo, Shin Kawamura. Kawamura mengatakan banyak yang melebih-lebihkan soal materi yang termaktub dalam Undang-Undang tersebut.

"Di dalam negeri rakyat protes karena kekhawatiran yang berlebihan. Sebagaian masyarakat khawatir mereka akan kena wajib militer. Padahal kalau lihat isi Undang-Undangnya tidak ada wajib militer. Banyak yang menghembuskan isu yang tak sesuai fakta dan melebih-lebihkan," kata Kawamura saat berbincang dengan detikcom dan dua jurnalis Indonesia lainnya di Tokyo, Rabu (16/12/2015).

Kawamura menjelaskan Undang-Undang ini belum berlaku tahun ini, dan baru efektif diberlakukan musim semi 2016, di bulan Maret atau April.

Menurutnya tak ada perubahan sikap dasar dan orientasi Jepang dalam Undang-Undang baru tersebut. Kawamura mengatakan Undang-Undang ini memang meningkatkan daya pencegahan konflik militer melalui aliansi Jepang-AS, namun dia menegaskan Negeri Sakura tetap cinta damai.

"Jepang dapat berpartisipasi pada misi Peace Keeping Operation PBB dan kegiatan serupa yang lain secara lebih luas. Dan Undang-Undang ini membuat Jepang dapat menyalurkan dukungan yang diperlukan dalam kondisi yang berpengaruh besar pada perdamaian dan keamanan Jepang atau mengancam perdamaian dunia internasional," ulas Kawamura dengan bahasa Inggris yang fasih.

Soal hak bela diri kolektif atau keleluasaan menggunakan kekuatan militer untuk membantu negara sahabat yang diberikan Undang-Undang ini, Kawamura mengatakan ada syarat yang ketat. Ada tiga syarat yang harus dipenuhi sebelum Pemerintah diperbolehkan mengirim pasukan ke luar negeri, yaitu:

1. Jika terjadi serangan terhadap Jepang atau jika terjadi serangan terhadap negara sahabat sehingga kelangsungan Jepang terancam dan menimbulkan bahaya nyata yang mengganggu hak untuk hidup, kebebasan serta pengejaran kebahagiaan bagi rakyat Jepang.

2. Jika tidak ada cara lain yang tepat untuk menangkal serangan serta memastikan kelangsungan Jepang dan melindungi rakyat Jepang.

3. Penggunaan kekuatan harus dibatasi seminimum mungkin yang diperlukan.

Kawamura tak menepis anggapan salah satu faktor yang mendorong munculnya Undang-Undang ini adalah untuk merespons agresivitas China di kawasan Asia. Terlebih China sedang berkonflik di Laut China Selatan dengan beberapa negara Asia Tenggara, dan berpotensi konflik di Laut China Timur. Dengan Undang-Undang Keamanan Nasional baru, Jepang bisa berkontribusi di konflik Laut China Selatan dan bereaksi lebih tanggap untuk mencegah konflik di Laut China Timur yang melibatkan salah satu pulau negeri para Samurai itu.

Lebih jauh soal Laut China Selatan, Kawamura mengatakan Jepang bisa membantu Vietnam dan Filiphina yang sedang berkonflik dengan China. Bukan dengan mengirim pasukan militer, tapi Jepang bisa menempatkan pasukan penjaga pantai untuk membantu menjaga wilayah laut kedua negara. Jepang juga bisa berkontribusi dengan mengirim kapal, transfer teknologi militer atau memberi pelatihan militer

"Jepang juga bisa membantu Indonesia untuk mengamankan Pulau Natuna. Tak hanya dari kekuatan militer China, tapi juga dari illegal fishing. Bisa dengan menempatkan penjaga pantai atau mengirim kapal yang lebih cepat atau yang teknologinya lebih canggih. Tinggal disesuaikan dengan kebutuhan Indonesia yang kami pandang sebagai kekuatan penting di Asia Tenggara," ujar penulis buku The Formation of Chinese Modern Diplomacy tersebut.

Selain soal China, Kawamura buka-bukaan soal adanya dorongan Amerika Serikat yang juga menjadi salah satu faktor terbitnya Undang-Undang Keamanan Nasional baru. Namun, dia menegaskan, dorongan itu hanya berupa permintaan agar Jepang membuat aliansi yang kuat di Asia demi menjaga perdamaian.

"Jepang merespons dorongan aliansi. Ke luar negeri, Jepang butuh memberi sinyal bahwa sudah ada perubahan secara kebijakan militer. Namun di dalam negeri kami perlu menegaskan bahwa sebenarnya tak ada yang berubah," tuturnya.

Kawamura kembali menegaskan kekhawatiran di dalam negeri berlebihan. Dia sangat yakin, Perdana Menteri Shinzo Abe dan parlemen Jepang tak akan membuat manuver yang bisa membahayakan rakyat Jepang.

"Banyak rakyat Jepang khawatir anak-anak mereka akan dikirim ke medan perang untuk mendukung Amerika. Tapi itu tak pernah terjadi. Undang-Undang ini tidak dimaksudkan untuk tujuan seperti itu," pungkasnya.



Credit  DetikNews