Selasa, 29 Desember 2015

Ramai-ramai Berkoalisi Gempur ISIS


Ramai-ramai Berkoalisi Gempur ISIS 
 Seiring dengan meningkatnya aksi terorisme, sejumlah negara sekutu Barat dan negara-negara Teluk berkoalisi menggempur militan di Irak, Suriah dan Yaman. (Reuters/Petra News Agency)
 
Jakarta, CB -- Tahun 2015 dilingkupi berbagai serangan terorisme dan ekstremisme di sejumlah negara. Mulai dari serangan di kantor majalah satire Charlie Hebdo di Paris pada awal Januari, penembakan membabi buta di Pantai Tunisia pada Juni lalu, serangkaian serangan teror di jantung kota Paris bulan lalu hingga penembak di fasilitas penyandang disabilitas di California.

Seluruh serangan itu diklaim diluncurkan oleh anggota kelompok militan ISIS maupun simpatisannya.


Serangan aksi terorisme ini semakin mendorong upaya militer untuk menggempur ISIS di markas mereka, Suriah dan Irak. Inisiasi untuk menggempur ISIS langsung di markas-markas mereka pertama muncul dalam KTT NATO di Wales pada 4-5 September 2014, ketika Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman, Kanada, Turki, Italia dan Denmark sepakat memberikan bantuan secara militer.

Iniasi militer yang digagas AS disambut baik oleh sejumlah negara Arab, seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Yordania, Qatar dan Bahrain. Setelah hampir tiga bulan serangan udara diluncurkan, upaya ini mendapat dukungan dari total 59 negara yang berkumpul di markas besar NATO di Brussels pada 3 Desember 2014.

Puluhan negara ini, termasuk Perancis, Australia, Belanda dan Belgia sepakat untuk bergabung dalam Koalisi Global untuk Melawan Negara Islam di Irak dan Levant (ISIS/ISIL), dengan tiga tujuan, yakni mengungkap kejahatan ISIS, memangkas pendanaan dan pembiayaan ISIS, serta mendukung operasi militer.

Tak hanya meluncurkan serangan udara, koalisi internasional juga sepakat untuk melatih dan mempersenjatai kelompok pemberontak yang moderat. Di Suriah, AS mendukung Free Syrian Army (FSA) atau Tentara Pembebasan Suriah yang menentang rezim pemerintahan Suriah pimpinan Bashar al-Assad. Sementara di Irak, AS mendukung pasukan Kurdi Peshmerga dan militer Irak.

Tentara koalisi yang diterjunkan tidak ditugasi meluncurkan operasi militer, tetapi hanya melatih taktik berperang. Strategi ini dinilai dapat mempercepat mengusir ISIS di Irak dan Suriah, yang kala itu memasuki tahun keempat perang saudara.

Serangan udara di Suriah

Ketika akan meluncurkan serangan udara bersama koalisi internasional, AS tidak meminta izin maupun mengkordinasikan serangan kepada pemerintah Suriah pimpinan Assad. AS hanya memberi informasi soal serangan udara ini kepada perwakilan Suriah di PBB.

Langkah ini kemungkinan besar disebabkan karena AS menilai Assad harus turun dari tampuk kepemimpinan agar perdamaian dapat tercipta di Suriah. Bahkan, menurut pendiri WikiLeaks, Julian Assange dalam laporan Sputniknews, AS sudah menginginkan Assad lengser dari kepemimpinan Suriah sejak 2006.

Meski demikian, menurut catatan Reuters, AS memberikan informasi kepada Iran, sekutu terdekat Assad, sebelum meluncurkan serangan udara pertama kali pada 22 September 2014. Pemberitahuan ini tidak mengungkapkan lokasi dan waktu serangan udara, tetapi memastikan bahwa koalisi internasional tidak akan menargetkan infrastruktur milik pemerintah Suriah.

Koalisi serangan udara pimpinan AS di Suriah, terdiri dari Australia, Kanada, Perancis, serta sejumlah negara-negara Teluk, seperti Bahrain, Yordania, Qatar, Arab Saudi, Turki dan Uni Emirat Arab.

Pada Oktober 2014, serangan udara koalisi internasional membantu pasukan milisi Kurdi Suriah (YPG) dan FSA bertarung sengit dengan militan ISIS dalam memperebutkan kota Kobani. Pertempuran ini memaksa puluhan ribu penduduk yang mayoritas merupakan etnis Kurdi mengungsi ke Turki.

Serangan udara koalisi internasional pimpinan AS menggempur markas ISIS di Kobani, Suriah, dekat perbatasan Turki. (Reuters/Stringer)
Setelah sekitar 70 persen Kobani hancur lebur akibat peperangan, kota itu akhirnya dapat direbut dari tangan ISIS pada Januari 2015.

Meski ribuan bom yang dibawa jet tempur koalisi internasional menghujani berbagai target ISIS, pengaruh kelompok militan ini tidak semakin berkurang. Terbukti, serangkaian teror terjadi oleh para simpatisannya dari berbagai penjuru dunia sepanjang tahun 2015.

Salah satu teror terbesar terjadi pada 7 Januari 2015, ketika serangan terjadi di kantor majalah satire, Charlie Hebdo di Paris, Perancis. Serangan yang terjadi hanya enam hari setelah koalisi internasional meluncurkan serangan udara ke-70 ke sejumlah target ISIS di Suriah, diluncurkan tiga orang yang diduga teradikalisasi dan telah berbaiat kepada ISIS.

Pengaruh ISIS terbukti tak juga meredam ketika pada Jumat 26 Juni 2015, penembakan membabi-buta terjadi di The RIU Imperial Marhaba Hotel, Tunisia, menewaskan 38 orang, dan serangan bom di masjid Syiah di Kuwait, menewaskan 10 orang. Kedua serangan ini diklaim oleh ISIS.

Dunia dikejutkan oleh intervensi militer Rusia dengan meluncurkan serangan udara pertama di Suriah pada 30 September 2015. Rusia mengklaim bahwa serangan udara ini diluncurkan atas permintaan Assad, salah satu sekutu Rusia.

Serangan udara ini sempat dikhawatirkan akan bentrok dengan serangan udara dari koalisi internasional yang dipimpin AS. Rusia mengklaim bahwa serangan udara yang diluncurkannya menargetkan militan ISIS dan para pemberontak. Sementara, AS menilai Rusia menargetkan sejumlah pemberontak yang didukung Barat untuk menumbangkan Assad.

Namun, AS dan Rusia kemudian menandatangani nota kesepahaman yang salah satu poinnya mengatur langkah pilot untuk menghindari tabrakan di langit Suriah dalam kampanye mereka menggempur ISIS.

Tak hanya itu, berbagai laporan menduga serangan udara Rusia menyebabkan korban sipil berjatuhan. Menurut kelompok pemerhati perang Suriah, Syrian Observatory for Human Rights pada Oktober lalu, serangan udara Rusia di Suriah telah menewaskan hampir 600 orang.

Sementara, terjadi beberapa perkembangan dalam koalisi internasional, utamanya ketika Kanada memutuskan akan menarik jet tempurnya di Suriah. "Saya berkomitmen bahwa kami akan terus terlibat secara bertanggung jawab dan mengerti pentingnya peran Kanada dalam memerangi ISIS, tapi dia mengerti komitmen saya soal mengakhiri misi tempur," kata Perdana Menteri Kanada yang baru, Justin Trudeau, dikutip dari The Guardian.

Serangan udara di Irak
Koalisi serangan udara pimpinan AS semakin meningkatkan gempuran melawan ISIS. Tak hanya di Suriah, serangan udara juga diluncurkan di markas ISIS lainnya di Irak. Koalisi serangan udara internasional di Irak sebagian besar terdiri dari negara-negara sekutu Barat, seperti Amerika Serikat, Australia, Kanada, Perancis, Belanda, Inggris.

Sejak akhir November 2014, negara-negara Teluk, seperti Yordania dan Maroko menyambut baik permintaan AS untuk bergabung dalam koalisi serangan udara di Irak.

Melalui koalisi serangan udara, AS berencana membantu militer Irak mengambil alih Mosul, kota di Irak yang dikuasai ISIS sejak 10 Juni 2014.

Serangan udara koalisi internasional di Irak sejauh ini berkontribusi dalam mengusir pendudukan ISIS di sekitar wilayah pegunungan Sinjar. Pendudukan ISIS sejak Juni 2014 menewaskan 2.000 etnis Yazidi, mayoritas penduduk di Sinjar, dan memaksa sekitar 50.000 lainnya bersembunyi di dalam gunung tersebut.

Koalisi serangan udara menggempur markas ISIS di Sinjar, Irak, pada 12 November 2015. (Reuters/Ari Jalal)
Pada Desember 2014, serangan udara koalisi membantu menghubungkan Sinjar dengan wilayah Peshmerga sehingga etnis Yazidi yang berbulan-bulan bersembunyi di gunung dapat dievakuasi.

Pada 18 Maret 2015, pemimpin ISIS, Abu Bakr al-Baghdadi dilaporkan menderita luka serius akibat serangan udara yang diluncurkan di al-Baaj, 128 kilometer barat Mosul. Baghdadi kemudian digantikan oleh wakilnya Abu Alaa al-Afri, meski pada 3 Mei 2015, The Guardian melaporkan Baghdadi berangsur pulih.

Inggris menjadi salah satu negara yang bergabung dalam serangan udara koalisi di Irak, tetapi tidak di Suriah karena terhalang penolakan dari parlemen Inggris pada 2013. Namun, Perdana Menteri David Cameron mendapatkan persetujuan parlemen untuk bergabung dalam koalisi serangan udara di Suriah pada Rabu (2/12), setelah serangkaian serangan terjadi di jantung kota Paris pada 13 November lalu, menewaskan setidaknya 130 orang.

Koalisi serangan udara di Yaman

Koalisi serangan udara untuk menggempur kelompok pemberontak tak hanya terjadi di Irak dan Suriah. Yaman menjadi ajang gempuran serangan udara dari koalisi serangan udara yang dipimpin Arab Saudi untuk memukul mundur kelompok pemberontak, Syiah Houthi.

Dikuasainya ibu kota Sanaa oleh Houthi yang memaksa mundur Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi ke kota pelabuhan Aden dan menyelamatkan diri ke Riyadh, membuat Saudi memutuskan untuk menggalang koalisi internasional untuk meluncurkan serangan udara melalui Operation Decisive Storm, sejak 26 Maret 2015.

Dikuasainya ibu kota Sanaa oleh Houthi membuat Saudi memutuskan menggalang koalisi serangan udara melalui Operation Decisive Storm, sejak 26 Maret 2015.(Reuters/Mohamed al-Sayaghi)
Seluruh negara-negara Teluk bergabung dalam koalisi serangan udara Saudi, kecuali Oman dan Pakistan. Banyak warga sipil dilaporkan menjadi korban dalam serangan udara ini. Pada akhir Oktober lalu, serangan udara Saudi menghantam rumah sakit yang dikelola oleh organisasi Medecins Sans Frontieres (MSF) atau Dokter Lintas Batas.

Kelompok HAM mengecam serangan udara koalisi Saudi yang disebut juga menewaskan warga sipil. Lebih dari 5.600 orang tewas dalam konflik Yaman dan menjerumuskan negara miskin itu ke dalam krisis kemanusiaan.

Solusi diplomatis untuk menghentikan konflik di Yaman adalah melalui gencatan senjata yang bertepatan dengan pembicaraan damai yang didukung oleh PBB pada 15 Desember lalu. Selain itu, pihak yang bertikai Yaman sepakat untuk melanjutkan pembicaraan pada 14 Januari mendatang.

Credit  CNN Indonesia