Pesawat tempur ringan T-50i Golden Eagle dibuat oleh Korea Selatan. (Getty Images/Chung Sung Jun)
“Ini pesawat latih bagi pilot. Semua pilot yang akan pindah (kejuruan) ke pesawat tempur garis depan, harus berlatih dengan pesawat Jupiter setelah itu ke T-50 ini," kata Gerry kepada CNNIndonesia.com, Minggu (20/12).
Menurut Gerry, pilot-pilot yang menerbangkan pesawat jenis ini diyakini memiliki mental baja dibanding dengan pilot pesawat nontempur. Para pilot memiliki semangat berperang dan memiliki killer instinct. Ketahanan fisik mereka lebih kuat dan mampu melakukan manuver lebih lincah.
"Fighting spirit bukan sekadar menang atau kalah, tapi berpikir bagaimana meletakkan posisi pesawat yang menguntungkan. Kriterianya beda dengan pilot nontempur," ujar Gerry.
"Yang bawa pesawat itu bukan murid, tapi Komandan Skadron. Dia bukan pilot baru, tapi instruktur skadron," kata Gerry.
Marda menjabat sebagai Danskadron Udara 15 Lanud Iswahjudi sejak 23 Oktober 2014. Ini adalah skadron yang khusus mengoperasikan pesawat tempur ringan T-50 Golden Eagle.
Marda bahkan satu dari enam pilot TNI yang dikirim khusus ke Korea Selatan untuk mempelajari teknis pengoperasian T-50. Dia juga yang membawa jet tempur itu dari Korea Selatan ke Indonesia untuk memperkuat armada udara TNI.
"Ini accident. Yang namanya accident bukan cuma berarti salah siapa. Soal penyebab jatuhnya, kita tunggu penyelidikan KNKT dan TNI AU," kata Supiadin.
TNI AU membentuk Tim Panitia Penyelidik Kecelakaan Pesawat Terbang untuk menggelar investigasi berdasarkan mode 5M, yakni manusia, mesin, media, misi dan manajemen. Seluruh unsur tersebut akan diteliti hingga dapat disimpulkan penyebab kecelakaan.
Sebagai tindakan preventif ke depannya, Aries berpendapat TNI AU dan KNKT harus segera menganalisis musabab kecelakaan. Analisis dirasa perlu mengingat T-50i adalah jet tempur jenis baru yang diimpor Indonesia dari Korea Selatan.
Korea Selatan selaku prodisen T-50i juga akan dilibatkan dalam proses investigasi yang diketuai oleh Wakil Kepala Staf TNI AU Marsekal Madya Hadiyan Sumintaatmadja.
Credit CNN Indonesia