Linkoping,
Swedia (CB) - Albert Einstein pernah menyatakan sesantinya
yang tidak lekang dimakan zaman dalam dunia rancang bangun teknologi
tinggi: Segala sesuatu harus dibuat sesederhana mungkin, namun jangan
menyederhanakan begitu saja.
“Seberapa
sederhana? Kami memakai sistem rekayasa berbasis model, yang kami
namakan evolusi digital,” kata Kepala Departemen Penelitian dan
Pengembangan Saab untuk Proyek Gripen, Lars Sjoberg, di Linkoping,
Swedia, beberapa waktu lalu.
Saat itu
dia menerima kehadiran jurnalis kedirgantaraan dan pengamat militer dari
berbagai dunia di Pusat Saab Aerotautics, yang bermarkas besar di
Linkopping. Di sinilah berbagai inovasi dan rancangan serta visi produk
dan sistem kedirgantaraan serta produk pertahanan Saab dibuat, diuji,
dan dikembangkan.
Laki-laki
berkacamata yang serius menerangkan berbagai hal pada departemennya itu
mengungkap Hukum Augustine Nomor 16, yaitu bahwa anggaran pertahanan
bertumbuh secara linear namun harga pesawat tempur perunit bertambah
secara eksponensial.
Ini betul terjadi pada F-22 Raptor dari
Amerika Serikat —sebagai misal— yang harga pengembangan dan
mewujudkannya semakin tinggi, melebihi 160 juta dolar Amerika Serikat
perunit tanpa sistem persenjataan.
Pada grafik yang dia berikan, ada percontohan lain bahwa pada dasawarsa ’20-an, harga pesawat tempur P-6 Hawk
masih di kisaran 10.000 dolar Amerika Serikat perunit, yang berkembang
menjadi sekitar 70.000 dolar Amerika Serikat perunit pada P-51 Mustang (dasawarsa ’40-an).
Lalu sekitar 80 juta dolar Amerika Serikat perunit pada F-18-E Hornet (dasawarsa ’80-an), dan di atas 100 juta dolar Amerika Serikat perunit pada F-35 Lightning II pada dasawarsa 2000-an. Jelas bahwa harga pesawat terbang tempur semakin meroket.
Mengapa
demikian? “Karena kompleksitas atas sistem-sistem yang ditanamkan dan
diterapkan di dalam pesawat tempur itu semakin rumit, meningkat 10 kali
tiap tujuh tahun,” kata Sjoberg, mengutip “hukum” yang ditemukan Prof Dr
Jan Bosch Chalmers, salah satu begawan penting dalam kemiliteran
dunia.
Intinya,
semakin muda usia generasi dan makin canggih pesawat tempur yang
dirancang dan dibangun, semakin banyak kalkulasi komputasi yang makin
rumit yang harus bisa dientaskan oleh sistem operasi pesawat tempur
itu.
“Karena
itulah, tantangan paling penting dalam merancang sistem ini adalah
memastikan sistem kalkulasi komputer dan sistem turunannya bisa tetap
stabil dan andal dalam semua situasi, terutama pada saat kritis terjadi
pertempuran udara. Ini jelas bukan main-main dan harus kami pastikan,”
kata dia.
Saab dari
kantor pusatnya di Stockholm, Swedia, tengah gencar mempromosikan
pesawat tempur terbaru mereka, JAS39 Gripen NG alias JAS39 Gripen E
(kursi tunggal) dan F (kursi ganda).
Saab
bukan baru ini saja mengembangkan dan memproduksi pesawat tempur,
karena dalam katalog produk mereka dinyatakan bahwa 1937 adalah tahun
mereka berdiri dan dasawarsa menjadi era jet mereka sejalan dengan
produksi J29 Tunnan.
Tentang JAS39 Gripen, pesawat tempur multiguna-multiperan ini merupakan pengembangan dari “leluhur”-nya, yaitu JAS35 Draken (dasawarsa ’50-an) dan JAS37 Viggen (dasawarsa ’70-an).
Yang patut disimak, ketiga tipe pesawat tempur ini (Draken, Viggen, dan Gripen)
setia dengan konsep sayap delta dan sayap kanard di dekat
kokpitnya. Cuma sedikit pesawat tempur yang menganut sayap delta ini, di
antaranya seri Mirage III dan IV serta Rafale dari Prancis.
Yang
dituntut dari pesawat tempur masa depan, yang oleh kalangan NATO (cq
Amerika Serikat) sering disebut generasi 4,5 atau 4++ atau malah 4+++
adalah pada aspek peningkatan sistem umum, sensor eksternal, komunikasi
data yang makin canggih, dukungan yang makin kompleks, dan radar AESA (actively electronics scanned array), instrumen IRST (infra-red sighting targetting).
Juga
perangkat perang elektronika, arsitektur avionika baru, lebih banyak
senjata yang bisa dibawa, peningkatan tenaga mesin, peningkatan
jangkauan terbang, hingga peningkatan struktur dan rangka pesawat
tempur.
“Guna
mewujudkan semua tuntutan itulah maka kami menerapkan beberapa pembaruan
sistem perancangan, mulai dari berbasis komputer melalui perangkat
lunak khusus, model 3D yang juga bisa dipakai untuk menganalisis bobot
dan analisis tegangan-tekanan, penilaian pada tahap produksi, hingga
publikasi interaktif,” katanya.
Efisiensi menjadi salah satu kata kunci penting bagi Saab dalam merancang JAS39 Gripen NG, yang diluncurkan kepada umum di Linkoping, pada 18 Mei lalu.
Mereka
menerbangkan cukup banyak model uji untuk menguji dan memverifikasi
berbagai bagian dan subbagian rancangannya; jika ada hal yang harus
disempurnakan, bisa segera dilakukan tanpa harus terlalu banyak membuang
waktu, daya, dan tenaga.
Mereka
memisahkan pokok rancangan besar pada dua aspek pokok, yaitu model
perangkat lunak dan model sistem fisik pendukung operasionalisasi
pesawat tempur itu. Masing-masing menjalani beberapa tahap, mulai dari
rancangan di meja rancang dan komputer, uji model dan simulator, hingga
uji terbang sesungguhnya.
Pada masing-masing tahap ini, data yang didapat harus diuji kembali dan disempurnakan jika memang harus demikian.
Sampai
akhirnya dia menerangkan “pakem” baru yang diterapkan dalam rancangan
dan produksi sesungguhnya JAS39 Gripen NG ini, yaitu sistem avionika
terpadu yang terbagi secara moduler.
Maksudnya
adalah pemisahan antara perangkat keras dan perangkat lunak yang
bertanggungjawab pada aspek kritis penerbangan (pengendalian arah
terbang, manuverabilitas, stabilitas sistem kemudi, dan lain-lain),
serta aspek nonkritis penerbangan (elektronika, avionika, penginderaan,
komunikasi, sistem targetting atas lawan dan potensi ancaman, dan
lain-lain).
Mereka
menentukan bahwa 10 persen komputasi di dalam pesawat tempur itu ada
pada aspek kritis penerbangan dan 90 persen pada aspek nonkritis
penerbangan.
“Kami
merancang agar perubahan atau peningkatan sistem pada aspek-aspek
nonkritis penerbangan ini bisa dilakukan secara mudah, cepat, dan segera
tanpa mengganggu aspek kritis penerbangan. Cukup cabut modulnya, dan
pasang begitu saja,” kata Sjolberg.
Barulah
tahap perancangan dan pengembangan memasuki tahap produksi yang menganut
paham efisiensi dan presisi sangat tinggi dan sudah diuji
habis-habisan. Mereka selalu menempatkan diri menjawab “tantangan” Kurva
T30, yang dia jelaskan bahwa skala produksi bisa semakin efisien jika
tahapan-tahapan uji ini dilalui setelah banyak sekali kalkulasi
dilakukan, untuk mengurangi resiko yang tidak perlu terjadi.
Dengan
filosofi perancangan seperti itu, JAS39 Gripen NG alias Gripen E/F
diyakini bisa menjawab keperluan pengembangan demi pengembangan yang
diperlukan konsumen alias operatornya.
"Semua
bermula dari keperluan konsumen, dan kami harus bisa menjawab semua itu
dengan cara yang cerdas dan menguntungkan konsumen," kata dia.
Credit ANTARA News