Kamis, 26 Mei 2016

Legenda Jago Silat Sabeni yang Ditakuti Belanda dan Jepang

Pendekar Betawi, Ilustrasi
Pendekar Betawi, Ilustrasi
  Oleh: Alwi Shahab

Para pesilat Indonesia dalam SEA Games ke-24 di Bangkok, Thailand pada 2007 lalu, menjadi juara umum. Dua tahun sebelumnya di Manila berada di urutan kedua setelah Vietnam. Padahal, para pesilat Vietnam mahir dalam ilmu bela diri ini setelah mendapat latihan dan bimbingan dari pelatih Indonesia.

Pencak silat sekarang ini telah berkembang di sejumlah negara termasuk di Eropa juga setelah mereka belajar dari para pesilat kita. Bagi warga Betawi, main pencak silat adalah suatu keharusan. Pada tempo dulu, hampir di tiap kampung terdapat pendekar silat.

Mereka sangat disegani, karena tingkah lakunya yang terpuji. Mereka menggunakan ilmu bela dirinya untuk amar ma’fur nahi munkar mengajar manusia ke jalan kebaikan dan mencegah kezaliman. Jauh dari tingkah laku para preman sekarang, yang main palak dan peres dengan kejamnya.

Kalau kita memasuki Jalan KH Mas Mansyur dari arah Pasar Tanah Abang, di sebelah kanan jalan terdapat Jalan Sabeni. Sabeni adalah pendekar silat Tanah Abang, yang lahir akhir abad ke-19 dan meninggal menjelang proklamasi kemerdekaan (1945).

Sabeni Ditantang Serdadu Jepang

Ada peristiwa menarik yang dialami Sabeni pada masa penjajahan Jepang. Jepang yang tengah berperang melawan Sekutu memerlukan pemuda-pemuda untuk dijadikan Heiho semacam tenaga sukarelawan untuk membantu para prajurit Jepang.

Salah satu putra Sabeni, bernama Sapi’i, yang masih belia seperti juga pemuda lainnya, diharuskan menjadi Heiho. Ia pun ditempatkan di Surabaya.

Karena tidak tahan menghadapi perlakuan tentara Dai Nippon, Sapi’ie minggat dari Surabaya dan bersembunyi di rumah orang tuanya. Tentu saja pihak Kempetai (Polisi Rahasia Jepang) tidak tinggal diam dan terus mencari keberadaannya. Karena Sapi’ie tidak juga tertangkap, Kempetai menahan Sabeni sebagai jaminan.

Mengetahui Sabeni kesohor sebagai jago silat, Kempetai ingin mengujinya. Komandannya menantang Sabeni untuk diadu dengan anak buahnya, seorang serdadu jago karate.

”Kalau Sabeni menang, bebas dan boleh pulang,” kata sang komandan, tulis Bang Thabrani dalam buku Ba-be.

Sabeni Robohkan Jago Sumo

Duel berlangsung di Markas Kempetai di Jl Kramat Raya, Jakarta Pusat. Sabeni berhasil berkelit dari serangan-serangan ahli karate itu. Bahkan, ia kemudian berhasil merobohkan prajurit Jepang itu dengan ilmu pukulan "kelabang nyebrang".

Sang komandan yang kecewa karena kekalahan anak buahnya, kemudian menghadapkan seorang jago sumo untuk menundukkan Sabeni. Sabeni siap menghadapinya.

Jago Sumo memasang kuda-kuda, kedua kakinya maju ke depan, berdiri ngangkang. Tangan diletakkan di atas paha segede paha kuda. Kemudian keluar dari mulutnya suara, ”Eeehh …!” Sambil membentangkan tangannya.

Menghadapi lawan dalam keadaan demikian, Sabeni loncat kodok, ke atas dengkul musuh yang lagi ngeden. Dengkul lawan dianggap talenan, dipakai buat salto ke atas. Untuk kemudian menyambar ubun-ubun si jago sumo, yang langsung terjengkang, ngegelosot, kagak bisa berdiri lagi karena keberatan badan dan akibat pukulan jago silat Tenabang itu.

Untuk menghormati Sabeni, jalan di depan kediamannya di Tanah Abang menjadi Jalan Sabeni. Sedangkan makamnya dipindahkan dari Gang Kubur ke Karet Bivak berdekatan dengan makam Husni Thamrin.

Jepang Kagum dengan Silat Indonesia

Di Kampung Kwitang, Jakarta Pusat, dekat Majelis Taklim Habib Ali, juga terdapat seorang jago silat bernama Muhammad Djaelani, yang dikenal dengan nama singkat Mad Djelani. Dia pernah dihukum seumur hidup oleh Belanda.

Hukuman itu dijatuhkan kepada Djaelani karena sekitar 1940-an ia membunuh seorang konsul Jepang di Batavia, karena disangkanya seorang Cina kaki tangan Belanda. Ia dibebaskan Barisan Pelopor pada masa revolusi fisik.

Salah seorang cucunya, H Zakaria, mewarisi ilmu silatnya, Mustika Kwitang. Pada 1960-an, pasukan pengawal Presiden Sukarno, Tjakrabirawa, mendatangkan suhu (guru besar) karate dari Jepang, Prof Nakagama, yang telah mendapat predikat Dan 7, disertai mahaguru karate dari AS, Donn F Dragen. Zakaria, pemuda kelahiran Kwitang, itu diminta untuk memperlihatkan tehnik bermain silat kepada kedua mahaguru karate tersebut.

Zakaria, yang kala itu masih muda, dengan lihainya memperagakan jurus-jurus bermain senjata dan memecahkan batu dengan menggunakan pergelangan tangan. Jago silat Kwitang ini juga menunjukkan kemahirannya memainkan senjata tajam dengan kecepatan tinggi.

Silat Mendunia

Atraksi ini mengundang kekaguman master karate Jepang. Kepada Bung Karno saat diterima di Istana Negara ia mengatakan, ”Mengapa Anda memiliki pemain sebagus ini kok pemuda-pemudinya kurang menyukai. Justru lebih suka ilmu bela diri dari Jepang?”

Ketika menuturkan kisah ini kepada penulis, Zakaria mengatakan, ”Banyak orang Indonesia menganggap rendah pencak silat dan dianggap permainan kampungan. Padahal, di Eropa dan Asia, kini banyak orang yang mempelajarinya.” Zakaria sendiri telah mengajarkan silat di Eropa.

Pada masa penjajahan, pemerintah kolonial, tak mengizinkan permainan pencak silat. Karenanya, pada masa itu para pesilat kita belajar mulai pukul 02.00 dini hari sampai menjelang Subuh.

Alasan Belanda, kata Zakaria, para pemberontak seperti si Pitung, si Jampang, H Murtadho dan Entong Gendut dari Condet, adalah para ahli silat. Pada masa revolusi sejumlah ahli silat Betawi dan ulamanya bahu membahu memimpin barisan melawan Belanda.











Credit REPUBLIKA.CO.ID