Kamis, 26 Mei 2016

Tanah Kusir, ‘Demokrasi Kita’, dan Hajinya Bung Hatta


Mohamad Hatta 1947.
Mohamad Hatta 1947.
 
‘’Khidmad.’’ Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan nuansa yang tercipta ketika mengunjungi kompleks makam Bung Hatta (lengkapnya Mohammad Athar/Hatta). Ingar-bingar jalan Tanah Kusir yang sepanjang waktu selalu ramai dan di siang hari hingga malam selalu macet, tak berpengaruh pada situasi area makam yang berada di tengah kompleks kuburan rakyat biasa itu.

‘’Bung Hatta berpesan agar tidak di makamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.  Bila meninggal beliau ingin dimakamkam di kuburan biasa. Alasannya, agar selalu dekat dengan rakyat,’’ begitu kalimat penyiar TVRI ketika menyiarkan secara langsung upacara pemakaman sang proklamator pada awal tahun 1980 (14 Maret 1989). Media massa cetak pun ikut memberitakan wasiat Bung Hatta ini.

Dan kenangan masa kanak ini melekat kuat, karena pada saat itu banyak orang tua dan dewasa yang menangis ketika menonton siaran itu. Di layar televisi hitam putih yang pasokan daya listriknya masih memakai aki bekas truk itu, terlihat kerumunan masa yang berjajar di tepi jalanan ibu kota hingga ke arah jalan pemakaman umum ‘Tanah Kusir’ yang saat itu tempatnya bisa dikatakan berada di pinggiran Jakarta. Selama sepekan Indonesia menyatakan berduka dan bendera dikibarkan setengah tiang.

Keharuan yang sama pun segera menyergap saat kemarin sore mendatangi pemakaman itu. Di bandingkan dengan suasana pemakaman pasangan proklamatornya, Bung Karno, tak ada keriuhan yang terdengar di area makam cucu ulama besar 'Nagari Minangkabau', yakni Syekh Abdurrahman atau Syekh Batu Hampar itu . Tak ada kerumunan peziarah, atau pasar suvenir yang ramai menjual aneka pernak-pernik barang kerajinan tangan yang mengesankan mengkultuskannya

Selain itu tak ada penjagaan yang ketat. Situasi ini jangan dibandingkan dengan kompleks mausoleum Ho Chi Minh di Hanoi Vietnam atau makam filsuf sekaligus bapak bangsa Pakistan M Iqbal di Lahore. Di dua makam orang penting’ penjagaan luar biasa ketat.

Di makam Iqbal yang lokasinya berada di dalam benteng kuna dan di samping Masjid Badhsahi peninggalan Kesultanan Mughal India, area makamnya dijaga selama 24 jam oleh tentara bersenjata dan berseragam lengkap. Yang akan masuk ke makam harus berbaris dan satu persatu berdoa di pinggir makam. Di atas pusara Iqbal selalu diletakan seikat kembang. Dan di batu nisan tertulis: makam pemikir besar maulana M Iqbal.

Tapi hal itu tak ditemui pada makam Bung Hatta yang bersisian dengan makam sang isteri tercinta, Ibu Rachmi Hatta. Penjagaan terasa longgar dan pada siang hari kompleks makam selalu terbuka untuk dikunjungi.

Sedangkan, di atas nisan hanya tertulis kalimat pendek namanya lengkap dengan gelar haji dan kesarjanannya. Dan di bawah tulisan itu tertulis kata proklamator dan wakil presiden Indonesia. Di jendela kaca yang ada di bagian belakang makam hanya tergores tulisan kaligrafi bergaya kufi.

Pada waktu kemarin sore (25/5) ada seikat kembang yang ditaruh di atas nisan. Taburan bunga berwarna merah dan putih juga ikut terlihat di sana. Dan bila melihat kondisi kelopak bunganya yang masih segar, maka bunga itu belum terlalu lama ditaburkan.

Tampaknya, pemilihan lokasai makam di ‘tempat biasa’ atau bukan taman makam pahlawan memang tepat. Bung Hatta paham kalau makamnya berada di tempat khusus maka rakyat biasa akan susah menziarahinya.

Kesederhanaan itulah yang membuat batin 'rakyat biasa' terasa mantap dan khidmat ketika memanjatkan doa, membacakan Surat Al Fatikhah, maupun sekedar menabur bunga di atas pusaranya.

Mohamad Hatta 1947.
Mohamad Hatta bersama Sukarno di Yogyakarta pada 21 Desember 1949. (foto:gahetna.nl)

Ada Apa Dengan Demokrasi Kita?

Hentakkan ingatan soal sosok Bung Hatta kembali menyentak ke benak publik, ketika Senin malam lalu (24/5), di salah satu talks show televisi Guru Besar Fakultas Hukum UII Yogyakarta, Prof Moh Mahfud MD, kembali menyitir tulisan  Bung Hatta yang berjudul ‘Demokrasi Kita’ yang terbit pada tahun 1960 dan dimuat pertama kali oleh Majalah Panji Masyarakat.

Mahfud dalam talk show yang menyoal ‘Kontroversi Pemberian Gelar Pahlawan Kepada Suharto’ itu kembal menukil tulisan tersebut yang diantaranya menyebut soal frasa 'kudeta' dan 'diktator' yang menjadi ancaman demokrasi saat kekuasaan negara berubah menjadi otoriter.

Mahfud mengingatkan agar sejarah dan politik tidak dilihat dalam kaca mata hitam-putih. Apa yang terjadi di masa lalu hendaknya jadi pelajaran hidup.

‘’Mungkin banyak yang tidak tahu ketka Bung Karno mengeluarkan dekrit membubarkan DPR, Badan Konstituante, Bung Hatta menuis buku ‘Demokrasi Kita’. Di situ Bung Hatta pun mengatakan Bung Karno itu (melakukan,red) kudeta. Artinya, kalau ada yang mengatakan Suharto melakukan kudeta, maka sebelumnya pun sama, sebelumnya pun sama,’’ kata Mahfud yang mencoba menjelaskan asal usul hadirnya rezim otoritarian di Indonesia.

Dan bila kemudian menukil tulisan Bung Hatta yang saat itu dimuat di Majalah Panji Masyarakat maka itu memang merupakan kritikan yang keras atas situasi negara meski dilakukan dengan pilihan kalimat yang santun. Akibatnya, tak beda dengan era rezim Orde Baru, pada saat itu rezim Sukarno yang tengah berada pada puncak kekuasaan menjadi gerah, Majalah Panji Masyarakat pun terkena breidel.

Berikut ini cuplikan dari tulisan Bung Hatta dalam buku ‘Demokrasi Kita’ yang menyebut soal ‘kudeta’ dan ‘diktator’ seperti yang disebut Mahfud dan ramai dibincangkan dalam talk show yang digawangi wartawan senior Karni Ilyas itu:

........ Kemudian Presiden Soekarno membubarkan konstituante yang dipilih oleh rakyat, sebelum pekerjaanya membuat Undang-undang Dasar baru selesai. Dengan suatu dekrit dinyatakannya berlakunya kembali Undang-undang Dasar tahun 1945. Sungguhpun tindakan Presiden itu bertentangan dengan Konstitusi dan merupakan suatu coup d’état (kudeta,red), ia dibenarkan oleh partai-partai dan suara yang terbanyak didalam Dewan Perwakilan Rakyat.
Tidak lama sesudah itu Presiden Soekarno melangkah selangkah lagi, setelah timbul perselisihan dengan Dewan Perwakilan Rakyat tentang jumlah anggaran belanja. Dengan suatu penetapan Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dibubarkan dan disusunnya suatu Dewan Perwakilan Rakyat baru menurut konsepsinya sendiri. Dewan Perwakilan Rakyat baru itu anggotanya 261 orang, separoh terdiri dari anggota anggota partai dan separoh lagi dari apa yang disebut golongan fungsionil, yaitu buruh, tani, pemuda, wanita, alim-ulama, cendekiawan, tentara dan polisi. Semua anggota ditunjuk oleh Presiden.
Perkembangan politik yang berakhir dengan kekacauan, demokrasi yang berakhir dengan anarki membuka jalan untuk lawannya diktatur. Seperti diperingatkan tadi, ini adalah hukum besi dari pada sejarah dunia. Tetapi sejarah dunia memberi petunjuk pula bahwa diktatur yang bergantung kepada kewibawaan orang seorang tidak lama umurnya. Sebab itu pula sistim yang dilahirkan Soekarno itu tidak akan lebih panjang umurnya dari Soekarno sendiri.
Umur manusia terbatas. Apabila Soekarno sudah tidak ada lagi, maka sistimnya itu akan rubuh dengan sendirinya seperti satu rumah dari kartu.....
Akhirnya enam tahun kemudian apa yang ditulis Bung Hatta terbukti....!




Mohamad Hatta 1947.
Makam Bung Hatta di Tanh Kusir.

Pergi Haji dengan Ongkos Pribadi

Sebagai cucu ulama besar, Hatta jelas paham mengenai apa yang dimaksud dengan istilah  kata ‘wara’ dan ‘zuhud’ itu. Dua istilah ini sangat dikenal di dunia sufi atau tarikat serta dipakai untuk menyebut sebuah pribadi insan yang saleh secara pribadi dan soal, tidak tergia-gila gemerlap dunia, dan hidup sederhana.
Hal ini biasanya merujuk kepada kehidupan Nabi Muhammad SAW yang jauh dari suasana gemerlap. Rumah nabi di Madinah hanya berukuran 3X4 (seluar kamar kontrakan di Jakarta), hanya punya dua pasang pakaian, tidur dengan dipan pelepah kurma, kerap tak punya makanan atau meneruskan berpuasa setelah sebelumnya berbuka dengan tiga butir kurma dan meminum air putih, tak mengenakan perhiasan emas dan sutra (Rasul hanya memakai cincin besi dan berpakaian dari kain kasar), serta hanya memakan gandum olahan yang juga kasar.
Nah, dalam kehidupan nyata, kebiasaan pengikut ‘tarikat’ ini dijadikan acuan oleh Bung Hatta. Hingga wafat tak ada skandal yang pernah dia lakukan. Tak ada uang negara yang dipakai tanpa hak. Bahkan saking hati-hatinya, Hatta kerap harus menabung bila ingin membeli sesuatu, seperti misalnya keinginannya membeli sepatu Bally yang saat itu merupakan sepatu favorit dan berharga mahal.
Bila mengunjungi rumahnya yang berada di Jl Diponegoro (di seberang kantor DPP PPP atau di samping kediaman Kedubes Palestina) tak ada hal yang mewah yang akan dilihat.  Dekorasi rumahnya sederhana. Yang ada hanya perabot biasa dan lemari berisi buku. Halamanya pun sempit dan tak ada taman atau pendopo yang luas atau bangunan garasi yang bisa dimuati banyak mobil.
Bahkan, beberapa tahun silam ada kehebohan yang muncul. Sang menantu Bung Hatta, Prof DR Sri Edi Swasono sempat menyatakan ada tangan jahil yang menukar lukisan pemandangan yang ada di dinding ‘rumah tua’ itu.
Menurut Edi, ada orang yang diam-diam menukar lukisan pemandangan karya pelukis kondang Basuki Abdullah. Indikasinya, setelah diperhatikan dengan seksama tiba-tiba terasa ukuran lukisan tersebut mengecil. Maka ia pun mencurigai ada pihak yang jahil pada karya lukis itu.
Kisah ini kemudian bersesuaian dengan cerita mengenai sikap Bung Hatta yang memilih pergi haji dengan cara membayar sendiri ongkosnya dari royalti penjualan buku karangannya.
Padahal saat itu status Hatta adalah wakil presiden. Bahkan,  Presiden Sukarno pun sudah menyediakan pesawat khusus serta memberkan semua fasilitas kendaraan yang diperlukan Bung Hatta untuk menunaikan rukun Islam yang kelima itu. Namun, tawaran Presiden Sukarno pun dia tolak.
Menurutnya. urusan naik haji bukanlah urusan seorang pejabat negara dengan Allah, melainkan itu urusan seorang insan manusia biasa yang pergi ke Tanah Suci.
Maka, bila dirinya menunaikan ibadah haji ke Makkah itu merupakan kepergian ibadah sebagai seorang Mohammad Hatta pribadi, bukan sebagai seorang wakil presiden.
Alhasil, apakah masih ada pejabat negara seperti itu sekarang? Jangankan bisa sedikit meniru sosok kesederhanaan hidup Nabi Muhammad SAW, mampu mengikuti jejak perilaku Bung Hatta saja kini merupakan hal yang langka.
Dalam soal urusan naik haji misalnya, sudah dimahfumi bila banyak cerita yang beredar bahwa pejabat negara acapkali meminta jatah kursi kuota haji ke menteri agama. Di forum pengadilan kasus korupsi haji di KPK misalnya, soal bagi-bagi kursi haji untuk pejabat negara di periode pemerintahan sebelumnya. sudah banyak yang menyebut.
Selain itu, juga bukan rahasia umum bila begitu banyak pejabat negara masa kini yang hidupnya bergelimang dalam kemewahan, kaya raya layaknya  ‘raja-raja kecil’ di abad pertengahan Eropa Rumahnya seperti istana, mobilnya berjibun, dana deposito serta uang yang tersimpan rekening banknya menumpuk bahkan kerap disebut ‘meluber’ sampai ke luar negeri.
Apakah zaman sudah berubah dan apakah akan datang Hatta-Hatta baru di negeri tercinta ini? Jawabnya: ya entahlah!
Namun yang pasti, almarhum Bung Hatta telah membuktikan bila sosok orang saleh bukan hanya ada di dalam cerita komik, tapi benar-benar terjadi di kehidupan yang nyata.











Credit republika.co.id