Kelapa sawit. REUTERS/Roni Bintang
"Dalam skala global, Indonesia menjadi terbesar dengan total lahan 3,6 juta hektare kelapa sawit," kata Imam di Hotel Abadi, Kabupaten Sarolangun, Jambi, Selasa, 24 Mei 2016.
Pada 2020, kebutuhan minyak nabati global mencapai 236 juta ton. Peluang ini, kata Imam, bisa dimanfaatkan Indonesia sebagai penyuplai ke pasar dunia. Karena itu, kata dia, Indonesia perlu memikirkan cara membangun industri sawit yang berkelanjutan, sesuai dengan hukum yang berlaku dan layak untuk lingkungan. RSPO, tutur dia, memiliki kontribusi membangun industri kelapa sawit yang bertanggung jawab.
Imam memaparkan, ada beberapa tantangan yang dihadapi Indonesia, dari penanaman hingga kelembagaan petani. Ia mencontohkan, saat ini banyak petani masih menggunakan pupuk tidak bersertifikat. Hasilnya, produktivitas tidak optimal. “Bibitnya saja sudah tidak baik dan tingkat teknologi yang diaplikasikan masih jauh dari P&C,” ujarnya.
Selain itu, Imam menilai dokumentasi petani swadaya masih sangat terbatas dalam pencatatan. Berbeda dengan petani plasma yang bermitra dengan perusahaan yang lebih tertata. “Kelembagaan petani juga masih belum ada,” tuturnya.
Imam mengatakan kelompok petani pun memiliki persoalan pendanaan dalam pembentukan dan operasional kelompok, serta perbaikan kebun dan dana sertifikasi. Ia menilai ketersediaan pabrik pengolah tandan buah segar sawit (TBS) bersertifikat bakal jadi tantangan petani swadaya sawit di Indonesia.
Hal lain yang perlu diperhatikan, Imam melanjutkan, adalah mengubah pola pikir menjadi petani bersertifikasi. “Mungkin karena sudah nyaman dengan kebiasaan lama,” ucapnya. Padahal, secara global, kata Imam, terdapat 166 ribu petani sawit bersertifikasi dan 520 ribu hektare perkebunan kelapa sawit yang juga sudah tersertifikasi.
Credit TEMPO.CO