CB — Dibandingkan
Sumatera, peristiwa gempa bumi di Pulau Jawa, khususnya DIY, periodenya
lebih lama. Hal ini dipengaruhi posisi Pulau Jawa dan adanya Roo Rise
atau tonjolan-tonjolan di lantai Samudra Hindia.
"Sesar Opak itu mempunyai ritmik atau keterulangan kejadian gempa itu agak lama. Sekitar 60 tahun," ujar Kepala Program Studi Magister Teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta, Dr C Prasetyadi, saat ditemui Kompas.com, Rabu (25/5/2016).
Prasetyadi menjelaskan, lempeng Indo-Australia itu setiap tahun bergerak ke utara. Pergerakannya 7 cm per tahun.
Dilihat dari posisinya, Pulau Jawa itu cenderung tegak lurus, sedangkan Pulau Sumatera miring. Saat tertabrak lempeng, yang posisinya miring cenderung sensitif bergerak dibandingkan yang tegak lurus.
"Apa yang terjadi ketika Anda membuat benturan miring? Tentu akan bergeser dan menyebabkan sobekan. Nah, sobekan di Sumatera itulah yang senantiasa terganggu," urainya.
Mengilustrasikan, ia mengatakan ketika kepala lokomotif saling berbenturan tegak lurus maka akan cenderung naik dan langsung berhenti. Tetapi, berbeda ketika tabrakannya posisi miring, maka akan bergeser dan terlempar cukup jauh.
"Jawa posisinya tegak lurus ketika tertabrak, dia tidak seaktif yang miring," urainya.
Pada kenyataannya morfologi lantai samudra di selatan Yogyakarta itu tidak halus, tetapi ada tonjolan-tonjolan. Salah satu buktinya adalah kehadiran Christmas Island.
"Christmas Island itu pulau di tengah samudra. Dia pulau bekas gunung api, kan enggak mungkin pulau ini ngambang," tuturnya.
Christmas Island ini hanya satu bagian dari banyaknya tonjolan di lantai samudra. Tonjolan-tonjolan ini namanya Roo Rise.
"Roo Rise ini memanjang antara selatan Yogya dan ujungnya di selatan Banyuwangi," tuturnya.
Morfologi lantai Samudra Hindia ini, lanjutnya, perlu diperhatikan karena memengaruhi smooth atau tidaknya masuknya lempeng Indo-Australia.
"Jika masuknya halus, ya tidak ada gempa, tapi kalau Sumatera tetap karena posisinya miring tadi. Apalagi posisi pulaunya tegak lurus dan lantai tidak ada tonjolan, ya tidak akan ada gempa," ucapnya.
Menurut dia, di selatan Jawa, ketika lempeng bergeser, tonjolan-tonjolan tersebut akan tertahan. Sampai nanti suatu ketika akan lepas. Namun, untuk lepas ini membutuhkan akumulasi daya energi dorong yang cukup besar dan memakan waktu. Besarnya dorongan energi untuk melepaskan tonjolan tersebut dapat menyebabkan gempa dangkal dan besar.
"Tertahan dan lepas ini membutuhkan waktu yang lama. Itu kenapa periodik kegempaan di Yogya itu lebih lama dibandingkan Sumatera," tegasnya.
Istilahnya di selatan Yogyakarta itu terjadi seismic gap atau silent zone. Seismic gap yakni tempat di mana dalam satu lajur penunjaman yang sama, tetapi intensitas kegempaannya berbeda (jarang). Penyebabnya adalah tertahannya energi oleh kekasaran lantai samudra.
"Di Jawa, seismic gap itu ada di selatan Yogya. Indikasinya, seismic gap barusan saja muncul sebagai gempa, yakni gempa Yogya yang punya siklus kejadian," ucapnya.
"Sesar Opak itu mempunyai ritmik atau keterulangan kejadian gempa itu agak lama. Sekitar 60 tahun," ujar Kepala Program Studi Magister Teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta, Dr C Prasetyadi, saat ditemui Kompas.com, Rabu (25/5/2016).
Prasetyadi menjelaskan, lempeng Indo-Australia itu setiap tahun bergerak ke utara. Pergerakannya 7 cm per tahun.
Dilihat dari posisinya, Pulau Jawa itu cenderung tegak lurus, sedangkan Pulau Sumatera miring. Saat tertabrak lempeng, yang posisinya miring cenderung sensitif bergerak dibandingkan yang tegak lurus.
"Apa yang terjadi ketika Anda membuat benturan miring? Tentu akan bergeser dan menyebabkan sobekan. Nah, sobekan di Sumatera itulah yang senantiasa terganggu," urainya.
Mengilustrasikan, ia mengatakan ketika kepala lokomotif saling berbenturan tegak lurus maka akan cenderung naik dan langsung berhenti. Tetapi, berbeda ketika tabrakannya posisi miring, maka akan bergeser dan terlempar cukup jauh.
"Jawa posisinya tegak lurus ketika tertabrak, dia tidak seaktif yang miring," urainya.
Pada kenyataannya morfologi lantai samudra di selatan Yogyakarta itu tidak halus, tetapi ada tonjolan-tonjolan. Salah satu buktinya adalah kehadiran Christmas Island.
"Christmas Island itu pulau di tengah samudra. Dia pulau bekas gunung api, kan enggak mungkin pulau ini ngambang," tuturnya.
Christmas Island ini hanya satu bagian dari banyaknya tonjolan di lantai samudra. Tonjolan-tonjolan ini namanya Roo Rise.
"Roo Rise ini memanjang antara selatan Yogya dan ujungnya di selatan Banyuwangi," tuturnya.
Morfologi lantai Samudra Hindia ini, lanjutnya, perlu diperhatikan karena memengaruhi smooth atau tidaknya masuknya lempeng Indo-Australia.
"Jika masuknya halus, ya tidak ada gempa, tapi kalau Sumatera tetap karena posisinya miring tadi. Apalagi posisi pulaunya tegak lurus dan lantai tidak ada tonjolan, ya tidak akan ada gempa," ucapnya.
Menurut dia, di selatan Jawa, ketika lempeng bergeser, tonjolan-tonjolan tersebut akan tertahan. Sampai nanti suatu ketika akan lepas. Namun, untuk lepas ini membutuhkan akumulasi daya energi dorong yang cukup besar dan memakan waktu. Besarnya dorongan energi untuk melepaskan tonjolan tersebut dapat menyebabkan gempa dangkal dan besar.
"Tertahan dan lepas ini membutuhkan waktu yang lama. Itu kenapa periodik kegempaan di Yogya itu lebih lama dibandingkan Sumatera," tegasnya.
Istilahnya di selatan Yogyakarta itu terjadi seismic gap atau silent zone. Seismic gap yakni tempat di mana dalam satu lajur penunjaman yang sama, tetapi intensitas kegempaannya berbeda (jarang). Penyebabnya adalah tertahannya energi oleh kekasaran lantai samudra.
"Di Jawa, seismic gap itu ada di selatan Yogya. Indikasinya, seismic gap barusan saja muncul sebagai gempa, yakni gempa Yogya yang punya siklus kejadian," ucapnya.
Credit KOMPAS.com