Jumat, 20 Mei 2016

Angin Segar Alutsista dari Rusia

Jokowi bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.

Angin Segar Alutsista dari Rusia
Presiden Joko Widodo dan Presiden Rusia Vladimir Putin di Kota Sochi, 18 Mei 2016.  (REUTERS/Sergei Karpukhin )
 
CB –  Menjelang KTT Rusia-ASEAN, Presiden RI Joko Widodo melakukan pertemuan bilateral dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Indonesia dikabarkan akan kembali membeli senjata dari Rusia.
Usai kunjungan ke Korea Selatan, Presiden RI Joko Widodo langsung bertolak ke Rusia. Setelah menempuh perjalanan selama sepuluh jam, Presiden RI dan rombongan mendarat di bandara Adler, Sochi, pada Rabu sore, 17 Mei 2016, sekitar pukul 15.00 waktu setempat atau sekitar pukul 19.00 WIB.
Jokowi tiba di Rusia untuk mengikuti KTT ASEAN-Rusia, yang resminya akan berlangsung di Black Sea Resort, Sochi, selama dua hari, 19-20 Mei 2016. Namun Rabu malam, Jokowi dan Presiden Rusia Vladimir Putin melakukan pertemuan bilateral. Seperti banyak diduga, pembicaraan soal alat utama sistem pertahanan (Alutsista) langsung menjadi isu hangat.
"Kami sepakat untuk meluaskan kerja sama antara Kementerian Pertahanan dan Keamanan," ujar Putin, seperti dikutip dari Reuters, Rabu, 18 Mei 2016. Putin mengatakan, selain soal alutsista, Indonesia juga sepakat untuk melakukan pertukaran informasi intelijen.
Sebelumnya, Kepala Badan Ekspor Senjata Rusia Alexander Formin mengatakan, bahwa Rusia ingin memproduksi amunisi militer untuk Indonesia, termasuk granat. Formin juga menegaskan ketertarikan Indonesia pada alutsista buatan Rusia.  Ia mengatakan Indonesia tertarik pada kapal selam dan jet Rusia. "Namun, Rusia memiliki saingan, seperti Amerika Serikat dan China,” ujarnya seperti dikutip dari Euronews, Selasa, 17 Mei 2016.
Pernyataan Formin juga dipertegas oleh salah ajudan Kremlin, Yuri Ushakov. Sebelum pertemuan bilateral dua presiden dilakukan, Ushakov mengatakan Rusia akan menandatangani kesepakatan dengan Indonesia untuk memasok senjata dalam jumlah yang tidak ditentukan. Selain itu, Rusia juga ingin memberikan kesempatan pada Indonesia untuk memproduksi senjata di bawah lisensi Rusia.


Rusia adalah negara eksportir senjata terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Kedua negara menguasai lebih dari 50 persen pasar ekspor senjata di seluruh dunia. AS  menguasai sekitar 31 persen, dan Rusia 27 persen. Negara pengekspor senjata lain seperti Cina, Jerman, dan Perancis hanya menguasai masing-masing 5 persen pasar senjata. Untuk tahun ini, Rusia  berencana untuk menjual senjata senilai US$14 miliar. Sedangkan total portofolio pesanan senjata Rusia saat ini sudah lebih dari US$ 50 miliar. Belum diketahui berapa nilai kerja sama Rusia dengan Indonesia untuk alutsista ini.
Pengamat intelijen dan militer Susaningtyas NH Kertopati mengatakan, adalah hal yang wajar jika Indonesia membeli senjata dari Rusia. “Kerja sama Indonesia dan Rusia sudah terjalin lebih dari tiga dasa warsa.  Sebenarnya kerja sama ini akan lebih baik jika terjalin secara resiprokal, yaitu RI bukan hanya dianggap pasar, tapi juga produsen,” ujarnya melalui pesan singkat kepada Viva.co.id, Kamis, 19 Mei 2016.  Nuning, sapaan Susaningtyas mengatakan, belakangan ini Indonesia memang lebih banyak menggunakan alutsista Rusia. “Alutsista buatan Rusia lebih sesuai dengan geografi Indonesia, dan mekanisme pembeliannya lebih mudah,” katanya menjelaskan.
Menurut analis militer Rusia, Konstantin Sivkov, Indonesia telah menyatakan minatnya untuk membeli jet tempur teranyar dari pesaing Barat itu. "Selama 'uji coba' di Suriah, senjata Rusia membuktikan efektivitas dan keandalannya. Dan, ini menarik minat besar dari pelanggan potensial yang belum memiliki persenjataan Rusia sebelumnya," ungkap Sivkov, seperti dikutip dari situs Sputniknews, 17 Mei 2016.
Sivkov lalu memberi contoh Su-35 yang bertugas memberikan perlindungan dalam sebuah serangan. Menurut dia, alutsista Rusia tidak mengenal prinsip teknologi canggih dengan biaya yang tinggi. Persenjataan Rusia dikenal memiliki teknologi canggih dan berbiaya lebih rendah ketimbang AS.
Sejak 2003, Rusia dan Indonesia sudah terlibat intens dalam soal pengadaan alutsista. Menurut Viktor Komardin dari perusahaan ekspor senjata-senjata Rusia, Roso Boron Export, Moskow menjual perangkat sistem SAM sekaligus membantu mempersiapkan jaringan pertahanan udara. Saat itu, Indonesia hanya memiliki rudal-rudal pertahanan SAM (surface-to-air missile) jarak dekat. Selain itu, Indonesia juga memesan 16 unit jet tempur Sukhoi, sejumlah helikopter militer Mi-35, dan Mi-17 .  Alutsista lain yang dijual Rusia ke Indonesia adalah kendaraan tempur lapis baja BMP-3F, kendaraan pengangkut personel BTR-80A, serta senapan serbu AK-102.
Untuk membeli persenjataan itu, Moskow pada 2007 memberi fasilitas kredit sebesar US$1 miliar. Selain memberikan fasilitas kredit, Rusia juga menggelar latihan bersama antara pasukan Indonesia dengan Rusia pada tahun 2011.



Hubungan perdagangan senjata antara Indonesia dan Rusia juga bukan hal baru. Sejak tahun 1950-an, masa dimana Rusia masih bernama Republik Uni Soviet (USSR), perdagangan senjata sudah terjadi antara Indonesia dan Rusia, tak lama setelah kedua negara sepakat membuka hubungan diplomatik. Namun hubungan ini mengalami pasang surut. Tahun 1960-an, masa pergolakan politik di Indonesia berpengaruh besar pada kerja sama Indonesia dan Uni Soviet. Indonesia merenggangkan hubungan dengan negara komunis tersebut dan mulai melirik AS.
Namun tahun 1990-an, kasus Timor Timur membuat AS memberlakukan embargo pada Indonesia. Dengan alasan Indonesia melanggar HAM di Timor Timur, AS menolak menjual senjata pada Indonesia. Embargo senjata dan suku cadangnya yang diberlakukan AS membuat Indonesia kembali melirik Rusia. Meski tahun 2005, Presiden AS George W.Bush memutuskan mengakhiri embargo senjata AS pada Indonesia, karena Bush menganggap Indonesia sebagai mitra penting AS untuk membasmi terorisme, namun Indonesia memilih tak sepenuhnya mempercayakan pengadaan alutsista pada AS. Indonesia memilih menguatkan kerja sama militer dengan negara pemasok alutsista, termasuk Rusia.
Menurut Nuning, sikap Indonesia yang memilih kembali terbuka pada Rusia tak masalah. “Setiap produk alutsista pasti punya kelebihan dan kekurangan. Itu biasa saja, yang penting pembelian jangan dibebani dengan perjanjian diplomasi yang bersifat politis dan cenderung tak menguntungkan kita,” ujarnya. Nuning menyarankan, pembelian alutsista dari negara lain sebaiknya dilakukan bila RI belum bisa atau tak dapat memproduksinya.
Sebagai mantan anggota Komisi I DPR RI periode 2009-2014, yang membidangi Kementerian Pertahanan Indonesia, ucapan Nuning ada benarnya. Bulan Juni tahun 2014, Menteri Pertahanan RI saat itu, Purnomo Yusgiantoro, sempat menolak membeli alutsista dari Rusia, jika negara tersebut menolak mentransfer teknologi mereka pada Indonesia. Menurut Purnomo, Rusia mensyaratkan pembelian dalam jumlah besar agar mereka bisa melakukan ToT (Transfer of Technology) pada Indonesia, padahal anggaran militer Indonesia tak cukup banyak untuk memborong peralatan militer.  Saat itu, Purnomo mengancam, jika Rusia tak bersedia ToT, maka Indonesia akan membeli alutsista dari negara blok timur lainnya.
Oktober 2014, Jokowi dilantik jadi Presiden RI. Dan tahun ini ia ke Rusia, melanjutkan pembicaraan soal pembelian dan kerja sama dalam bidang pertahanan dan keamanan.  Namun pernyataan ajudan Kremlin, Yuri Ushakov, yang dikutip oleh Reuters pada 18 Mei 2016,  tentang memproduksi senjata di bawah lisensi Rusia seperti menjadi sinyal positif, Rusia bersedia mendengarkan permintaan Indonesia. Bagaimana selanjutnya? Mari tunggu realisasi dan niat baik negeri Beruang Putih itu untuk mewujudkannya.





Credit  VIVA.co.id