Selasa, 31 Mei 2016
Luhut Panjaitan Tegaskan Negara Tak Akan Minta Maaf kepada PKI
JAKARTA - Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Luhut Binsar Panjaitan memastikan negara tak akan meminta maaf kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) dan korban serta keluarga korban pelanggaran HAM berat masa lalu dalam tragedi 1965.
Hal itu ditegaskan Luhut saat memberi pembekalan dalam Upacara Pembukaan Pendidikan dan Pelatihan Kader Bela Negara di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (30/5/2016).
"Anda harus paham ini, bahwa kita, negara ini tidak akan pernah minta maaf pada pemberontakan 1965. Sekali lagi saya minta para pelatih (Bela Negara) juga paham, bahwa kita tidak pernah ada pikiran sedikit pun untuk minta maaf pada PKI itu," ujar Luhut.
Menurut Luhut, sikap pemerintah jelas mengacu pada TAP MPRS 1966, UU Nomor 27 Tahun 1999 dan TAP MPR 2003 dalam upaya memerangi paham Marxisme, Leninisme dan Komunisme di Indonesia. Dia berpesan, kepada peserta bela negara agar tak terpengaruh dengan isu yang berkembang belakangan ini.
"Menyangkut masalah komunisme, sudah ada parameter yang jadi pegangan kita. Jangan terbawa pembicaraan di luar. Bahwa partai komunis tidak bisa hidup di Indonesia dan organisasi yang tidak berasaskan Pancasila pun tidak punya hak untuk hidup di Indonesia. Pancasila adalah ideologi negara," jelasnya.
Terkait isu berkembang soal 'hidupnya' lagi paham komunisme, Luhut mengaku Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menyampaikan pandangannya.
"Kemarin presiden dengan saya bincang-bincang panjang. Presiden menyampaikan statement sederhana, Pak Luhut itu kan pertikaian politik, untung yang menang TNI atau negara, kalau yang menang PKI habis juga kita dibunuh," tutur dia.
Meski begitu, Luhut menilai, negara tak boleh diam untuk terus menuntaskan tragedi pelanggaran HAM masa lalu. Namun, dia menolak jika disebutkan korban dari peristiwa itu mencapai sekira 400.000 jiwa.
"Tapi kita tidak bisa juga ignore atau memungkiri bahwa kita hidup dalam suasana dunia global. Kita harus menunjukkan kepada mereka, bahwa bangsa ini bukan bangsa pembunuh. Kita tidak sepakat bahwa jumlah yang mati tahun 1965 yaitu 400 ribu orang."
"Bahwa ada korban, iya. Tapi jumlahnya jauh di bawah angka itu. Mungkin kita menyesalkan peristiwa tersebut, karena itu sejarah kelam bagi bangsa ini dan mungkin jadi salah satu pertimbangan kita," pungkasnya.
Credit Sindonews