Selasa, 09 Agustus 2016

Rakyat Thailand Setujui Rancangan Konstitusi Junta Militer

 
Rakyat Thailand Setujui Rancangan Konstitusi Junta Militer 
 PM Thailand Prayuth Chan-ocha ketika memilih pada referendum Ahad kemarin. (Reuters/Jorge Silva)
 
Jakarta, CB -- Rakyat Thailand memutuskan untuk mendukung rancangan konstitusi baru yang diajukan militer dalam referendum yang berlangsung Ahad kemarin.

Dengan 94 persen suara yang masuk, hasil awal yang dirilis oleh komisi pemilihan menunjukkan bahwa 61,4 persen rakyat Thailang menyetujui rancangan undang-undang militer, sementara hanya 37,9 persen yang menolaknya.

Hasil ini merupakan kemenangan besar bagi Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha, yang melancarkan kudeta pada Mei 2014 lalu.

RUU dari militer disebut akan mengantarkan Thailand menuju pemilihan umum pada 2017 mendatang, namun pemerintah terpilih di masa datang harus memerintah dengan haluan dari militer.

 
Junta militer menyebut bahwa rancangan konstitusi baru buatan mereka ditujukan untuk menghentikan perpecahan di Thailand, yang dalam satu dekade lebih menyebabkan kerusuhan politik tak berujung.

Namun partai-partai politik besar dan kritikus mengatakan bahwa RUU itu hanya akan mengabadikan peran militer dalam politik Thailand.

Hasil referendum juga menjadi tamparan bagi klan Shinawatra dan sekutu mereka. Mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra digulingkan pada kudeta 2006 sedangkan adiknya Yingluck digulingkan Prayuth.


Ketua pelaksana Partai Peau yang mengantarkan Yingluck ke kursi perdana menteru, Wirot-Pao, mengatakan bahwa warga Thailand kemungkinan menyetujui RUU militer karena melihatnya sebagai jalan tercepat menuju pemilu mendatang.

“Alasan kebanyakan warga Thailand menerima konstitusi karena mereka ingin melihat pemilihan umum secepatnya,” kata Wirot-Pao. “Semua pihak sekarang harus membantu negara ini maju.”

Isu intimidasi

Junta, yang secara formal bernama Dewan Nasional untuk Perdamaian dan Ketertiban (NCPO) melarang debat soal konstitusi serta kampanye mengenai referendum. Pihak berwenang telah menahan puluhan orang yang mencoba melakukan kampanye menolak RUU, termasuk politikus dan aktivis mahasiswa.

“Itu adalah sebuah kampanye sepihak di mana junta secara tak langsung mendorong memilih ‘ya’ dan menahan atau mengintimidasi penentang referendum,” kata Paul Chambers, direktur lembaga riset Institus Hubungan Asia Tenggara di Chiang Mai. “Akibatnya, banyak yang orang yang tidak memilih sedang yang lain terpaksa memilih ‘ya’.”

Sekitar 55 persen pemilih ikut berpartisipasi, di bawah 80 persen yang diprediksi oleh komisi pemilihan.

Selain militer, pasar Thailand juga disebut menyambut hasil referendum ini.

“Hasilnya adalah skenario terbaik kami dan investor harusnya bereaksi positif karena jelas pemilu akan dilangsungkan tahun depan,” kata Kasem Prunratanamala, kepala riset di CIMB Securities. “Investor asing telah menunggu pemilihan dan bisa berinvestasi lebih sekarang.”





Credit  CNN Indonesia



Konstitusi Rancangan Militer dalam Referendum Thailand


Konstitusi Rancangan Militer dalam Referendum Thailand 
 Meechai Ruchupan, 77, Ketua Komite Rancangan Konstitusi Thailand saat mempublikasikan RUU tersebut pada Januari 2016 mengaku khawatir RUU itu tidak mampu menjadi solusi atas ketidakstabilan politik Thailand selama satu dekade terakhir. (Reuters/Chaiwat Subprasom)
 
Jakarta, CB -- Publik Thailand berkesempatan untuk berpartisipasi dalam referendum yang akan menentukan masa depan Thailand pada Minggu (7/8). Referendum ini akan menentukan apakah rakyat Thailand menerima atau menolak rancangan konstitusi baru yang ditawarkan pemerintahan junta militer yang berkuasa, dua tahun setelah kudeta berhasil melengserkan pemerintahan demokratis.

Thailand memiliki sejarah panjang kudeta militer. Sejak 1932, Negeri Gajah Putih ini telah mengalami 19 kali kudeta, sebanyak 12 di antaranya berhasil. Dengan kata lain, sebanyak 12 perdana menteri dari seluruh 29 perdana menteri yang pernah menjabat di Thailand berasal dari kubu militer yang melancarkan kudeta.


Kudeta teranyar terjadi pada Mei 2014, ketika kubu militer di bawah arahan Jenderal Prayuth Chan-ocha berhasil melengserkan pemerintahan Yingluck Shinawatra yang terpilih secara demokratis.

Setelah berkuasa, pemerintahan junta militer menolak konstitusi yang berlaku, serta menawarkan kepada rakyat rancangan konstitusi baru yang dinilai dapat menjadi solusi atas ketidakstabilan politik Thailand selama satu dekade terakhir.

RUU tersebut, menurut janji pemerintahan junta di bawah pimpinan Prayuth, merupakan pintu gerbang menuju pemilihan umum demokratis yang akan digelar pada 2017 mendatang.

Namun, para pakar berpendapat rancangan konstitusi tersebut hanya akan mengabadikan kekuasaan militer di dalam pemerintahan Thailand.

Dalam wawancara dengan Reuters, dua jenderal senior Thailand mengungkapkan bahwa konstitusi baru merupakan bagian dari restrukturisasi politik yang mendasar dan menjamin peran permanen militer dalam pemerintahan Thailand.

Dalam wawancara itu, terungkap indikasi bahwa kubu militer berupaya mencegah kudeta kembali terjadi, salah satunya dengan cara merancang konstitusi yang memastikan militer memiliki peran dalam mengawasi pembangunan ekonomi dan politik Thailand, melemahkan peran partai politik, dan memiliki kewenangan untuk mengawasi kinerja pemerintahan yang terpilih secara demokratis.

Strategi nasional 20 tahun

Di bawah rancangan konstitusi yang diusulkan, pemerintahan yang terpilih melalui pemilu secara hukum diwajibkan mengikuti rencana pembangunan nasional selama 20 tahun ditetapkan oleh militer.

Juru bicara pemerintah Thailand Mayor Jenderal Weerachon Sukondhapatipak menilai kebijakan semacam itu lebih baik untuk pemerintah selanjutnya ketimbang menjalankan kebijakan populis yang akan berdasarkan kepada kepentingan partai pemenang pemilu.

 
Kudeta teranyar di Thailand terjadi pada Mei 2014, ketika kubu militer di bawah arahan Jenderal Prayuth Chan-ocha berhasil melengserkan pemerintahan Yingluck Shinawatra yang terpilih secara demokratis. (Reuters/Chaiwat Subprasom)
"Setiap kebijakan pemerintah didasarkan pada kepentingan politik mereka sendiri, dan hal itu berujung pada banyak masalah, [seperti] korupsi, ketidakadilan dan sengketa," kat Weerachon.

Selama ini, belum ada pemerintahan Thailand yang mengadopsi strategi nasional selama 20 tahun, apalagi menerapkannya.

Selain itu, Senat yang ditunjuk oleh junta akan menyediakan kursi bagi para komandan militer yang akan bertugas mengawasi kinerja para anggota parlemen yang terpilih secara demokratis.

"Mereka akan duduk di sana [Senat] untuk memastikan bahwa semua reformasi akan dilakukan, dan pada saat yang sama, memastikan pemerintah yang baru terpilih benar-benar melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan," kata Jenderal Thawip Netniyom, Kepala Dewan Keamanan Nasional Thailand (NSC).

Salah satu klausul dalam rancangan konstitusi itu akan memungkinkan perdana menteri yang tidak terpilih melalui pemilu mengambil kekuasaan ketika krisis politik terjadi. Hal ini serupa dengan kudeta militer pimpinan Prayuth terhadap pemerintahan Yingluck.

Menguasai pemerintahan

Sejak berkuasa dua tahun terakhir, kubu militer bertransformasi menjadi lembaga paling kuat di Thailand, bahkan melebihi kekuasaan Raja Thailand, Bhumibol Adulyadej, 88, yang dalam beberapa tahun terakhir didera masalah kesehatan.

Weerachon menilai bahwa jika pemerintahan demokratis mengikuti rencana jangka panjang kubu militer, ketimbang meluncurkan kebijakan sendiri, maka "Thailand sudah menjadi negara maju saat ini."

Rancangan konstitusi, lanjut Weerachon akan memastikan tidak akan ada lagi kudeta militer di masa mendatang. Militer di Thailand, secara historis, beroperasi secara independen dan terlepas dari pemerintahan sipil.

"Idenya adalah agar tidak pernah kudeta lagi. Kami berharap bahwa [kudeta] itu tidak perlu terjadi," kata Thawip.

Thawip tidak mempermasalahkan partai politik mana yang akan memenangkan pemilu berikutnya, "selama kita memastikan mereka akan mengikuti konstitusi baru."

"Tujuan konstitusi adalah untuk tetap mengawasi atau mengendalikan tindakan pemerintah (untuk) memastikan mereka tidak melakukan sesuatu yang tidak demokratis," ujar Thawip.

Sementara itu, Weerachon menyatakan bahwa rancangan konstitusi itu sendiri masih dalam proses, dan dirancang oleh sektor publik maupun swasta. RUU itu akan dibagi ke dalam periode lima tahunan dan memberikan cetak biru untuk reformasi terkait isu-isu sosial, ekonomi dan politik.

Januari lalu, saat rancangan konstitusi ini dipublikasikan, Ketua Komite Rancangan Konstitusi Thailand Meechai Ruchupan, 77, sendiri mengaku khawatir RUU itu tidak mampu menjadi solusi atas ketidakstabilan politik Thailand selama satu dekade terakhir.

Jika hasil referendum menunjukkan RUU ini diterima secara luas oleh rakyat, maka RUU ini akan menjadi konstitusi Thailand yang ke-20, setelah negara itu menghapuskan sistem monarki absolut pada 1932.






Credit  CNN Indonesia