Rabu, 24 Agustus 2016

Burkini Dilarang di Prancis, Tapi Disayang Desainer

 
Burkini Dilarang di Prancis, Tapi Disayang Desainer 
Burkini boleh saja dilarang di Prancis. Kenyataannya, burkini keluaran desainer dan butik retail ternama malah laris manis. (Thinkstock/kzenon)
 
Jakarta, CB -- Pelarangan burkini—busana renang yang menutup sekujur tubuh kecuali wajah, telapak tangan dan telapak kaki—di sejumlah kota di Prancis, membuat desainer busana asal Australia, Aheda Zanetti, prihatin.

"Reaksi pertama saya adalah … Ya Tuhan, itu hanya baju renang, demi Tuhan," kata Zanetti, dikutip laman ABC, saat ditanya tentang kehebohan burkini. Menurutnya, pelarangan burkini adalah penindasan terhadap perempuan.

Padahal, diakui wanita keturunan Lebanon ini, tidak semua pelanggannya adalah muslim. Banyak wanita memilih burkini agar kulitnya terhindari dari efek buruk paparan sinar Matahari. Banyak juga ibu-ibu yang risih mengenakan bikini.

“[Burkini] melambangkan kebebasan, gaya hidup sehat, percaya diri,” kata Zanetti, dikutip SMH, seraya mencontohkan seorang pelanggannya, survivor kanker kulit, yang tentu tidak bisa memakai baju renang biasa di bawah sinar Matahari.

Zanetti memproduksi burkini berlabel Ahiida sejak belasan tahun lalu, di Villawood, Sydney Barat. Penjualan burkininya tak sebatas Negeri Kanguru, melainkan meluas ke berbagai negara, dari Norwegia sampai Israel, dengan harga US$80-200.

Ribut-ribut burkini membuat Zanetti kebanjiran e-mail, baik berisi pujian maupun cacian. “Seorang pria Italia mengatakan, ‘Saya senang melihat wanita berbikini, apa yang kamu lakukan terhadap kami?’ Lalu, saya jawab, ‘Gunakan imajinasimu.’”

Diakui Zanetti, ribut-ribut soal burkini malah membuat kreasinya laris manis, dan keuntungannya berlipat ganda, termasuk di Eropa. Tapi daripada burkini ‘mubazir’ di Paris, ia pun mengajak para wanita berlibur di pantai-pantai Australia saja.

Senada dengan Zanetti, aktris Prancis, Isabelle Adjani, juga menyayangkan pelarangan burkini di 23 resor di Prancis. "Kita tidak bisa melarang perempuan pergi ke pantai hanya gara-gara kostumnya,” kata wanita 61 tahun ini, dikutip Telegraph.

Adjani menilai pelarangan burkini tak terlepas dari perdebatan politik. Padahal burkini bukan hanya dikenakan dan dikreasikan oleh muslim. Terbukti butik retail Marks and Spencer (M & S) juga menjual burkini di cabangnya di 58 negara.

Laman Newsweek mengabarkan, burkini Marks and Spencer laris manis. Juru bicara M & S, Emily Dimmock, menyatakan, “Ini pertama kali kami menawarkan burkini di Inggris Raya, juga secara global melalui website, dan langsung ludes.”



Credit  CNN Indonesia


Pengusaha Perancis Siap Bayar Denda Pemakai Burkini


Pengusaha Perancis Siap Bayar Denda Pemakai Burkini  
Ilustrasi burkini (Matt King/Getty Images)
 
Jakarta, CB -- Seorang pengusaha Perancis keturunan Aljazair menyatakan siap membayar seluruh denda yang dijatuhkan pemerintah Perancis terhadap wanita Muslim yang memakai burkini, baju renang yang menutup seluruh tubuh dan kepala.

Rachid Nekkaz, pengusaha kaya yang juga aktivis HAM di Perancis, telah menyiapkan buku cek untuk membayar denda-denda tersebut. Nekkaz mengatakan, tindakan ini dilakukan demi mendukung kebebasan berpakaian wanita Muslim di Perancis.

"Saya memutuskan membayar seluruh denda para pemakai burkini demi menjamin kebebasan wanita dalam berpakaian, dan lebih dari itu, untuk menetralisir penerapan hukum yang tidak adil dan menindas ini," ujar Nekkaz, dikutip CNN, Selasa (23/8).

Larangan burkini diterapkan di beberapa kota di Perancis, salah satunya Cannes. Di kota ini, Muslimah yang memakai burkini terancam didenda hingga 38 euro atau hampir Rp600 ribu.

Larangan ini diberlakukan oleh wali kota Cannes mulai dari 28 Juli hingga 31 Agustus.

Pelarangan burkini kali ini diterapkan di tengah ketakutan pada Islam di Eropa, menyusul serangan di Paris, Nice dan Brussels yang total menewaskan ratusan orang. Nekkaz mengaku tidak terima jika negara-negara Eropa memanfaatkan Islamofobia untuk menekan kebebasan umat Islam.

"Tugas saya adalah mengingatkan negara-negara demokrasi di Eropa bahwa apa yang membuat demokrasi mereka luar biasa adalah penghormatan terhadap hak-hak fundamental," tutur Nekkaz.

"Kebebasan yang direnggut dari wanita yang memilih memakai pakaian tradisional Islam," lanjut pengusaha real estate ini.

Hingga saat ini sudah 15 wanita yang menghubungi Nekkaz untuk dibayarkan dendanya. "Saya kira hingga akhir bulan ini akan ada sekitar 100 denda," ujar Nekkaz.

Bukan kali ini saja Perancis menerapkan hukum yang mengatur pakaian Muslimah. Sebelumnya tahun 2011 saat pemerintahan Nicolas Sarcozy, Perancis adalah negara pertama di Eropa yang menerapkan larangan memakai cadar bagi wanita Muslim dengan denda hingga 150 euro atau lebih dari Rp2,2 juta.

Saat itu, Nekkaz juga membayarkan setiap denda wanita yang memakai cadar. Bahkan dia berhasil menggalang dana hingga setara Rp10 miliar untuk membayarkan denda-denda tersebut.


Credit  CNN Indonesia