Selasa, 23 Agustus 2016

Film Jihad Selfie, Mengungkap Alasan 'Remeh' WNI Gabung ISIS

 
Film Jihad Selfie, Mengungkap Alasan 'Remeh' WNI Gabung ISIS  
Film dokumenter "Jihad Selfie" mengungkapkan alasan para pemuda Indonesia bergabung dengan ISIS. Alasannya sangat sederhana, jauh dari kata ideologis. (CNN Indonesia/Hanna Azarya Samosir)
 
Jakarta, CB -- Alasan Teuku Akbar Maulana, pelajar Indonesia di Turki, ingin bergabung dengan ISIS sederhana saja, bahkan terdengar remeh.

"Saya lihat teman saya ikut ISIS, berfoto pakai AK-47, kok macho sekali? Banyak yang like itu fotonya di Facebook, dikomentari ukhti-ukhti. Saya tertarik ikut," ujar Akbar saat ditemui di Kementerian Luar Negeri RI, Jakarta, Senin (22/8).

Berusia 16 tahun dan tinggal jauh dari rumah, remaja asal Aceh ini mencari jati dirinya dengan menyelami dunia internet. Layaknya pemuda masa kini, sosial media merupakan jendela dunia yang mungkin dapat menjadi segalanya bagi hidup remaja.

Meskipun beruntung bisa mendapatkan beasiswa untuk belajar di Turki, Akbar yang memiliki otak cemerlang merasa bosan dengan kehidupannya.

"Saya galau karena pelajaran terlalu mudah, itu-itu saja. Saya merasa hampa. Lalu saya ingat pelajaran waktu SMP, dibilang bahwa hiduplah mulia atau mati syahid. Nanti bisa dapat surga dikelilingi 72 bidadari," tutur Akbar.

Berangkat dari pemikiran itu, sampailah Akbar ke khayalan impian ketika membuka akun media sosial salah satu temannya yang sudah menjadi militan ISIS.

"Saya juga ingin terlihat maskulin. Di video-video ISIS itu banyak dibilang bahwa ini tanah lelaki. Seakan kalau kita tidak di sana, berarti kita bukan lelaki. Saya pikir, keren juga. Saya semakin ingin membantu jihad," kata Akbar.

Satu sore di tahun 2014, Akbar bertemu dengan seorang pengamat asal Indonesia di sebuah kedai kebab. Noor Huda Ismail namanya. Ia sedang bertandang ke Turki untuk melanjutkan penelitiannya mengenai pola baru perekrutan militan kelompok teror melalui jejaring sosial.

"Saya sempat cerita, saya mau pergi jihad dan ada teman sudah mau bantu. Saya sampai dikasih 100 Lyra sama dia untuk pergi, tapi setelah ngobrol dua hari, saya sadar dan saya batalkan perjalanan itu," kata Akbar.

Akbar pun semakin mantap untuk mengurungkan niatnya karena ia berpikir, banyak misinterpretasi ayat-ayat Al-Quran yang diyakini oleh teman-temannya.

 
Teuku Akbar Maulana dalam pemutaran film Jihad Selfie. (CNN Indonesia/Hanna Azarya Samosir)
Huda, seorang pengamat terorisme yang tengah menempuh studi studi PhD di Monash University, Australia, menyadari ada kejanggalan dalam motivasi Akbar untuk ikut bertempur bersama ISIS. Hal ini menginspirasi Huda untuk menggarap film dokumenter bertajuk Jihad Selfie.

"Kalau didengar alasannya, itu di mana letak ideologisnya? Tidak ada. Semuanya karena galau anak-anak alay yang masalahnya itu karena sosial media, banyak like atau tidak. Itu kan masalah anak zaman sekarang," ucap Huda.

Aspek maskulinitas

Huda pun mengamini adanya aspek maskulinitas dalam problematika masyarakat, terutama remaja pria, di Indonesia. Bahayanya, masalah ini dapat membawa para remaja terjerembab dalam liang terorisme.

Merujuk pada data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, ada 500 WNI yang kini sudah hijrah ke Suriah dan Irak untuk bertempur dengan ISIS. Di antara 500 orang tersebut, Huda menceritakan Wildan, Yazid, dan Fauzan, tiga remaja yang tewas dalam medan perang ISIS di Irak dan Suriah.

Menurut Huda, Wildan menjadi pengebom bunuh diri karena ada masalah di keluarganya. Ayahnya melakukan poligami.

Sementara itu, Yazid tidak dekat dengan ayahnya. Bapak dari Yazid merupakan anggota angkatan bersenjata sehingga hubungan dengan anaknya sangat kaku.

Begitu pula dengan Fauzan yang tidak terlalu mengenal sosok ayahnya karena sudah meninggal dunia sejak lama.

"Mereka punya passion untuk terlihat heroik. Mereka tidak ingin di-bully terus-terusan. Ada gelora untuk tidak dianggap perempuan, tidak macho. Ingin dilihat maskulin," kata Huda.

Geopolitik memakan korban

Dari pengalamannya menggarap film berdurasi 49 menit ini, Huda menarik kesimpulan bahwa terorisme ini sebenarnya adalah permainan geopolitik yang memakan korban nyata.

"Kasusnya di Suriah, tapi Turki punya kepentingan. Begitu pula Rusia, China, AS, dan Arab Saudi. Banyak orang yang kembali dari sana, cerita ke saya bahwa senjata mereka buatan China, semua amir mereka dari Saudi punya uang dolar banyak. Terorisme itu sebenarnya permaianan geopolitik, tapi korbannya anak-anak alay seperti ini yang matinya beneran," ujar pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian ini.

Kini, kata Huda, tantangannya bagi pemerintah adalah untuk mencari cara yang modern guna menggaet perhatian anak-anak muda agar tidak terpengaruh dengan propaganda kelompok teror di internet.

"Gunakan digital literacy. Seperti saya ini contohnya, buat film agar menarik perhatian. Jika dilihat itu saya bikin cut to cut-nya cepat supaya anak muda tidak cepat bosan. Harus cari cara untuk mendapatkan perhatian mereka bahwa mereka tidak perlu seperti itu," katanya.

Film Jihad Selfie digarap pada Maret 2015 hingga Mei 2016 dengan berbagai lokasi, seperti Melbourne, Istanbul, Kayseri, Kairo, Bali dan Jakarta. Film ini akan diputar di berbagai universitas, LSM, lembaga pemerintah dan penjara di seluruh Indonesia. Pemutaran film akan diikuti dengan diskusi seputar radikalisme di Indonesia.




Credit  CNN Indonesia