Senin, 22 Agustus 2016

Sejarah Kementerian Luar Negeri, Berawal dari Rumah Ini


 Sejarah Kementerian Luar Negeri, Berawal dari Rumah Ini
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi bersiap memberikan keterangan pers pada acara Napak Tilas Sejarah Diplomasi Indonesia di kediaman sekaligus kantor pertama Kementerian Luar Negeri rumah Ahmad Soebardjo di Jakarta, 19 Agustus 2016. ANTARA FOTO
 
CB, Jakarta -   Ada yang berbeda dalam perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) RI ke-71 Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Selain bazar dan perlombaan olah raga yang tiap tahun digelar, Menteri Luar Negeri Retno Lestari Priansari Marsudi melakukan napak tilas sejarah cikal bakal Kementerian yang dipimpinnya.

Jumat, 19 Agustus 2016, tepat pukul 08.00, Retno menapaki sebuah rumah di bilangan Cikini, Jakarta Pusat.  Tak jauh dari stasiun kereta api. Rumah itu adalah kediaman Menteri Luar Negeri pertama Republik Indonesia, Achmad Soebardjo.  Di awal kemerdekaan, dengan segala keterbatasan, rumah ini  sempat menjadi kantor Departemen Luar Negeri.

Masuk ke dalam rumah, di ruangan kerja Soebardjo di sebelah kiri, berderet tiga rak berisi buku-buku tua yang sudah termakan umur. Sebagian dibungkus dengan plastik. Sebuah mesin ketik tua tertata apik di meja. Foto-foto Soebardjo dan istri  tampak berjejer serasi di meja lain.

“Saat masuk ke rumah ini, saya pribadi merasa merinding dan ingin menangis, karena setelah melihat perjalanan sejarah, ini memberikan energi baru bagi kita, energi positif untuk menjalankan diplomasi selanjutnya,” kata Retno kepada Tempo.

“Kita ingin membiasakan satu tradisi untuk menghormati sejarah, menghormati pendahulu kita yang telah memberikan kontribusinya. Ini cara kita menyampaikan terima kasih kepada mereka semua,” kata perempuan pertama yang menjadi Menteri Luar Negeri RI tersebut

Dalam acara napak tilas itu selain jajaran pejabat tinggi Kementerian Luar Negeri hadir pula para mantan duta besar, juga mantan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa.

Pujiwati Insia Soebardjo Effendi, 80 tahun, masih ingat saat sang ayah menjadikan rumah mereka sebagai kantor sementara.   Rumah dikelilingi penjaga dengan bambu runcing. “Seluruh keluarga ikut membantu saat menyambut tamu asing, saya main piano,  adik bermain biola,” kenang  Pujiwati. Rumah itu tetap ramai dengan berbagai kegiatan dan seminar, hingga sang ayah tiada pada 1978.

Soebardjo lahir di Karawang, Jawa Barat pada 23 Maret 1896, memperoleh gelar "Meester in de Rechten" atau Sarjana Hukum dari Universitas Leiden, Belanda pada 1933.

Semasa mahasiswa dia  aktif memperjuangkan kemerdekaan,  dengan bergabung di organisasi kepemudaan seperti Jong Java dan Perkumpulan Mahasiswa Indonesia di Belanda. Dia adalah anggota delegasi Indonesia pada Kongres Anti Imperialis di Belgia dan Jerman. Kembali ke Indonesia, dia aktif menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), lalu Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)

Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, Soebardjo diangkat menjadi Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Presidensial periode 19 Agustus 1945 - 14 November 1945. Dia kembali dipercaya menjadi Menteri Luar Negeri pada Kabinet Sukiman-Suwirjo periode 1951-1952. Soebardjo juga pernah menjadi Duta Besar Indonesia untuk Republik Federal Swiss periode 1957-1961.  Soebardjo wafat pada 15 Desember 1978.

Teuku Mohammad Hamzah Thayeb, putra TM Hadi Thayeb, salah seorang staf pertama yang direkrut Soebardjo, juga masih ingat kisah sang ayah.  “Ayah saya sedang mencari obat buat nenek saat  lewat di depan rumah sini dan dipanggil Om Achmad,” kenang Hamzah, mantan Duta Besar RI untuk Australia.

Tak lama 'kantor' pun pindah ke Jalan Cilacap. Di sana, situasi tidak terlalu berbeda. Tidak ada peralatan laiknya sebuah kantor.  "Ayah saya mengambil garasi jadi ruangannya. Tidak ada perabot. Kotak besar di balik jadi meja, dan kotak yang lebih kecil  jadi kursi,” kata Hamzah, Diplomat of the Year 2013, saat menjadi Duta Besar RI  untuk Inggris ini.

Dalam acara napak tilas itu selain jajaran pejabat tinggi Kementrian Luar Negeri hadir pula para mantan duta besar, juga mantan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa.

Saat ditanya Tempo apakah rumah itu akan dijadikan museum, Retno menyatakan hal itu sedang dipertimbangkan. Dewi O’Hare, putri bungsu Soebardjo menolak menyebut angka pajak yang harus dibayar untuk rumah di atas tanah sekitar 3.000 meter dengan luas bangunan sekitar 1.000 meter itu. “Pokoknya besar lah,” kata dia.




Credit  TEMPO.CO