Tantangan Baru dalam Lingkungan Informasi
Oleh Kol. (Purn.) Arthur N. Tulak, Angkatan Darat A.S.Sifat lingkungan ancaman militer telah berubah ketika musuh dan musuh potensial kita semakin sering menggunakan cara nonmiliter dan paramiliter untuk mencapai tujuan strategis dan operasional yang sebelumnya dianggap tugas militer murni. Kecenderungan penggunaan kemampuan dan operasi nonmiliter untuk menggantikan kekuatan militer, serta konvergensi pendekatan konvensional dan tidak teratur, telah diakui selama bertahun-tahun oleh para penulis dan ahli militer. Taktik yang dilakukan selama kompetisi di masa damai ini dapat menimbulkan hasil negatif abadi yang memengaruhi keamanan, ekonomi, dan hukum internasional secara langsung.
Kecenderungan ini baru-baru ini dipercepat ketika negara-negara adikuasa mencoba mencapai tujuan militer tanpa memicu konflik terbuka antarnegara. Pendekatan “campuran” terhadap perang modern telah diberi banyak nama, termasuk “perang generasi baru,” “perang asimetris,” “perang majemuk,” “perang hibrida,” dan baru-baru telah digambarkan sebagai tindakan yang dilakukan dalam “zona abu-abu” antara diplomasi klasik dan konflik militer terbuka. Dari berbagai istilah tersebut, istilah perang hibrida lebih populer sebagai cara untuk memahami peristiwa saat ini. Di lingkungan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), istilah ini digunakan untuk menggambarkan atribut operasional baru dari serangan Rusia terhadap Ukraina. Penggunaan peralatan dan pasukan militer oleh Rusia dengan kedok pasukan pribumi dan separatis di Ukraina adalah contoh pelik perang hibrida yang mencakup penggunaan kekuatan mematikan. Versi Tiongkok di Laut Cina Selatan hingga kini masih belum mematikan, meskipun metode mematikan seperti pesawat tempur, artileri, dan rudal pertahanan udara dikerahkan di pulau-pulau yang diperebutkan.
Perang hibrida menggunakan kombinasi metode militer dan nonmiliter di masa damai untuk mencapai tujuan militer tradisional (misalnya, kontrol atau penaklukan teritorial), dan dengan demikian mengubah “fakta di lapangan” tanpa memicu konflik yang sebenarnya. Dalam karyanya yang baru-baru ini diterbitkan, Mastering the Gray Zone: Understanding a Changing Era of Conflict, Michael Mazarr, seorang ilmuwan politik dan mantan pembantu dekan di National War College, mengungkapkan bahwa perang hibrida masa damai mencapai tujuan militer, yakni kontrol medan perang. Dia menegaskan bahwa “tujuan perang hibrida adalah memenangkan kampanye konklusif melalui penggunaan kekuatan dan beberapa tingkat kekerasan, atau mempersiapkan semacam aksi militer yang menentukan.”
Bukti dunia maya dipajang di Laboratorium Forensik Komputer Pertahanan di Linthicum, Maryland. Amerika Serikat membelanjakan 135,8 triliun rupiah (10 miliar dolar A.S.) per tahun untuk melindungi data sensitif pemerintah. THE ASSOCIATED PRESS
Perebutan lahan melalui perang hibrida di masa damai dapat dilihat sebagai membentuk medan operasi militer di masa depan dengan memperluas kontrol militer atas lahan atau ruang operasional yang diperebutkan agar dapat menggunakan kemampuan ofensif dan defensif dengan lebih baik seandainya terjadi konflik yang sebenarnya. Versi perang hibrida Rusia dan Tiongkok menggunakan langkah-langkah tanpa memicu konfrontasi militer langsung antar negara yang akan melanggar batas-batas perjanjian. Versi Rusia menampilkan “teknik yang tidak lazim dan beragam” yang menggabungkan perpaduan pasukan khusus, kampanye informasi, pasukan pihak ketiga, dan kegiatan kriminal, demikian menurut laporan Jane’s Defence Weekly pada tahun 2015. Ciri umum dari bentuk perang baru ini adalah manajemen strategis akurat terhadap tentara dan operasi, sampai ke tingkat taktis, dalam rangka mencapai ambiguitas tentang apakah pasukan dan metode yang digunakan benar-benar di bawah otoritas komando nasional, dan untuk mencapai efek pengaruh yang diinginkan dan penyampaian pesan komunikasi strategis di semua media.
Angkatan Darat A.S. telah mengakui tantangan yang ditimbulkan oleh perang hibrida dan meneliti kemampuan ancaman hibrida Tiongkok, Rusia, dan Iran dalam The U.S. Army Operating Concept: Win in a Complex World, yang diterbitkan pada Oktober 2014. Dalam mengkaji potensi ancaman ini, kami menemukan bahwa operasi informasi tradisional, perang elektronik (electronic warfare – EW), dan perang dunia maya adalah komponen penting dari perang hibrida.
OPERASI INFORMASI DALAM PERANG HIBRIDA: MEDAN EROPA
Operasi perang hibrida klasik ditunjukkan dalam kampanye Krimea pada tahun 2014, ketika pasukan Rusia berhasil menggunakan perang psikologis, operasi penyesatan, komunikasi internal yang terampil, intimidasi, penyuapan, dan propaganda Internet/media “untuk melemahkan perlawanan, sehingga menghindari penggunaan kekuatan senjata,” demikian menurut analisis pada tahun 2014 yang diterbitkan oleh Akademi Pertahanan Nasional Latvia. Baru-baru ini, serangan militer Rusia di Ukraina timur membuat mantan Sekretaris Jenderal NATO Anders Fogh Rasmussen menyatakan bahwa “Rusia telah mengadopsi pendekatan ini [perang hibrida], dan perang itu adalah campuran dari perang konvensional yang sangat dikenal dan kampanye disinformasi dan propaganda baru yang lebih canggih termasuk upaya Rusia untuk memengaruhi opini publik melalui hubungan keuangan dengan partai politik dalam NATO dan keterlibatan dalam LSM [lembaga swadaya masyarakat],” lapor majalah Newsweek pada April 2015.
Dalam kedua kampanye itu, Rusia menggunakan pasukan daratnya sendiri yang mengenakan seragam kamuflase militer (dan sering kali dengan topeng wajah), tapi tanpa lencana yang akan mengidentifikasi mereka dengan jelas sebagai militer Rusia. Taktik ini memiliki efek menciptakan ambiguitas, karena Rusia mengklaim bahwa tentara yang bersenjata lengkap dan terlatih dengan baik itu hanyalah separatis dalam negeri. Pers menyebut pasukan misterius ini sebagai “pria hijau kecil” yang muncul dalam jumlah terlalu besar dan dengan kemampuan terlalu canggih sehingga tidak sesuai dengan deskripsi Kremlin sebagai kelompok separatis yang dibentuk secara lokal. Meskipun demikian, strategi itu berhasil memberikan ambiguitas dan pengingkaran masuk akal yang cukup lama untuk mengubah fakta-fakta di lapangan. Pada Maret 2015, para pejabat NATO memperkirakan bahwa 1.000 personel militer dan intelijen Rusia dikerahkan di Ukraina timur. Personel ini besar kemungkinan mengoperasikan atau mengawasi operasi sistem persenjataan canggih, termasuk tank, artileri, pertahanan udara, dan jaringan komando, kontrol, dan komunikasi yang mendukung pasukan separatis, demikian yang dilaporkan Jane’s Defence Weekly.
dari kiri: Direktur FBI James Comey, Direktur CIA John Brennan, Direktur Intelijen Nasional James Clapper, Direktur Lembaga Keamanan Nasional Laksamana Michael Rogers, dan Direktur Badan Intelijen Pertahanan Letjen Vincent Stewart hadir dalam dengar pendapat mengenai ancaman dunia maya di depan Komite Intelijen DPR A.S. di Washington, D.C., pada September 2015. [THE ASSOCIATED PRESS]
Perang hibrida Rusia yang sering kali ditampilkan dalam operasi militer Rusia sekarang menjadi bagian dari doktrin baru militer Rusia, yang menekankan operasi informasi, kampanye disinformasi, dan mengeksploitasi “potensi protes” populasi target, serta menggunakan pasukan operasi khusus dan pihak ketiga untuk tetap berada di bawah ambang batas operasi militer konvensional, demikian lapor Jane’s Defence Weekly. Marsekal Angkatan Udara A.S. Philip Breedlove, panglima tertinggi NATO di Eropa, bersaksi di depan Komite Angkatan Bersenjata Senat A.S. bahwa doktrin ini sedang dipraktikkan. Dia menggambarkan upaya pengaruh Rusia di Eropa Timur sebagai “kampanye informasi yang berdedikasi, mahir, dan sangat aktif,” demikian menurut surat kabar Defense News. Marsekal Breedlove memperkirakan bahwa kampanye informasi ini didukung dengan pendanaan yang setara dengan 4,75 triliun rupiah (350 juta dolar A.S.) dan disebarluaskan oleh media cetak, Internet, dan televisi “dengan cara yang mahir dan berdedikasi.”
OPERASI INFORMASI DALAM PERANG HIBRIDA:
MEDAN INDO-ASIA-PASIFIK
Sejalan dengan militer Rusia, Tentara Pembebasan Rakyat (People’s Liberation Army – PLA) Tiongkok telah mengintegrasikan prinsip perang hibrida ke dalam doktrin militernya, yang menyerukan “menggabungkan tindakan konvensional dan non-konvensional,” demikian menurut Komando Pelatihan dan Doktrin Angkatan Darat A.S. Contoh perang hibrida di Indo-Asia-Pasifik ditampilkan oleh penggunaan pasukan nonmiliter dan paramiliter Tiongkok, seperti Penjaga Pantai dan kapal penindakan perikanan, kapal eksplorasi minyak, platform pengeboran minyak, dan kapal komersial, dan kapal nelayan yang terdaftar di Tiongkok untuk menekankan pengaruh dan menegaskan klaim teritorial dan maritim Tiongkok yang meragukan di Laut Cina Selatan. Seperti dilaporkan Defense News, Tiongkok telah menunjukkan bahwa pihaknya dapat mengerahkan sejumlah besar kapal nelayan secara mendadak menjadi “milisi maritim.” Taktik itu digunakan secara efektif melawan Taiwan pada tahun 1990-an dengan sekawanan kapal nelayan mengelilingi pulau-pulau terluar Taiwan selama periode ketegangan politik dan baru-baru ini ketika melawan Filipina dalam ketegangan di Scarborough Shoal dan ketika melawan Jepang di dekat Kepulauan Senkaku pada tahun 2012. Menurut Defense News, Tiongkok menggunakan sekawanan kapal nelayan untuk mengepung area yang disengketakan guna menghalangi akses penjaga pantai atau angkatan laut negara pesaingnya tanpa menggunakan kekuatan militer secara terang-terangan.
Dalam kesaksian di depan Komite Angkatan Bersenjata DPR A.S. pada April 2015, Laksamana Angkatan Laut A.S. Samuel J. Locklear III, komandan Komando Pasifik A.S. pada saat itu, mengakui kekhawatiran akan berbagai operasi nonmiliter dan paramiliter ini, serta peningkatan operasi militer di Laut Cina Selatan. Dia mengatakan bahwa meskipun ketergantungan Tiongkok pada penggunaan “kapal penegak hukum maritim untuk menegakkan klaim mereka sebagian besar telah terus membuat masalah ini berada di luar lingkup militer,” taktik ini juga disertai dengan “peningkatan yang stabil dalam patroli udara dan laut militer.”
Penggunaan apa yang besar kemungkinan adalah armada kapal keruk samudra terbesar di dunia untuk menciptakan serangkaian pulau buatan di atas beting dan terumbu karang yang terendam air laut di Laut Cina Selatan dan Laut Filipina Barat oleh Tiongkok adalah contoh lain dari taktik ini, demikian lapor majalah The Diplomat pada Februari 2015. Laksamana Harry B. Harris Jr., saat memegang komando Armada Pasifik A.S., mengomentari teknik perang hibrida PLA, mengatakan bahwa “Tiongkok sedang menciptakan ‘Tembok Raksasa pasir’ dengan kapal keruk dan buldoser selama berbulan-bulan,” lapor surat kabar The Washington Post pada April 2014.
Tiongkok telah menggunakan milisi maritim pada kapal komersial dan nonmiliter untuk mengganggu kapal Angkatan Laut A.S. yang sedang transit di Laut Cina Selatan, termasuk konfrontasi yang dilakukan kapal nelayan Tiongkok dengan mengganggu USNS Impeccable pada Maret 2009 dan kapal dagang Tiongkok lainnya yang mengganggu USS Lassen pada Oktober 2015. Baru-baru ini, Tiongkok menggunakan personel milisi angkatan lautnya yang menyamar sebagai nelayan untuk melakukan pendaratan di pulau-pulau Senkaku di Jepang seperti yang dilaporkan oleh Defense News pada Maret 2016. Sebagaimana dicatat dalam serangkaian artikel oleh Dr. Andrew Erickson dan Conor Kennedy dari Institut Studi Maritim Tiongkok di Naval War College A.S., milisi maritim Tiongkok adalah bagian dari organisasi milisi Tiongkok di bawah PLA dan kontrol negara. Sebagaimana dilaporkan oleh Defense News pada November 2015, penggunaan pasukan paramiliter ini, yang disebut sebagai “pria biru kecil,” yang diambil namanya dari warna seragam milisi maritim mereka, telah dibandingkan dengan “pria hijau kecil,” pasukan militer misterius Rusia yang menyamar sebagai separatis lokal di Krimea dan Ukraina timur. Maksud dari taktik perang hibrida tersebut adalah mencapai tujuan militer tanpa memicu konflik, sembari mengacaukan dan menunda pengambilan keputusan militer Barat.
Taruna Akademi Militer A.S. Kiefer Ragay berpartisipasi dalam latihan pertahanan dunia maya tahunan di Pusat Penelitian Dunia Maya (Cyber Research Center) di Akademi Militer A.S. di West Point, New York, pada April 2014. THE ASSOCIATED PRESS
Tindakan perang hibrida yang dilakukan di masa damai dapat mengakibatkan ancaman jangka panjang bagi keamanan regional. Dalam pidato di Pusat Keamanan Amerika Baru, Wakil Menteri Luar Negeri A.S. Antony Blinken membandingkan proyek penciptaan lahan berskala besar Tiongkok di Laut Cina Selatan dengan pendudukan Krimea dan bagian Ukraina timur oleh Rusia, dan menyebutnya “ancaman bagi perdamaian dan stabilitas.” Pendirian pangkalan operasi berkemampuan militer di Laut Cina Selatan di perairan yang disengketakan di atas pulau-pulau buatan, dan pendudukan Krimea dan bagian Ukraina timur merupakan operasi perang hibrida yang dilakukan di bawah ambang batas konflik militer, tetapi tindakan ini sebenarnya besar kemungkinan dapat mengakibatkan terjadinya konflik militer konvensional antarpasukan di masa mendatang. Guna mengatasi ancaman ini, Blinken mengeluarkan peringatan keras:
“Di Ukraina timur dan Laut Cina Selatan, kita menyaksikan upaya untuk mengubah status quo secara sepihak dan secara paksa — pelanggaran yang akan dilawan secara bersama-sama oleh Amerika Serikat dan sekutu kami.”
Ketika Tiongkok melakukan perang hibrida untuk mencapai akuisisi teritorial melalui metode nonmiliter dan paramiliter, Tiongkok mengikuti contoh Rusia di Ukraina dengan menerapkan “kampanye informasi” pendukung terkoordinasi yang direncanakan di tingkat strategis dan disebarkan secara global. Kampanye informasi ini sesuai dengan doktrin “Tiga Perang” PLA dengan tindakan, kegiatan, dan penyampaian pesan untuk mendukung perang psikologis, media, dan hukum. Pesan-pesan itu telah mempromosikan “klaim historis,” niat damai, dan konsep “kedaulatan teritorial yang tak terbantahkan” dari pangkalan pulau-pulau buatan Tiongkok. Dalam konferensi pers pada April 2015 (selama operasi pengerukan yang sedang gencar dilakukan yang diawasi oleh Angkatan Laut PLA), Kementerian Luar Negeri Tiongkok mengungkapkan pembenaran nonmiliter untuk pendudukan karang, beting, dan pulau yang diperebutkan banyak pihak dengan memuji setinggi langit banyaknya manfaat yang diharapkan dihasilkan dari administrasi dan kontrol pemerintah Tiongkok terhadap masyarakat internasional. Pesan ini ditujukan untuk membuat “penyesatan” informasi guna memungkinkan Tiongkok melanjutkan perjalanan untuk menyelesaikan pembangunan pulau-pulau buatan.
Sebulan kemudian, Ouyang Yujing dari Kementerian Luar Negeri Tiongkok menegaskan “bahwa Tiongkok memiliki hak untuk mengerahkan fasilitas yang diperlukan untuk pertahanan militer di terumbu karang dan pulau yang relevan” seperti yang dilaporkan surat kabar China Daily. Intelijen A.S. menemukan bahwa Tiongkok membuktikan klaim ini, ketika pihaknya mengidentifikasi kendaraan artileri berat di pulau buatan yang dibangun di atas Fiery Cross Reef, demikian lapor The Associated Press pada Mei 2015.
Pengerahan pesawat jet tempur J-11BH/BS PLA (seperti yang dilaporkan di situs web berbahasa Mandarin) baru-baru ini ke Pulau Woody di Kepulauan Paracel berfungsi untuk menyoroti tujuan sebenarnya dari landasan udara yang sedang dibangun di pulau-pulau buatan, seperti landasan udara 3.000 meter yang dibangun di atas Fiery Cross Reef. Terakhir, pengerahan rudal pertahanan udara HQ-9 ke Pulau Woody pada Februari 2016 membuktikan bahwa tujuan akhir perang hibrida adalah melakukan penaklukan militer tanpa memicu konflik militer terbuka. Singkatnya, Tiongkok memanfaatkan doktrin “Tiga Perang” untuk melaksanakan tindakan ofensif perang hibrida terhadap lawan yang militernya berada dalam masa damai.
PERANG ELEKTRONIK, LINGKUNGAN ANCAMAN DUNIA MAYA, DAN PERANG HIBRIDA
Aspek lain dari perang hibrida seperti yang dilakukan oleh Rusia dan Tiongkok adalah peran penting yang ditugaskan untuk unit perang elektronik dan dunia maya militer mereka, yang membawa rangkaian tantangan baru lainnya ketika kemampuan ini diterapkan pada perang hibrida.
Sebagaimana yang diamati oleh Wakil Menteri Pertahanan Robert Work, “pesaing kita mencoba untuk memenangkan kompetisi perang elektronik,” lapor Defense News. Buktinya adalah penggunaan perang elektronik oleh Angkatan Darat Rusia sebagai komponen perang hibrida selama operasi ofensifnya di Ukraina. Angkatan Darat Rusia menggunakan sistem perang elektronik canggih militer Rusia seperti sistem gelombang mikro berkekuatan tinggi untuk mengacaukan komunikasi dan pengintaian militer Ukraina serta menonaktifkan pengawasan wahana udara tak berawak yang dioperasikan oleh tim pemantauan gencatan senjata Organisasi untuk Keamanan dan Kerja Sama di Eropa, demikian yang dilaporkan oleh Jane’s Defence Weekly.
PLA juga mempertimbangkan perang elektronik dengan sangat serius, sebagaimana yang dibuktikan lewat tulisan militer yang menekankan “memperoleh dominasi elektromagnetik merupakan prasyarat untuk memenangkan perang modern,” demikian menurut China Radio. Dalam sebuah laporan yang diterbitkan oleh Komisi Tinjauan Ekonomi dan Keamanan A.S.-Tiongkok pada Februari 2015, analis menilai bahwa “PLA melihat kemampuan ruang angkasa, dunia maya, dan perang elektronik sebagai aspek yang semakin penting dari kemampuannya untuk mencegah atau, jika perlu, mengalahkan musuh berteknologi maju dalam perang lokal berbasis informasi di masa depan, baik terhadap Taiwan atau Kepulauan Senkaku/Diaoyu, sengketa teritorial maritim di Laut Cina Selatan, atau di tempat lain.”
Di lini dunia maya, seperti halnya dengan perang elektronik, pesaing dan musuh potensial kita semakin banyak menanamkan investasi dalam kemampuan ini dan menempatkannya untuk digunakan dalam perang hibrida di masa damai.
Dalam kesaksiannya pada tahun 2015 kepada Komite Angkatan Bersenjata DPR A.S., Laksamana Locklear menyatakan kekhawatiran tentang “risiko yang ditimbulkan oleh ancaman dunia maya yang terjadi secara terus-menerus” serta “peningkatan kemampuan dan penggunaan dunia maya, terutama oleh Tiongkok, Korea Utara, dan Rusia.” Dia secara khusus menyebutkan serangan dunia maya Korea Utara pada Sony Pictures sebagai contoh kemampuan dunia maya negara tersebut yang diterapkan terhadap jaringan militer dan sipil sekutu kita, Korea Selatan. Ancaman ini merupakan ancaman paling kompeten yang dikategorisasikan dalam dua tingkat teratas dalam matriks ancaman lima tingkat yang dikembangkan oleh Satuan Tugas Dewan Sains Pertahanan A.S. yang berfokus pada pemahaman ancaman dunia maya canggih yang dihadapi negara Amerika.
Kemampuan dunia maya Tiongkok terus tumbuh, matang, dan berkembang. PLA mendirikan unit perang informasi pertamanya pada tahun 2003. Unit ini ditugaskan “untuk mengembangkan virus guna menyerang sistem dan jaringan komputer musuh, dan taktik serta langkah-langkah untuk melindungi sistem dan jaringan sahabat,” demikian menurut Security Bulletin edisi tahun 2007. PLA mulai menggabungkan operasi jaringan komputer ofensifnya ke dalam latihannya pada tahun 2005 untuk membangun kemampuannya. Setelah penyangkalan resmi selama bertahun-tahun, PLA mengakui keberadaan unit khusus perang dunia maya dalam The Science of Military Strategy edisi 2013 yang diterbitkan oleh Akademi Sains Militer PLA, seperti yang dilaporkan oleh The Diplomat. Pengakuan ini diikuti oleh laporan terkenal pada tahun 2013 yang diterbitkan oleh perusahaan keamanan komputer komersial Mandiant, yang mengidentifikasi Unit 61398 Biro Kedua Departemen Ketiga Departemen Staf Umum PLA sebagai sumber dari banyak intrusi jaringan komputer yang berasal dari Tiongkok.
Hal penting dalam perang hibrida adalah pengakuan bahwa banyak kemampuan dunia maya dan prajurit dunia maya Tiongkok berada di luar militer, seperti peretas patriotik dan mahasiswa. Oleh karena itu Science of Campaigns menyerukan mobilisasi aset ini untuk perang dunia maya. Menempatkan kemampuan ini di bawah kontrol militer di masa damai akan menjadi “Perang Rakyat” dalam ranah dunia maya dan akan memberikan pengingkaran masuk akal untuk serangan dunia maya yang mungkin akan menyertai perang hibrida. Seperti yang dijelaskan oleh Franz-Stefan Gady dalam tulisan di The Diplomat pada Maret 2015, “Pendekatan ini bisa jadi, mungkin lebih efektif daripada di negara-negara Barat, menempatkan kemampuan pelaku sipil dan non-negara di tangan pengambil keputusan militer senior yang bisa lebih efektif menyalurkan dan mengarahkan sumber daya ini untuk berbagai operasi di dunia maya.” Strategi Dunia Maya Departemen Pertahanan A.S. yang diterbitkan pada April 2015 membahas ancaman eksternal secara langsung: “Musuh-musuh potensial menanamkan investasi secara signifikan dalam dunia maya karena memberi mereka kemampuan penyangkalan praktis dan masuk akal untuk menarget wilayah A.S. dan mengganggu kepentingan A.S. Rusia dan Tiongkok telah mengembangkan kemampuan dan strategi dunia maya mutakhir.” Pengingkaran masuk akal terhadap serangan dunia maya telah membuatnya menjadi komponen perang hibrida yang praktis dan lebih disukai.
Tiongkok sekarang sepenuhnya menganggap dunia maya sebagai komponen operasi militer, sebagaimana yang terungkap dalam Buku Putih Pertahanan tahun 2015, yang menyatakan bahwa “Tiongkok akan mempercepat pengembangan pasukan dunia maya,” lapor surat kabar Stars and Stripes pada Mei 2015. Baru-baru ini, pada Oktober 2015, Bloomberg News menyiarkan pengumuman PLA bahwa PLA mengonsolidasikan berbagai unit dan kemampuan perang dunia maya Tiongkok menjadi komando militer tunggal di bawah Komisi Militer Pusat. Tindakan PLA dalam membangun komando dunia maya dilakukan lebih dari satu tahun setelah pengumuman militer Rusia pada Februari 2014 tentang komando dunia mayanya sendiri. Mayjen Yuri Kuznetso dari Rusia mengatakan bahwa sasarannya dalam mengoperasikannya secara penuh pada tahun 2017 “untuk membela infrastruktur penting angkatan bersenjata Rusia dari serangan komputer,” demikian lapor situs web Tripwire.com.
Perang dunia maya adalah karakteristik utama invasi Rusia ke Republik Georgia pada tahun 2008, dan taktik tersebut digunakan lagi dalam invasi Krimea pada tahun 2014. Selama invasi Rusia dan aneksasi Krimea, Ukraina mengalami “serangan dunia maya yang canggih dan terkoordinasi yang melumpuhkan jaringan komunikasi dan membanjiri situs web pemerintah,” sebagaimana dilaporkan oleh Channel 4 News Britania Raya pada Mei 2014. Baru-baru ini, peretas yang berbasis di Rusia melakukan serangan canggih pada jaringan listrik Ukraina pada Desember 2015 sehingga memutus sambungan listrik untuk puluhan ribu pelanggan di Ukraina tengah dan barat. Dinas keamanan negara SBU Ukraina menyalahkan dinas keamanan Rusia untuk malware yang digunakan dalam serangan itu, demikian yang dilaporkan Reuters. Kemudian, investigasi Tim Respons Darurat Dunia Maya Sistem Kontrol Industri Departemen Keamanan Dalam Negeri A.S. mengonfirmasi bahwa serangan ini adalah serangan dunia maya, yang dikaitkan oleh ahli keamanan dunia maya dengan kelompok peretas Russian Black Energy, demikian yang dilansir Reuters pada Februari 2016.
Serangan dunia maya meningkat di seluruh dunia, dan paling mengkhawatirkan di kawasan Indo-Asia-Pasifik. Pada Februari 2015, Jane’s Defence Weekly melaporkan statistik yang menunjukkan bahwa selama tahun 2013-2014, persentase serangan dunia maya di dunia yang berasal dari kawasan Indo-Asia-Pasifik berkisar dari 64 persen hingga 70 persen, dengan prediksi bahwa “ruang lingkup ancaman dunia maya … [dan] ancaman serangan dunia maya tetap berada pada tingkat yang cukup tinggi.”
Dalam menanggapi fenomena ini, pemerintah di seluruh kawasan Indo-Asia-Pasifik “mendorong upaya untuk meningkatkan keamanan dunia maya, dengan instansi pertahanan dan militer mengambil posisi utama” dengan investasi dari sekutu dan mitra keamanan Pasifik A.S. sebesar 230,9 triliun rupiah (17 miliar dolar A.S.) pada tahun 2014, demikian menurut Jane’s Defence Weekly. Kemungkinan serangan dunia maya, komponen utama perang hibrida, mengarah pada konflik bersenjata terbuka sekarang menjadi kekhawatiran serius. Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg, berbicara pada pertemuan puncak perencanaan aliansi utama pada Maret 2015, mengatakan: “NATO telah menjelaskan bahwa serangan dunia maya berpotensi memicu respons Pasal 5 [militer, keamanan kolektif],” lapor Defense News pada Maret 2015.
MELANGKAH KE DEPAN
Perang hibrida berlangsung selama “masa damai” dengan hasil yang dramatis tercermin dalam batas-batas yang digambar ulang di Eropa dan pulau-pulau buatan baru yang dibuat di dalam “garis putus-putus” yang digambarkan pada peta di Pasifik. Seperti yang ditampilkan dalam contoh yang diberikan Rusia dan Tiongkok, operasi informasi merupakan komponen utama untuk melakukan perang melawan musuh ketika berada dalam masa damai, tanpa memicu baku tembak. Pesaing dan musuh potensial telah mengadaptasikan operasi informasi tradisional agar sesuai dengan perang hibrida yang dirancang untuk menunda dan mengacaukan respons dan pengambilan keputusan militer dan pemerintah sehingga menciptakan tantangan baru bagi A.S., sekutu militer, dan mitra keamanan kita. Demikian juga, perang elektronik dan dunia maya telah terbukti sebagai komponen aktif perang hibrida yang dapat mengakibatkan gangguan dan perusakan komando dan kontrol, komunikasi, dan infrastruktur. Perang elektronik dan dunia maya ditetapkan sebagai bidang prioritas pengembangan oleh Tiongkok dan Rusia, yang mengupayakan dan mengembangkan kemampuan baru secara agresif dan membangun unit dan komando baru untuk menggunakannya. Perang hibrida berbasis pada operasi yang sukses dalam lingkungan informasi, yang menyediakan kamuflase, penyembunyian, dan penyamaran yang diperlukan untuk hal yang pada dasarnya merupakan operasi militer guna mencapai tujuan dan efek dalam lingkungan fisik. Mengatasi ancaman ini akan membutuhkan kemampuan dan organisasi militer yang lebih lincah serta personel militer khusus untuk mencegah agar operasi informasi, perang elektronik (EW), dan tindakan dunia maya dalam perang hibrida di masa damai tidak memicu konflik militer.
Credit APDF