Senin, 22 Agustus 2016

AS Didorong Segera Ratifikasi Konvensi Hukum Laut UNCLOS

 AS Didorong Segera Ratifikasi Konvensi Hukum Laut UNCLOS
Deputi Kedaulatan Maritim Kemenkomaritim RI, Arif Havas Oegroseno kepada awak media, di Hotel Shangri-La, Jakarta, 22 Agustus 2016. (Foto: MTVN/Sonya Michaella) 
 
CB, Jakarta: Amerika Serikat (AS) sebagai salah satu negara besar di kawasan dinilai harus segera meratifikasi konvensi hukum laut The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).

AS diminta segera meratifikasi UNCLOS seiring meningkatnya ketegangan di kawasan, terutama di Laut China Selatan. Meski bukan negara pengklaim, AS turut terlibat dalam sengketa wilayah di perairan tersebut. 
Selama ini, AS mengirim sejumlah kapal perang ke dekat Laut China Selatan dalam kerangka menjalankan kebebasan bernavigasi. Tiongkok, negara yang mengklaim hampir seluruh Laut China Selatan, menilainya sebagai suatu provokasi.

Ketegangan kian meningkat setelah Pengadilan Arbitrase Internasional (PCA) di Den Haag mengeluarkan putusan mengenai Laut China Selatan. PCA menyatakan klaim Tiongkok di hampir seluruh wilayah Laut China Selatan tidak berdasar. Tiongkok menolak mematuhi putusan.

Indonesia bersikap netral terkait putusan arbitrase PCA, dengan menyerukan perdamaian and stabilitas kepada negara-negara yang bersengketa di Laut China Selatan.

AS adalah salah satu negara anggota PBB yang sudah menandatangani perjanjian UNCLOS, namun belum meratifikasinya hingga saat ini.


Pulau buatan Tiongkok di Laut China Selatan (Foto: AFP)

"Untuk AS, ya harus segera (meratifikasi). Sebenarnya sih yang harus dilakukan itu tidak hanya sekedar terhadap AS, tapi kita di kawasan ini harus menghormati hukum laut," kata Deputi Kedaulatan Maritim Kemenkomaritim RI, Arif Havas Oegroseno kepada awak media, di Hotel Shangri-La, kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, Senin (22/8/2016).

"Kedua, bagi negara ASEAN lain yang punya klaim di laut, mereka harus bisa sesuaikan klaim mereka, sesuai konvensi hukum laut," lanjutnya.

Ia mengambil contoh, Vietnam yang punya klaim Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Namun Vietnam menarik garis pangkal dari daratan, pulau utama (mainland), ke salah satu pulau kecil itu yang terlalu jauh. Menurutnya, itu tidak sesuai dengan konvensi hukum laut.

"Dan negara lain di kawasan Asia yang jadi claimant di kawasan Laut China Selatan misalnya, ya mereka harus perjelas klaim mereka di Laut China Selatan, berapa sih yang diklaim, wilayahnya mana saja, koordinatnya apa," imbuhnya.


Pulau buatan Tiongkok di Laut China Selatan (Foto: AFP)

Rule of law, kata dia, tak hanya untuk satu negara, namun semuanya. Hal itu terjadi karena konvensi hukum laut sudah menjadi konvensi yang dihormati 88 persen dari seluruh negara di dunia, dan itu harus dihormati.

Ketika ditanya seberapa signifikan, ia menjawab AS mempunyai komitmen yang jelas dan tegas. "Komitmen AS dalam proses masalah kelautan itu juga clear karena ia terikat dokumen hukum," imbuhnya.

"Jadi ya sangat signifikan. Jika suatu negara bukan bagian dari konvensi hukum laut, jika ia melanggar, kan dia tidak bisa kita gugat. Tapi kalau dia bagian dari konvensi hukum laut, kalau dia tak sesuai, ada suatu proses peradilan yang dibuat dalam hukum laut," pungkasnya.



Credit  Metrotvnews.com