Demikian laporan United Shipbuilding Corporation melalui seorang juru bicaranya pada hari Senin. Kremlin memutuskan membuat kapal induk sendiri setelah Prancis membatalkan penjualan dua kapal perang Mistral. Pada Mei 2015 lalu, Kremlin juga sudah membocorkan niatnya untuk membangun kapal induk sendiri.
”Proyek dari kapal induk masa depan Rusia, atau seperti yang kadang-kadang disebut sebagai naval aircraft yang kompleks, kini dalam tahap desain,” kata pihak United Ship Building Corporation yang dikutip kantor berita Itar-Tass.
“Penelitian yang dilakukan oleh Biro Desain Nevskoye menunjukkan bahwa satu-satunya cara untuk memenuhi kebutuhan Angkatan Laut, seperti pembangkit listrik, ketahanan laut dan berbagai kebutuhan pelayaran adalah membekali kapal dengan pembangkit listrik tenaga nuklir,” lanjut pihak korporasi pembuata kapal perang tersebut.
Biro Desain Nevskoye adalah desainer utama Rusia untuk proyek kapal perang besar. Biro itu juga ahli dalam membangun kapal tanker sipil dan kapal kargo curah.
Menurut CEO Biro Desain Nevskoye, Sergey Vlasov, kemungkinan ada dua jenis kapal induk yang dibangun Rusia. Pertama kapal bertenaga nuklir dengan perpindahan dari 80.000 ke 85.000 ton yang mampu menampung sekitar 70 pesawat jet di kapal. Kedua, kapal induk non-nuklir dengan perpindahan dari 55.000 sampai 65.000 ton, yang mampu membawa sekitar 55 pesawat jet tempur.
Fasilitas pembangkit tenaga nuklir untuk kapal induk masa depan Rusia itu diharapkan akan diuji kapal perusak Leader-class. Kendati demikian, menurut Business Insider, Rabu (12/8/2015) kapal induk raksasa itu tidak mungkin selesai dibangun sebelum tahun 2030.
Pekan lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Prancis Francois Hollande sepakat membatalkan kesepakatan jual beli dua kapal perang Mistral. Akibat pembatalan itu, Prancis membayar kompensasi yang mahal terhadap Rusia sekitar USD1,3 miliar. Prancis batal menjual dua kapal perang ke Rusia karena ditekan Amerika dan Uni Eropa yang saat ini masih menjatuhkan sanksi terhadap Rusia karena masalah krisis Ukraina.
Credit Okezone