Ilustrasi Teroris (Jupiterimages/Thinkstock)
Diberitakan Sputnik, Kamis (29/10), hal ini terungkap dalam bocoran dokumen penilaian oleh Kantor Intelijen dan Analisis di Departemen Keamanan Dalam Negeri AS atau DHS yang diterima oleh situs The Intercept. DHS menyebutnya sebagai kerusakan sistem "pengawasan".
|
Selain itu, masalah lainnya adalah banyaknya lembaga keamanan di AS yang membuat daftar nama sendiri, menyebabkannya tumpang tindih. Contohnya, Pusat Pemberantasan Terorisme Nasional, NCTC, Kementerian Keuangan dan FBI semuanya mempunyai daftar pencarian teroris yang berbeda, tidak satu dokumen.
Total ada 1,8 juta nama orang dalam daftar terorisme AS. Menurut beberapa pejabat badan keamanan AS dalam email yang diretas dan dirilis WikiLeaks, jumlah itu terlalu besar.
"Terlalu banyak, jumlahnya 7 persen dari populasi IZ (Irak)," tulis email tersebut.
Mike German, mantan agen FBI yang dikutip The Intercept mengatakan bahwa banyaknya nama orang yang telah meninggal di daftar buronan merupakan kesalahan sistem. "Ketika nama dalam daftar mencapai lebih dari sejuta nama, atau mendekati sejuta nama, maka dokumen itu menjadi tidak berguna," ujar German.
The Intercept melaporkan, sekitar 30 persen nama di daftar teroris dimasukkan atas dasar informasi yang kedaluwarsa. Bahkan, 50 persen dari nama di daftar teroris FBI sama sekali tidak tergabung dalam kelompok teror manapun.
Namun pejabat AS dalam dokumen itu berdalih, menyimpan nama orang yang sudah meninggal diperlukan untuk keperluan pemeriksaan. Dikhawatirkan, identitas orang tersebut digunakan oleh teroris yang lainnya.
Credit CNN Indonesia