Jumat, 30 Oktober 2015

Tahun 2100, Timur Tengah Tidak Bisa Ditinggali Manusia


Tahun 2100, Timur Tengah Tidak Bisa Ditinggali Manusia Ilustrasi. (Unsplash/Luca Zanon)
 
Jakarta, CB -- Sejuta bahaya yang mampu dibawa perubahan iklim memang telah sering terdengar, namun belum ada yang pernah menggambarkannya sesuram studi terbaru dari Loyola Marymount University dan Massachusetts Institute of Technology yang dirilis pekan ini.


Dilansir dari CNN pada Kamis (29/10), penelitian tersebut menunjukkan perubahan iklim dapat membuat wilayah Teluk Persia yang kaya minyak tak bisa ditinggali manusia pada tahun 2100.

Sebabnya bukan peningkatan muka air laut akibat melelehnya gletser, maupun badai yang makin kuat dan sering, melainkan musim panas jadi sangat menyengat di Timur Tengah.

Berkat emisi gas rumah kaca oleh aktivitas manusia, wilayah di Teluk Persia yang memang sudah merasakan suhu terekstrem di Bumi akan menjadi tempat pertama di mana manusia tak lagi mampu bertahan hidup.

Akhirnya, justru ketergantungan ekonomi Timur Tengah pada ekstraksi bahan bakar fosil untuk perekonomian yang akan membunuh penduduknya sendiri.

Suhu dan kelembaban

Persoalannya bukan pada sejauh mana suhu panas di wilayah tersebut, tetapi pada tingkat kelembaban yang tinggi.

Tubuh manusia bereaksi terhadapnya dengan produksi keringat, yang kemudian menguap dan mendinginkan tubuh kita lewat proses evaporasi pendinginan. Namun seiring meningkatnya suhu dan kelembaban di udara, proses itu terus menerus berkurang efektivitasnya, sampai akhirnya mencapai titik saat tubuh tidak bisa mendinginkan diri lagi.

Studi tersebut memperhatikan "temperatur bola basah", yakni nilai yang menggabungkan suhu udara dan kelembaban. Temperatur bola basah selalu lebih rendah daripada suhu udara aslinya, kecuali bila udara seratus persen memadat, dengan angin yang lebih kering memiliki suhu bola basah yang lebih rendah ketimbang suhu udara.

Peneliti menggunakan model komputer untuk melihat bagaimana nilai itu berubah sepanjang waktu di samping peningkatan konsentrasi gas rumah kaca. Model itu mampu menangkap beberapa skala geografi terhalus yang membentuk Timur Tengah, di mana gurun kering nan panas bertemu pantai teluk yang lebih lembab.

Berkat model itu juga, perubahan kondisi musim panas di kota-kota seperti Dubai dan Abu Dhabi tahun 2100 mendatang dapat diprediksi.

Tahun 2100: kelam sekaligus harapan

Di Timur Tengah saat ini, temperatur bola basah hanya mencapai 31 derajat Celcius pada hari-hari musim panas terekstrem dan tak pernah melampaui 35 derajat Celcius yang dianggap mematikan, bahkan bagi manusia tersehat sekalipun.

Namun di tahun 2100 nanti, banyak wilayah di sepanjang Teluk Persia, salah satunya Dubai, akan mengalami suhu rata-rata musim panas harian sebesar 31 derajat Celcius, dan melebihi 35 derajat Celcius di waktu ekstrem.

Sementara di Kuwait City, suhu udara diproyeksikan akan melompat tajam ke angka 60 derajat Celcius.

Meski begitu, penelitian tersebut tak melulu memperlihatkan malapetaka yang akan terjadi.

Model yang sama dijalankan menggunakan sebuah "skenario mitigasi" yang terdapat dalam laporan teranyar Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim tahun 2013 perihal pemotongan emisi karbon yang signifikan di masa depan. Dalam skenario tersebut, walau tetap lebih panas daripada hari ini, suhu tahun 2100 tidak akan mencapai tingkat mematikan.

Namun skenario seperti apa yang betul-betul dimainkan nampaknya akan ditentukan oleh para pemimpin dunia bulan Desember nanti. Pada perhelatan COP21 di Paris, dunia akan mencoba mencapai kesepakatan untuk memangkas emisi karbon demi keberlangsungan peradaban manusia.

Credit  CNN Indonesia