TAIPEI (CB) – China secara aktif membangun pasukan bersenjata yang akan cukup siap pada 2020. Pihak militer Taiwan menduga hal ini dilakukan untuk memulai invasi ke wilayahnya.
Menurut Laporan Pertahanan Nasional Taiwan 2015, meskipun hubungan politik semakin dekat, China terus menghimpun kemampuan perang berskala besar, dengan ancaman konflik militer lintas selat yang akan terus muncul.
Anggaran belanja militer tahunan Taiwan telah tumbuh dengan kenaikan rata-rata dua digit selama 10 tahun terakhir, atau menempati urutan dua anggaran terbanyak setelah Amerika Serikat.
Laporan dua tahunan yang diterbitkan oleh Kementerian Pertahanan Taiwan menyatakan China sedang memperkuat angkatan laut dan udara di wilayah tersebut untuk mencegah intervensi pasukan asing dalam invasi apa pun.
"China yakin campur tangan asing akan menjadi perhatian terbesar jika menyerang Taiwan," demikian laporan tersebut, seperti dikutip dari AFP, Kamis (29/10/2015).
China dan Taiwan berpisah pada akhir perang sipil 1949. Hubungan kedua negara kembali hangat sejak Presiden Taiwan Ma Ying-jeou dari Partai Kuomintang yang bersahabat dengan China menjabat pada 2008.
Namun, China masih memandang Taiwan sebagai wilayah yang memisahkan diri dan menolak melepaskan penggunaan kekuatan yang seharusnya dilakukan saat Taiwan mengumumkan kemerdekaan resminya.
Kementerian Pertahanan Taiwan mengatakan ada risiko Taiwan melonggarkan pertahanan karena meningkatnya pertukaran ekonomi dan budaya beberapa tahun terakhir.
"Secara umum China membuat inovasi strategi Taiwan mereka dengan memalsukan perkembangan positif dalam situasi lintas selat, dan memberi keuntungan bagi mereka untuk menyerang Taiwan di masa depan," ujar laporan itu.
Taiwan akan memilih presiden baru pada Januari 2016 dengan calon unggulan dari oposisi pro-kemerdekaan Partai Demokrasi Progresif (DPP) yakni Tsai Ing-wen.
Ing-wen berjanji akan mempertahankan status quo jika dirinya terpilih, namun beberapa analis mempertanyakan apakah perdamaian lintas selat bisa dipertahankan.
Laporan Kementerian Pertahanan Taiwan juga mempertanyakan anggaran belanja militer China yang menurut mereka terlalu sederhana.
Anggaran sebenarnya diperkirakan dua sampai tiga kali lipat dari angka yang dilaporkan, atau sejajar dengan anggaran belanja militer AS dan Rusia. Keputusan AS menjadi sekutu utama Taiwan dan menjual senjata ke pulau tersebut telah menjadi sumber ketidakpuasan China.
Menurut Laporan Pertahanan Nasional Taiwan 2015, meskipun hubungan politik semakin dekat, China terus menghimpun kemampuan perang berskala besar, dengan ancaman konflik militer lintas selat yang akan terus muncul.
Anggaran belanja militer tahunan Taiwan telah tumbuh dengan kenaikan rata-rata dua digit selama 10 tahun terakhir, atau menempati urutan dua anggaran terbanyak setelah Amerika Serikat.
Laporan dua tahunan yang diterbitkan oleh Kementerian Pertahanan Taiwan menyatakan China sedang memperkuat angkatan laut dan udara di wilayah tersebut untuk mencegah intervensi pasukan asing dalam invasi apa pun.
"China yakin campur tangan asing akan menjadi perhatian terbesar jika menyerang Taiwan," demikian laporan tersebut, seperti dikutip dari AFP, Kamis (29/10/2015).
China dan Taiwan berpisah pada akhir perang sipil 1949. Hubungan kedua negara kembali hangat sejak Presiden Taiwan Ma Ying-jeou dari Partai Kuomintang yang bersahabat dengan China menjabat pada 2008.
Namun, China masih memandang Taiwan sebagai wilayah yang memisahkan diri dan menolak melepaskan penggunaan kekuatan yang seharusnya dilakukan saat Taiwan mengumumkan kemerdekaan resminya.
Kementerian Pertahanan Taiwan mengatakan ada risiko Taiwan melonggarkan pertahanan karena meningkatnya pertukaran ekonomi dan budaya beberapa tahun terakhir.
"Secara umum China membuat inovasi strategi Taiwan mereka dengan memalsukan perkembangan positif dalam situasi lintas selat, dan memberi keuntungan bagi mereka untuk menyerang Taiwan di masa depan," ujar laporan itu.
Taiwan akan memilih presiden baru pada Januari 2016 dengan calon unggulan dari oposisi pro-kemerdekaan Partai Demokrasi Progresif (DPP) yakni Tsai Ing-wen.
Ing-wen berjanji akan mempertahankan status quo jika dirinya terpilih, namun beberapa analis mempertanyakan apakah perdamaian lintas selat bisa dipertahankan.
Laporan Kementerian Pertahanan Taiwan juga mempertanyakan anggaran belanja militer China yang menurut mereka terlalu sederhana.
Anggaran sebenarnya diperkirakan dua sampai tiga kali lipat dari angka yang dilaporkan, atau sejajar dengan anggaran belanja militer AS dan Rusia. Keputusan AS menjadi sekutu utama Taiwan dan menjual senjata ke pulau tersebut telah menjadi sumber ketidakpuasan China.
Credit Okezone