"Menteri Luar Negeri Saudi yang negaranya terlibat dalam operasi militer, keamanan dan pendekatan kekerasan selama lebih dari tujuh bulan di Yaman, tidak memiliki kompetensi untuk menilai mengenai peran Iran di kawasan," ujarnya dalam pernyataan seperti dikutip kantor berita IRNA, kemarin.
Afkham menambahkan, di saat komunitas global mengapresiasi peran konstruktif dan stablisasi Iran, sangat disayangkan Saudi justru menampik dan masih menggunakan pendekatan menang-kalah.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Arab Saudi Adel al-Jubeir mengatakan, sulit memimpikan Iran bisa ikut ambil bagian dalam perdamaian di Suriah. Hal itu tak terlepas dari begitu besarnya peran militer Suriah dalam konflik di sana.
Al-Jubeir memberikan keterangan itu, Senin (19/10), saat menggelar konferensi pers bersama dengan Menteri Luar Negeri Jerman Frank Walter.
Jubeir kembali menegaskan sikap Riyadh bahwa Presiden Suriah Bashar al-Assad yang didukung Iran tidak memiliki tempat lagi di masa depan Suriah. Ia harus meninggalkan kursi kekuasaan jika perdamaian ingin diraih.
"Pertanyaannya adalah, apa yang harus dilakukan Iran untuk menjadi bagian dari solusi di Suriah? Jawabannya mudah," ujarnya.
Menurut Jubeir Iran harus menarik diri dari Suriah serta menghentikan suplai senjata ke presiden Assad dan menarik milisi Syiah yang mereka kirim. Ia menilai, Iran saat ini telah menduduki tanah Arab di Suriah.
Pertempuran di Suriah pecah sejak 2011 lalu. Iran, Rusia, dan milisi Hizbullah merupakan kekuatan utama pendukung Assad. Adapun negara Arab Suni berkongsi dengan AS dan Barat untuk menjatuhkan Assad. Mereka juga mengirimkan pasokan senjata ke kelompok perlawanan.
Credit REPUBLIKA.CO.ID