MAKSUD hati ingin menyelamatkan sejumlah
pasukannya, Brigjen Aubertin Walter Sothern Mallaby justru meregang
nyawa dan tewas di Surabaya. Kematian perwira tinggi Inggris itu
kemudian jadi trigger Pertempuran Surabaya yang dikenang pasukan Inggris sebagai Surabaya Inferno atau neraka Surabaya.
Akhir Oktober, tak lama berselang setelah pasukan Inggris mendarat di pelabuhan Surabaya, insiden demi insiden terjadi dan memancing pertempuran dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), serta milisi lokal Surabaya lainnya.
Presiden RI pertama, Ir Soekarno sempat terbang ke Surabaya demi meredam suasana. Sempat pula terjadi pertemuan antara pemimpin Surabaya, Soekarno dan Mallaby, sang komandan Brigade Infantri India ke-49 “Fighting Cock”, pada 29 Oktober 1945 atau 70 tahun silam.
Mallaby juga sempat bersua Soekarno lagi di hari berikutnya, 30 Oktober. Sementara Soekarno kembali ke Jakarta, Mallaby menetap di Surabaya. Mallaby ditemani beberapa bawahannya, ingin menyebarkan berita gencatan senjata, terutama ke Gedung Internatio, di mana beberapa pasukannya masih terkepung.
Sejumlah pihak sudah melarang Mallaby untuk berangkat, termasuk elemen intelijen Inggris, Force 136. Namun Mallaby keukeuh berangkat bersama Kapten Shaw, Smith dan Laughland.
Seperti dikutip dari buku ‘The British Occupation of Indonesia: 1945-1946” karya Richard McMillan, mereka berangkat dengan berkonvoi dan dikawal sejumlah pemimpin Surabaya, seperti Roeslan Abdulgani, Soedirman, Sungkono, Doel Arnowo dan Kundan, tokoh masyarakat India di Surabaya yang bertindak sebagai penerjemah.
Konvoi itu disambut kerumunan masssa ‘arek-arek Suroboyo’ dan Kapten Shaw, diberi mandat oleh Mallaby untuk bicara langsung pada pimpinan tentara Inggris yang terperangkap, Mayor Venugopal, komandan Mahratta ke-5 dan 6 dari Kompi D – pasukan yang terkepung di Gedung Internatio.
Namun belum selesai pembicaraan di dalam gedung, muncul tembakan dari arah dalam ke luar gedung. Sontak, para pemuda yang berkerumun di luar gedung bereaksi membalas tembakan.
Di tengah baku tembak, dua pemuda muncul di balik pintu mobil dan Kapten Laughland melihat keduanya mencoba membuka katup bensin mobil. Laughland pun mengusir keduanya dengan tembakan karena takut mobil akan dibakar.
Tapi kemudian keduanya kembali dan sempat bicara singkat. Satu dari pemuda itu mengeluarkan revolver dan menembak Mallaby. Smith dan Laughland yang juga masih di dalam mobil pun ketakutan dan spontan, melemparkan granat, satu-satunya senjata yang mereka punya ke arah dua pemuda.
Laughland dan Smith pun berhasil kabur dengan menceburkan diri ke Kali Mas. Mereka menyelam dan berhasil sampai ke pos Inggris dekat pelabuhan. Dari kedua perwira inilah, kisah soal penembakan Mallaby disampaikan.
Dalam buku “Friends and Exiles: A Memoir of the Nutmeg Isles and the Indonesian Nationalist Movement” karya Des Alwi, sehari kemudian Inggris meradang. Inggris memperkuat pasukan dengan mendatangkan sejumlah tank dan pesawat tempur Supermarine Spitfire.
Kekuatan tambahan Inggris itulah yang pada 10 November, menerjang segenap sudut Kota Surabaya, di mana Inggris dibuat kerepotan sebelum bisa menguasai kota tersebut beberapa hari kemudian.
Pihak Indonesia menyebut insiden itu sebagai Hari Pahlawan, sementara pihak Inggris mengenang peristiwa itu sebagai Surabaya Inferno. Adapun kemudian, Mallaby sendiri akhirnya dimakamkan Menteng Pulo, Jakarta.
Akhir Oktober, tak lama berselang setelah pasukan Inggris mendarat di pelabuhan Surabaya, insiden demi insiden terjadi dan memancing pertempuran dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), serta milisi lokal Surabaya lainnya.
Presiden RI pertama, Ir Soekarno sempat terbang ke Surabaya demi meredam suasana. Sempat pula terjadi pertemuan antara pemimpin Surabaya, Soekarno dan Mallaby, sang komandan Brigade Infantri India ke-49 “Fighting Cock”, pada 29 Oktober 1945 atau 70 tahun silam.
Mallaby juga sempat bersua Soekarno lagi di hari berikutnya, 30 Oktober. Sementara Soekarno kembali ke Jakarta, Mallaby menetap di Surabaya. Mallaby ditemani beberapa bawahannya, ingin menyebarkan berita gencatan senjata, terutama ke Gedung Internatio, di mana beberapa pasukannya masih terkepung.
Sejumlah pihak sudah melarang Mallaby untuk berangkat, termasuk elemen intelijen Inggris, Force 136. Namun Mallaby keukeuh berangkat bersama Kapten Shaw, Smith dan Laughland.
Seperti dikutip dari buku ‘The British Occupation of Indonesia: 1945-1946” karya Richard McMillan, mereka berangkat dengan berkonvoi dan dikawal sejumlah pemimpin Surabaya, seperti Roeslan Abdulgani, Soedirman, Sungkono, Doel Arnowo dan Kundan, tokoh masyarakat India di Surabaya yang bertindak sebagai penerjemah.
Konvoi itu disambut kerumunan masssa ‘arek-arek Suroboyo’ dan Kapten Shaw, diberi mandat oleh Mallaby untuk bicara langsung pada pimpinan tentara Inggris yang terperangkap, Mayor Venugopal, komandan Mahratta ke-5 dan 6 dari Kompi D – pasukan yang terkepung di Gedung Internatio.
Namun belum selesai pembicaraan di dalam gedung, muncul tembakan dari arah dalam ke luar gedung. Sontak, para pemuda yang berkerumun di luar gedung bereaksi membalas tembakan.
Di tengah baku tembak, dua pemuda muncul di balik pintu mobil dan Kapten Laughland melihat keduanya mencoba membuka katup bensin mobil. Laughland pun mengusir keduanya dengan tembakan karena takut mobil akan dibakar.
Tapi kemudian keduanya kembali dan sempat bicara singkat. Satu dari pemuda itu mengeluarkan revolver dan menembak Mallaby. Smith dan Laughland yang juga masih di dalam mobil pun ketakutan dan spontan, melemparkan granat, satu-satunya senjata yang mereka punya ke arah dua pemuda.
Laughland dan Smith pun berhasil kabur dengan menceburkan diri ke Kali Mas. Mereka menyelam dan berhasil sampai ke pos Inggris dekat pelabuhan. Dari kedua perwira inilah, kisah soal penembakan Mallaby disampaikan.
Dalam buku “Friends and Exiles: A Memoir of the Nutmeg Isles and the Indonesian Nationalist Movement” karya Des Alwi, sehari kemudian Inggris meradang. Inggris memperkuat pasukan dengan mendatangkan sejumlah tank dan pesawat tempur Supermarine Spitfire.
Kekuatan tambahan Inggris itulah yang pada 10 November, menerjang segenap sudut Kota Surabaya, di mana Inggris dibuat kerepotan sebelum bisa menguasai kota tersebut beberapa hari kemudian.
Pihak Indonesia menyebut insiden itu sebagai Hari Pahlawan, sementara pihak Inggris mengenang peristiwa itu sebagai Surabaya Inferno. Adapun kemudian, Mallaby sendiri akhirnya dimakamkan Menteng Pulo, Jakarta.
Credit Okezone